Di tengah situasi pandemi yang belum menentu, pemerintah memutuskan untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak di penghujung tahun ini. Ketika angka penyebaran kasus Covid-19 masih fluktuatif, ditambah dengan isu kehadiran vaksin yang masih sangat abu-abu, Pilkada serentak tetap dilaksanakan dan hanya ditunda selama 2 (dua) bulan dengan segala persiapan yang sedang dikebut oleh Komisi Pemilihan Umum.
Keputusan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada di tengah situasi pandemi yang masih tidak menentu memunculkan kritikan dari berbagai pihak. Salah satu akademisi yang mengkritisi kebijakan tersebut adalah Zainal Arifin Mochtar, pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM. Dalam kesempatan diskusi online yang bertajuk “Pesta Demokrasi di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan oleh Dema Justicia FH UGM pada 9 Oktober lalu, Zainal menilai bahwa pelaksanaan Pilkada serentak di situasi pandemi Covid-19 pada saat ini tidak memiliki dasar sosiologis, yuridis, maupun filosofis.
Situasi bahaya, rasionalisasi perubahan konstruksi hukum
Zainal menilai situasi pandemi Covid-19 sudah dapat dikategorikan sebagai keadaan bahaya. Keadaan bahaya tersebut dapat menjadi alasan untuk mengubah konstruksi hukum mengenai Pemilu di Indonesia. Zainal juga membantah argumentasi dari pemerintah tentang ditundanya Pemilu akan menabrak ketentuan bahwa pelaksana tugas bupati/walikota akan memiliki waktu tugas yang terlalu lama dan membuat kebijakan-kebijakan yang penting. Ia mengatakan bahwa hal tersebut masih dapat dimodifikasi dengan alasan situasi darurat, “Peraturan itu hanya peraturan BKN (ketentuan mengenai batasan Plt -red), tapi seolah-olah jadi kitab suci, kenapa nggak kita modifikasi khusus di masa pandemi, Plt boleh mengambil keputusan seolah pemimpin biasa,” pihaknya mengatakan.
Pada kesempatan yang sama, Heroik Pratama, peneliti Perludem mengatakan bahwa banyak negara masih tetap menyelenggarakan pemilihan baik itu Pemilu, Pilkada, maupun referendum. Namun, kecenderungan yang ada pada pemilihan di saat pandemi ini adalah menurunnya angka partisipasi, Heroik juga mengatakan bahwa hal tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh model pemilihan serentak (pemilu-pilpres-pemilukada) yang digabung ataupun pengaruh kualitas calon yang akan dipilih, melainkan karena kekhawatiran masyarakat bahwa mereka akan terpapar dengan risiko Covid-19 apabila datang ke tempat pemilihan. “Rasa kekhawatiran ini saya kira tentunya sedikit banyak akan berdampak pada angka partisipasi pemilih untuk datang ke TPS,” simpul Heroik.
Pilkada 2020: Klaster baru Covid-19?
Keputusan untuk menyelenggarakan Pilkada serentak yang dituangkan ke dalam Perppu mengasumsikan bahwa angka penularan Covid-19 di Indonesia pada bulan Desember berada pada angka yang stabil. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan kondisi saat ini, di mana angka kasus belum menunjukkan kabar baik. Kemudian, hal demikian diperparah kemungkinan bahwa penyelenggaraan Pemilukada justru akan menimbulkan klaster-klaster baru korban Covid-19. Keputusan pemerintah Indonesia ini sangat berlainan dengan keputusan pemerintah Selandia Baru yang memutuskan untuk menyelenggarakan Pemilu ketika angka grafik penularan Covid-19 dapat dikontrol dengan baik, sehingga tidak menghasilkan klaster-klaster baru dalam pelaksanaannya.
Risk management yang tidak diatur secara spesifik
Heroik Pratama juga mengkritisi regulasi Pemilu di Indonesia yang kurang adaptif terhadap bencana non-alam seperti yang terjadi saat ini. Di dalam situasi bencana non-alam seperti saat ini, manajemen risiko tata kelola penyelenggaraan Pemilu yang lebih mengedepankan Risk Management tidak diatur secara spesifik di dalam regulasi yang ada. Heroik juga menyayangkan pertemuan yang diadakan oleh KPU, Bawaslu, Pemerintah, bersama Komisi II DPR dalam rapatnya yang membahas tentang bagaimana maju mundurnya Pilkada, namun tidak membahas sama sekali tentang risk management pelaksanaan Pilkada. Bahkan, ketentuan mengenai pembatasan kampanye baru dikeluarkan baru-baru ini.
Situasi pandemi Covid-19 dan Pemilu kali ini adalah dua hal yang saling bertolak-belakang satu sama lain. Pandemi memaksa untuk membatasi interaksi antar manusia, sedangkan Pemilu memiliki karakter dasar yang menyebabkan interaksi langsung dan partisipasi antar manusia. Zainal Arifin Mochtar di dalam kesempatan yang sama juga menambahkan bahwa pandemi Covid-19 ini sudah pasti menyebabkan kualitas serta angka partisipasi Pilkada menurun. Pada situasi normal saja, pelaksanaan pemilihan umum masih memiliki kekurangan di sana-sini. Situasi pandemi tentu menyulitkan koordinasi serta bimbingan teknis dalam pelaksanaan Pilkada itu sendiri. Zainal menambahkan bahwa jangan sampai pandemi dijadikan alat pemaaf massal apabila terjadi kekurangan-kekurangan atas pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19.
Pelanggaran protokol kesehatan hingga politisasi bantuan sosial
Penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 akan menimbulkan banyak persoalan. Heroik Pratama menambahkan bahwa banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan di masa Pilkada serentak pada saat ini. Ia mencontohkan, misalnya tentang pasangan calon yang mendaftarkan diri ke KPU menggunakan iring-iringan banyak orang, yang tentunya melanggar protokol Kesehatan. Heroik juga menambahkan data dari Bawaslu yang menunjukkan dari 10 hari pelaksanaan kampanye, sudah ada 207 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota.
Heroik menambahkan, penyelenggaraan Pilkada serentak di tengah pandemi rawan terhadap pelanggaran Pemilu. Salah satunya adalah politik uang dan pork barrel politics, “Di tengah situasi ekonomi yang kurang baik, uang sepuluh ribu gitu ya, akan jauh lebih berarti bagi para pemilih kita. Artinya bisa jadi dijadikan sebagai strategi instan oleh para peserta Pemilu untuk mendulang suara terbanyak,” jelasnya. Situasi pandemi Covid-19 juga melahirkan potensi pork barrel politics (politisasi bansos). Di luar kondisi pandemi saja, praktik politisasi bansos masih sering terjadi oleh para peserta incumbent untuk mendulang suara dengan melakukan politisasi bansos. Hal demikian akan lebih berpotensi terjadi di dalam kondisi pandemi seperti saat ini.
Tawaran solusi untuk pemerintah
Dengan banyaknya persoalan-persoalan yang timbul apabila Pilkada serentak tetap dilaksanakan di tengah-tengah situasi Pandemi Covid-19, beberapa pengamat dan akademisi memberikan tawaran solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut apabila pemerintah tetap ngotot untuk melaksanakan Pilkada serentak di tengah situasi pandemi Covid-19.
Zainal Arifin Mochtar contohnya, dirinya menyebutkan gagasan mengenai pelaksanaan Pilkada serentak dapat dilaksanakan berbeda-beda, tergantung pada situasi daerah yang menyelenggarakan Pilkada tersebut. Misalnya untuk daerah yang tergolong ke dalam zona Hijau sampai Kuning, Pilkada masih dapat dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Bagi daerah zona Oranye, Pemilu dapat ditunda hingga situasi agak membaik. Sedangkan untuk daerah-daerah berzona Merah dan Hitam, maka pelaksanaan Pemilu harus benar-benar ditunda pelaksanaanya. Namun, pihaknya meragukan pemerintah untuk melakukan strategi tersebut karena pemerintah takut repot. Zainal bahkan sedikit berpikiran negatif bahwa pemerintah terlalu pragmatis dalam membuat keputusan Pilkada di tengah-tengah pandemi Covid-19.
Heroik Pratama menjelaskan bahwa salah satu solusi KPU untuk mengurangi kontak langsung dengan menggunakan mekanisme rekapitulasi elektronik tidak dapat diterapkan pada Pilkada serentak tahun ini. Hal tersebut dikarenakan regulasi pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 hanya mengatur mekanisme electronic voting, bukan rekapitulasi elektronik. Undang-undang tersebut juga belum mengatur mengenai mekanisme dispute/ sengketa. Heroik juga menambahkan, berdasarkan pengamatan Perludem secara empiris, ketika KPU menguji-coba SI rekap, masih banyak catatan mengenai teknis teknologi informasi yang mesti harus dimatangkan lagi. Selain itu, penerapan rekapitulasi elektronik ini berpotensi menimbulkan sesuatu yang kontraproduktif, yaitu peserta pemilu pasti akan mempertanyakan tentang transparansi dan legalitas dari sistem rekapitulasi elektronik ini.
Pada akhir acara diskusi online yang bertajuk “Pesta Demokrasi di Tengah Pandemi” yang diselenggarakan oleh Dema Justicia FH UGM pada 9 Oktober lalu, Zainal Arifin Mochtar dan Heroik Pratama selaku peneliti Perludem sepakat mengatakan bahwa masih ada waktu untuk memikirkan kembali pelaksanaan Pilkada di tengah-tengah pandemi Covid-19. Zainal Arifin Mochtar juga mengingatkan kepada pemerintah agar tidak bermain-main dengan nyawa manusia. Pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi ini Zainal ibaratkan seperti bermain judi yang taruhannya adalah nyawa manusia. Maka dari itu, Zainal Arifin berharap agar pemerintah benar-benar memikirkan secara matang tentang kebijakan pelaksanaan Pilkada di tengah-tengah Pandemi Covid-19 ini.
Penulis: Riski Hafiz
Editor: Mustika
Sumber Foto: Lontar.id/Dumaz Artadi
Baca Juga: Dari Kesehatan hingga Partisipasi, Tantangan Berat KPU Menjalankan Pilkada di Tengah Pandemi