web analytics
ALERTA! PRESS CONFERENCE UU CIPTA KERJA FH UGM

ALERTA! PRESS CONFERENCE UU CIPTA KERJA FH UGM

BPPM Mahkamah — Siang tadi (6/10), Fakultas Hukum UGM mengadakan Konferensi Pers Pernyataan Sikap terkait diteken-nya Undang-Undang Cipta Kerja. Pernyataan sikap tersebut berlangsung melalui siaran langsung Youtube Kanal Pengetahuan Fakultas Hukum UGM. Segenap akademisi dari lintas departemen FH UGM beserta peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi dan perwakilan mahasiswa FH UGM turut menyatakan sikapnya perihal telah disahkannya RUU Cipta Kerja ini menjadi undang-undang. Berdasarkan pernyataan sikap siang tadi, disampaikan beberapa ‘catatan’ mengenai substansi yang ada pada UU Cipta Kerja. Catatan kritis itu disampaikan melalui perspektif ketenagakerjaan, lingkungan, hingga tata negara. Tak luput, mahasiswa Fakultas Hukum UGM turut menyampaikan kekecewaan mereka atas ‘bergemingnya’ para wakil rakyat terhadap dengungan suara mahasiswa yang terus digencarkan. 

Dekan FH UGM, Sigit Riyanto menegaskan bahwa Fakultas Hukum mengambil posisi secara jernih, bijak, tetapi juga kritis terhadap lahirnya UU Cipta Kerja ini. Lebih lanjut, ia menyebut dinamika yang menyertai proses penyusunan RUU yang telah disahkan ini seperti suara hingga policy paper oleh berbagai lapisan masyarakat sipil justru tidak terakomodasi dan malah dikesampingkan. 

Poin Bermasalah dalam Kluster Ketenagakerjaan 

“Sampai saat ini, masih agak gamang untuk menyampaikan substansi dari draf UU Cipta Kerja ini sendiri, hal tersebut dikarenakan tidak dapat diaksesnya draf oleh publik,” ujar Nabiyla.“Karena ada banyak hal dalam RUU Cipta Kerja yang dibuat secara tergesa-gesa dan seakan ditutup-tutupi, sehingga publik kesulitan untuk mengakses isi dari RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja,” Lanjutnya.

Nabiyla Risfa Izzati, akademisi hukum ketenagakerjaan FH UGM, menggarisbawahi beberapa poin penting yang menurut hukum ketenagakerjaan bermasalah, poin tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 

Pertama, terkait dengan ketentuan ambigu dalam draf UU Cipta Kerja yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut. “Menurut kami hal ini bertentangan dengan semangat awal diusungnya Omnibus Law yang notabene adalah untuk simplifikasi terhadap undang-undang,” tutur Nabiyla. 

Kedua, pengaturan terkait Pesangon yang sangat krusial. Pengaturan terkait Pesangon tersebut telah banyak dikritik oleh banyak elemen masyarakat. Misalnya adalah ketentuan pada Pasal 156 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai kewajiban untuk memberi pesangon. Ketentuan dalam Pasal 156 tersebut diubah menjadi ketentuan maksimal/paling banyak. Berdasarkan teori dalam hukum ketenagakerjaan, yang diatur adalah perlindungan minimum, bukan malah sebaliknya. 

“Apabila yang diatur adalah ketentuan maksimal, maka hal demikian akan membuka kemungkinan bagi pengusaha untuk memberi pesangon lebih rendah daripada ketentuan yang sudah ada,” ungkap Nabiyla. 

Ketiga, ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT). Pada ketentuan PKWT dalam UU Cipta Kerja, tidak diatur secara jelas mengenai ketentuan jangka waktu. Jangka waktu PKWT akan didasarkan pada kesepakatan para pihak. 

“Ini hanya salah satu contoh adanya kekeliruan-kekeliruan pengaturan yang menurut kami perlu dikritisi dalam RUU Cipta kerja (yang sekarang sudah menjadi UU),” simpul Nabiyla. 

Beberapa poin tersebut, bilamana terus dibiarkan dan tidak dikaji ulang, maka akan menyebabkan kerugian bagi banyak pihak, terutama bagi para pekerja. 

Berbagai Reduksi dalam UU Ciptaker hingga Diterobosnya Asas Dasar Hukum Lingkungan

Totok Dwi Diantoro, dosen Departemen Hukum Lingkungan FH UGM, mengamini bahwa semangat dari UU Cipta Kerja berorientasi pada ekstraksi. “Semangat dari UU ini berorientasi utama pada ekstraksi, mengejar kepentingan eksploitasi terhadap lingkungan dan SDA, termasuk SDM. Ini bisa ditunjukkan dengan adanya berbagai reduksi dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait dengan (misalnya) instrument kerangka perencanaan kegiatan atau usaha, dalam hal ini terkait dengan perizinan lingkungan,” tukasnya.

Ia menyampaikan permasalahan dalam kluster lingkungan adalah berupa diterobosnya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang menjadi asas dasar hukum lingkungan. Hal tersebut terbukti dengan juga direduksinya konsep izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan, yang notabene sekadar sebagai justifikasi dari upaya pengajuan izin usaha.

Kemudian, ia menilai partisipasi publik yang juga direduksi. Gugatan oleh pihak ketiga direduksi. Hanya masyarakat yang terdampak langsung lah yang dapat mengajukan gugatan. “Jadi, posisi pemerhati, perguruan tinggi, kemudian tidak lagi dihitung menjadi bagian dalam kontrol publik terkait upaya-upaya pengambilan keputusan,” jelasnya.

Zainal Arifin Mochtar, UU Cipta Kerja: Secara Formil Bermasalah, Materiil Masih Banyak Catatan!

Zainal Arifin Mochtar, dosen departemen hukum tata negara, menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja (sekarang UU Cipta Kerja) bermasalah baik secara formil maupun materiil.

“Secara formil bermasalah, dan substansi materiil masih banyak catatan,” ujar Zainal.

Undang-Undang Cipta Kerja bermasalah secara formil karena UU tersebut dibuat nyaris tanpa adanya partisipasi publik dan pintu untuk aspirasi pun tertutup, “Aspirasi diselektif, hanya pihak-pihak tertentu yang didengarkan,” ujar Zainal.

Perlu diketahui, bahwa risalah dan draf dari undang-undang Cipta Kerja ini tidak dibagikan. Padahal, merupakan kewajiban pemerintah dan DPR untuk menyebarkan substansi bahasan dari suatu undang-undang yang hendak diteken.

Judicial Review harus dilakukan karena pemerintah dan DPR telah berjalan membelakangi dalam partisipasi publik. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD bahwa Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat,” ujar Zainal. 

Pernyataan Sikap Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Tak hanya para akademisi, mewakili mahasiswa, Ketua Dema Justicia FH UGM Aisha Jasmine menyatakan kekecewaan mereka atas tidak digubrisnya upaya-upaya yang telah mereka lakukan, termasuk suara mereka yang tidak didengarkan oleh pemerintah dan DPR. 

“Hal ini cukup menjadi suatu kekecewaan besar ketika kami juga sudah menyerahkan kajian yang secara naif kami percayai akan didengar oleh kepala Baleg,” ungkap Aisha. 

“Kami secara jelas menyatakan #MOSITIDAKPERCAYA pada wakil rakyat di DPR. Ini adalah bentuk kecaman yang akan terus kami gelorakan di lapangan, di bawah, dan di threshold kepada pemerintah Indonesia,” tegas Ketua Dema Justicia itu.

Sebagai penutup, Wahyu Yun Santoso mendeklarasikan, “Perjalanan ini belum selesai, mari kita berjuang bersama-sama, dan saya rasa Fakultas Hukum UGM perlu untuk menjadi satu sebagai pelopor untuk perjuangan ini,” tutup Wahyu Yun Santoso.

Reporter: Athena, Mustika

Siaran Ulang Konferensi Pers FH UGM terkait UU Cipta Kerja

Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja

Leave a Reply

Your email address will not be published.