web analytics
Peneliti LAPAN: Sudah Saatnya Indonesia Memiliki Regulasi Keantariksaan yang Detail

Peneliti LAPAN: Sudah Saatnya Indonesia Memiliki Regulasi Keantariksaan yang Detail

BPPM Mahkamah — Sabtu lalu (18/07) Runggu Prilia Ardes, salah satu peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), menyebutkan bahwa Indonesia memerlukan regulasi yang jelas mengenai bidang keantariksaan. Melalui forum diskusi yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia chapter Universitas Gadjah Mada (FPCI UGM) bertajuk “Indonesia amidst Space Race 2.0: Where to Launch?” Runggu juga menyebutkan urgensi perlu segera dibangunnya bandar antariksa baru di Indonesia. “Saat ini tempat peluncuran roket di Pameungpeuk sudah tidak memungkinkan lagi karena pemukiman penduduk semakin padat, frekuensi lalu lintas laut dan udara yang semakin tinggi, dan tidak mengakomodir peluncuran roket untuk satelit equatorial orbit.”

“Space race merupakan sengketa dari negara-negara yang memiliki kapasitas untuk menerbangkan roket, satelit, serta pemanfaatan luar angkasa lainnya,” terang Rafindra Setiawan, moderator dalam diskusi FPCI tersebut. Space Race pertama kali muncul pada era perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Space race 1.0 bisa dipandang sebagai persaingan ekonomi dan militer antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet dari bumi ke luar angkasa. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, space race mengalami perkembangan narasi menjadi perkembangan eksplorasi dan eksploitasi antariksa. Perkembangan eksplorasi dan eksploitasi antariksa ini diminati oleh banyak negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa. Tidak ketinggalan, negara-negara berkembang juga turut bersaing dengan menjalin kerja sama dengan negara maju untuk memaksimalkan dan meningkatkan penjelajahan antariksa. Hal tersebut selanjutnya memunculkan pertanyaan, “Apakah Indonesia siap untuk bersaing dalam new space race atau space race 2.0?”

New Space Race: Indonesia, Siap atau Tidak Siap?

Runggu memaparkan bahwa sejak Agustus 1963 Indonesia telah berhasil meluncurkan dua roket, yaitu GAMA IIA dan GAMA IIB. Peluncuran dua roket pertama tersebut diprakarsai oleh para mahasiswa yang tergabung dalam Perkumpulan Roket Mahasiswa Indonesia, termasuk di antaranya mahasiswa dari UGM. Tidak berhenti di sana, pada November 1963, Presiden Soekarno mendirikan LAPAN sebagai badan yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan di Indonesia. Perkembangan di bidang antariksa pun terus berlanjut dengan kembali diluncurkannya roket pada Januari 1964 yang digarap oleh mahasiswa ITB dan Agustus 1964 yang digarap oleh LAPAN, AURI, dan ITB.  Akan tetapi, perkembangan di bidang antariksa mulai mengalami penyurutan. Runggu menuturkan bahwa sejak 1965 hingga sekarang, dikarenakan perubahan politik dan transisi presiden, Indonesia mulai kehilangan antusiasme terhadap perkembangan teknologi keantariksaan. 

Jika melihat perkembangan sebelum wabah virus Covid-19, anggaran untuk perkembangan teknologi antariksa menjadi prioritas kesekian dibandingkan dengan anggaran keuangan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Indonesia menjadi negara yang sangat tertinggal dalam hal teknologi antariksa, bahkan dari India yang telah berhasil meluncurkan roket ke bulan pada 22 September 2019. Setelah adanya wabah virus Covid-19, anggaran untuk perkembangan teknologi antariksa semakin tersisihkan akibat fokus pemerintah pada bidang kesehatan. 

Padahal di Indonesia sendiri, penggunaan luar angkasa sudah banyak bermunculan baik dari sektor pribadi, maupun industri. Dari sektor pribadi, penggunaan luar angkasa digunakan beberapa di antaranya oleh perusahaan telekomunikasi, seperti MNC Sky Vision, ASIA Cellular Satellite, Telkomsat, dan Indosat Ooredoo. Selain perusahan telekomunikasi, Nusantara Satu, Lippo Group, dan Bank BRI juga turut menggunakan penggunaan luar angkasa. Sementara itu, di sektor industri terdapat Pasifik Satelit Nusantara, Dirgantara Indonesia, Dahana, Pindad, dan PT Industri Telekomunikasi Indonesia.

Belum Adanya Bandar Antariksa

Kembali lagi pada kesiapan Indonesia untuk bersaing dalam space race 2.0, saat ini Indonesia pada level jenjang teknologi antariksa masih pada level 6 (LEO Satelite: Build Through Mutual International Collaboration) atau level 7 (LEO Satellite: Build Locally) yang artinya masih memakan waktu cukup lama untuk bisa sampai ke level GEO Satellite agar bisa bersaing dengan baik dalam space race 2.0. Runggu menambahkan, Indonesia perlu mengikuti jejak negara-negara maju membangun bandar antariksa komersial. Bandar antariksa menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan merupakan kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan keselamatan serta penunjang lainnya.”

Bandar antariksa komersial dinilai membawa banyak keuntungan. Pertama, banyak bandar antariksa, tetapi jarang ada yang komersial. Pada saat yang sama, banyak industri yang memanfaatkan teknologi satelit, sehingga akan banyak permintaan pasar. Kedua, negara yang memiliki bandar antariksa dinilai telah menguasai keseluruhan teknologi antariksa. Ketiga, adanya pengakuan kewibawaan secara nasional dan internasional. Terakhir, bandar antariksa bisa membawa keuntungan ekonomi, seperti menciptakan lapangan kerja baru.

Pembangunan bandar antariksa sangat dimungkinkan di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Hal demikian dikarenakan adanya pertimbangan bahwa pembangunan bandar antariksa harus berada di dekat laut guna meminimalisasi risiko kecelakaan. Selain itu, Indonesia terletak di garis ekuator yang baik untuk melakukan peluncuran roket. 

Diperlukan Regulasi yang Jelas

Kendati pembangunan bandar antariksa menuang banyak manfaat, namun terdapat banyak tantangan untuk mewujudkannya. Salah satu tantangan di Indonesia yakni terkait dengan regulasi atau undang-undang. Hingga saat ini, Indonesia baru memiliki undang-undang mengenai keantariksaan, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 yang meratifikasi Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Sampai saat ini, undang-undang yang ada masih mencakup hal-hal umum. Padahal, guna mengakomodasi percepatan pembangunan kegiatan komersial keantariksaan, peraturan pemerintah yang komprehensif sangat diperlukan. 

Pada Februari lalu, Pusat Kajian Penerbangan dan Antariksa telah mengadakan Focus Group Discussion dengan akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dilansir dari laman resmi Fakultas Hukum UI, diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kegiatan Komersial Keantariksaan tersebut membuahkan hasil berupa identifikasi dan arah dari RPP Kegiatan Komersial Keantariksaan. Adanya identifikasi dan arahan yang jelas mengenai RPP Kegiatan Komersial Keantariksaan itu diharapkan dapat mendorong pembangunan kegiatan komersial keantariksaan di Indonesia.

Regulasi yang komprehensif sangat diperlukan Indonesia agar bisa membangun kerja sama dengan negara-negara maju guna meningkatkan teknologi di bidang keantariksaan, termasuk pembangunan bandar antariksa. Aturan yang jelas akan membawa dampak rasa aman bagi negara yang akan bekerja sama dengan Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya campur tangan dari para para regulator agar perkembangan teknologi di bidang keantariksaan dapat berkembang. 

“Indonesia dianggap menguntungkan oleh negara lain. Akan tetapi, jika kita tidak cepat mengenai teknologi antariksa, kita akan digantikan oleh negara lain. Maka dari itu, kita perlu membuat regulasi yang detail mengenai bidang keantariksaan atau setidaknya mencoba mengembalikan minat orang mengenai bidang keantariksaan,” simpul Runggu.

Penulis: Rosa Pijar
Editor: Mustika

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.