web analytics
Imelda Riris: Kompleksitas Penyelesaian Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, Mulai Ketimpangan Relasi Gender Hingga Nir-Regulasi Perusahaan

Imelda Riris: Kompleksitas Penyelesaian Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, Mulai Ketimpangan Relasi Gender Hingga Nir-Regulasi Perusahaan

Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk melindungi korban kekerasan seksual menjadi agenda penting yang harus segera direalisasikan. Tidak adanya perangkat hukum nasional yang jelas dan tegas membuat para pemberi kerja kerap kali mengabaikan perlindungan pegawai terhadap ancaman kekerasan seksual di tempat kerja. Pasalnya, pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, aturan mengenai anti kekerasan seksual di lingkungan kerja belum diatur secara eksplisit, melainkan hanya memuat aturan larangan bertindak asusila di lingkungan kerja. 

Apa sebenarnya definisi dari kekerasan seksual? 

Mengacu dari bunyi Pasal 1 ayat 1 RUU PKS, Imelda Riris, Head of Impact and Sustainability Never Okay Project, dalam diskusi Bedah RUU PKS – Kekerasan Seksual di Tempat Kerja menerangkan, “Terdapat dua unsur, (yakni) kekerasan dan seksual. Kekerasan bisa terjadi karena paksaan atau secara paksa. Dalam hal ini pelaku tidak mendapatkan konsen dari si korban. Konsen adalah persetujuan dua belah pihak yang harus diberikan secara freely atau tanpa paksaan di mana informasi diberikan secara jelas dan sepenuhnya, spesifik, dan bisa berubah sewaktu-waktu.” 

“Artinya jika kamu bilang iya sekarang, tiba-tiba di tengah kamu berubah pikiran itu sah-sah aja,” tambahnya. 

Imelda melanjutkan, “Lalu yang kedua adalah seksual. Di mana hal tersebut (berarti) memberikan kekuasaan seksual kepada satu pihak, tetapi menyerang tubuh hasrat seksual atau fungsi reproduksi dari pihak lainnya yang menjadi korban. Hasilnya ini merugikan korban secara fisik, psikis, bahkan bisa terjadi juga kerugian ekonomi, sosial budaya, dan politik.”

Kekerasan seksual di tempat kerja memiliki kompleksitas yang berbeda

Kekerasan seksual di tempat kerja memiliki kompleksitas yang berbeda dengan kekerasan seksual yang terjadi di tempat lain. Imelda memaparkan bahwa terdapat beberapa penyebab yang melatarbelakangi mengapa kekerasan seksual di tempat kerja memiliki kompleksitas berbeda. 

Secara umum, kekerasan seksual dinilai dapat terjadi akibat adanya ketimpangan relasi gender. Pada masyarakat patriarkis, perempuan identik dengan sifat lemah dan dipandang sebagai objek pemuas semata, sehingga perempuan lebih rentan menjadi korban. Akan tetapi di tempat kerja, di samping adanya ketimpangan relasi gender, terdapat pula ketimpangan relasi kekuasaan yang berkaitan dengan jabatan atau kekuasaan yang dimiliki seseorang. Ketimpangan relasi kekuasaan tersebut turut memicu terjadinya kekerasan seksual di tempat kerja yang rentan menyerang pekerja muda atau pegawai magang. 

Pada survei yang diadakan pada tahun 2018 oleh Never Okay Project dan Scoop Asia yang didukung oleh Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), hasilnya menyatakan bahwa 36% pelaku kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan atau pekerja senior.

Kedua, komitmen pemberi kerja di Indonesia untuk membuat aturan anti kekerasan seksual di tempat kerja dinilai sangat minim. Dari hasil survei yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Never Okay Project, hanya 15% perusahaan di Indonesia yang menerapkan aturan kekerasan seksual di tempat kerjanya. Imelda juga menjelaskan bahwa sangat sulit menuntut komitmen dari pemberi kerja dalam hal membuat aturan khusus mengenai anti kekerasan seksual dikarenakan minimnya regulasi nasional mengenai anti kekerasan seksual di tempat kerja. 

Sampai saat ini, aturan anti kekerasan seksual di tempat kerja di Indonesia masih berupa surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Kesulitan itu dinilai dapat diatasi apabila pemerintah segera mengesahkan RUU PKS, sehingga secara tidak langsung menuntut para pemberi kerja untuk menerapkan aturan anti kekerasan seksual di tempat kerja.

Ketiga, adanya konsekuensi ekonomis bagi si pelapor. Konsekuensi itu erat kaitannya dengan budaya menyalahkan korban. Pelaporan oleh korban sering kali menyebabkan terancamnya posisinya di tempat kerja. “Pemberi kerja cenderung menyalahkan bagaimana korban berpakaian, jam berapa korban pulang, dan saat itu sedang bersama siapa,” imbuh Imelda. 

Siapa saja pelaku kekerasan seksual di tempat kerja?

Dari hasil survei yang dilakukan oleh Never Okay Project pada tahun 2018, Imelda mengungkapkan, “Hanya 4% pekerja perempuan yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Artinya sebagian besar dari pekerja perempuan, pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja dan 44% dari pekerja perempuan tersebut pernah mengalami kekerasan seksual secara fisik. Sementara pada pekerja laki-laki, ada 23% yang mengaku tidak pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Meskipun angkanya lebih tinggi dari perempuan, tetapi sebagian besar tetap pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja.”

Pelaku kekerasan seksual di tempat kerja tersebut sering kali didominasi oleh orang yang memiliki jabatan lebih tinggi atau para pekerja senior. Hal ini tidak terlepas dari adanya ketimpangan relasi kekuasaan. Pada urutan kedua, pelaku kekerasan seksual di tempat kerja justru dilakukan oleh teman sebaya. Dalam kasus pelaku adalah teman sebaya, kekerasan seksual terjadi saat pelaku mengabaikan konsep dari konsen atau persetujuan dari korban. Pelaku sering merasa bahwa hubungan kedua belah pihak sudah dekat, sehingga tidak perlu lagi bertanya apakah pihak lain merasa keberatan atau tidak dengan hal-hal yang berbau seksual, meskipun sekadar candaan atau panggilan sayang. 

Pada urutan ketiga adalah klien atau partner di luar organisasi. Dalam hal ini ketimpangan relasi kekuasaan turut memicu terjadinya kekerasan seksual. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa klien atau partner adalah pihak yang dibutuhkan, sehingga permintaan mereka juga adalah prioritas utama yang perlu dipenuhi, termasuk kebutuhan seksual mereka. “Banyak terjadi, kepala di suatu perusahaan meminta pegawainya untuk menemani klien atau partner organisasinya makan malam dan akhirnya terus berlanjut pada permintaan untuk memuaskan hasrat seksual,” ungkap Imelda. 

Bentuk-bentuk kekerasan seksual di tempat kerja

Bentuk kekerasan seksual yang paling sering terjadi di tempat kerja adalah kekerasan seksual verbal. Kekerasan seksual verbal yang paling sering terjadi yakni berupa candaan-candaan atau panggilan-panggilan tidak senonoh yang diucapkan oleh teman kerja. Selain verbal, bentuk kekerasan seksual yang sering terjadi lainnya adalah dalam bentuk visual. Kekerasan seksual visual dapat berupa gambar-gambar di grup obrolan maupun tertulis melalui pesan atau dikirimkan melalui e-mail. Terakhir dan yang paling parah adalah kekerasan seksual dalam bentuk fisik. 

Pada pekerja perempuan, kekerasan seksual yang paling umum dialami dalam bentuk canda-candaan yang menjurus pada seksisme. Sementara pada pekerja laki-laki, kekerasan seksual yang paling umum terjadi dilakukan dalam bentuk visual, yaitu dengan mengirimkan gambar-gambar berbau seksual. “Pada umumnya orang-orang berpikir, laki-laki senang apabila diajak untuk membahas hal-hal yang berbau seksual. Padahal nyatanya, sebagian besar dari mereka merasa risih dengan tindakan tersebut,” tambah Imelda. 

Mayoritas korban memiliki kepercayaan yang rendah terhadap HR atau manajemen perusahaan

Berdasarkan survei-survei yang dilakukan oleh Never Okay Project, terdapat empat point tindakan yang biasa dilakukan oleh korban saat mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Pertama, mayoritas dari korban memilih diam karena tidak tahu harus berbuat apa. Keadaan itu dapat disebabkan karena perusahaan tidak memiliki aturan mengenai anti kekerasan seksual atau perusahaan tidak mensosialisasikan aturan tersebut. Sebagian besar dari korban kekerasan seksual di tempat kerja masih bingung untuk membedakan apakah hal yang terjadi kepadanya adalah kekerasan seksual atau tidak, sehingga tidak tahu harus berbuat apa.

“Yang kedua dan cukup miris adalah rasa percaya kepada Human Resources (HR) atau manajemen sangat lemah. Jadi ketika terjadi, sedikit sekali korban yang ingin melapor. Dari survei yang kami lakukan, hanya 14,27 persen korban yang melapor kepada HR perusahaan mereka,” papar Imelda. 

Ada berbagai alasan yang mendasari korban tidak melapor kepada HR setelah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Salah satu alasan utamanya adalah korban tidak percaya bahwa HR akan melakukan penindakan setelah mereka melapor. Sebagian dari korban, ada yang memilih untuk menegur langsung pelaku bahwa tindakan yang dilakukan adalah bentuk dari pelecehan seksual. Akan tetapi, bentuk teguran langsung dapat berfungsi efektif jika bentuk-bentuk pelecehan yang dialami ringan, seperti bentuk pelecehan secara verbal. Sebab risiko karena berani menegur langsung tidak terlalu besar. Sementara sebagian korban yang lain lebih memilih untuk melapor kepada rekan kerja yang dipercaya, rekan di luar kantor, atau keluarga.

Ada juga korban yang mendokumentasikan kejadian pelecehan yang dialaminya untuk mengumpulkan bukti, sedangkan sedikit yang lain lebih memilih untuk keluar dari tempat kerjanya. Adapun kasus kekerasan seksual di tempat kerja yang dibawa ke ranah hukum masih sangat sedikit dan juga sangat jarang disorot oleh media. “Menurut saya, jangankan dibawa ke ranah hukum, penyelesaian di dalam internal perusahaan terkadang sangat sulit. Jadi harapan kami RUU PKS seharusnya disahkan. Karena RUU PKS ini juga mengatur kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja. Mulai dari penanganan sampai dengan hak-hak korban dan saksi,” tutup Imelda Riris.

Penulis: Rosa Pijar
Editor: Mustika

Leave a Reply

Your email address will not be published.