Di tengah keruwetan seputar pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang belum juga disahkan, muncul sikap tidak percaya dan keputusasaan masyarakat atas kinerja wakil mereka di DPR. Seakan tak ada lagi yang dapat diharapkan. Namun, masih ada secercah harapan bagi rakyat lewat sekelompok manusia yang masih sadar akan pentingnya kewarasan dan akal sehat. Salah satunya ialah para akademisi.
Peran akademisi dalam menyuarakan kebenaran seringkali dicampakkan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat di DPR. Namun, bara dan suara mereka tak padam maupun redam meski kering tenggorokan. Kata “menyerah” tak dikenal di dalam kamus mereka.
Akademisi secara umum diartikan sebagai orang-orang yang berkecimpung dalam dunia akademik atau pendidikan. Merekalah yang memikul beban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Tidak dapat kita sangsikan, para akademisi masih menjadi pihak yang diharapkan oleh masyarakat umum untuk mengkritisi kebijakan penguasa. Peran mereka sebagai pilar intelektual dan penjaga kewarasan berpikir, begitu dinantikan masyarakat yang sudah kian hilang kepercayaan kepada para wakil mereka di DPR yang dianggap tidak mewakili suara rakyat.
Kehadiran akademisi ibarat lilin yang menerangi sekelilingnya. Mereka mampu menunjukkan serta menuntun kepada kebenaran di tengah gelap gulitanya permasalahan yang dihadapi. Termasuk dalam hal pengesahan RUU PKS yang tak kunjung selesai.
Masyarakat sudah letih mendengar maraknya kasus kekerasan seksual yang kian sering terjadi. Hal ini sangatlah emosional, sebab setiap orang berpotensi menjadi korban dari kekerasan seksual terutama perempuan dan anak-anak. Mereka adalah kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual. Padahal seharusnya menjadi kelompok yang dilindungi dan mendapat rasa aman.
Terlebih saat ini kekerasan seksual dapat terjadi di mana pun termasuk lingkungan kampus yang merupakan “markasnya” akademisi. Hampir tidak ada tempat yang benar-benar aman dari ancaman kejahatan seksual. Dari diskotik hingga tempat peribadatan, bahkan kantor polisi sekali pun. Pelakunya juga bisa berasal dari kalangan apa pun, tak peduli status pendidikan ataupun ekonominya. Hal ini sudah cukup membuktikan betapa gentingnya perkara kekerasan seksual ini.
Aksi Nyata Akademisi dalam Memperjuangkan RUU PKS
Sejak dalam pembahasannya, RUU PKS ini tidak lepas dari peran para akademisi di samping pemerhati perempuan dan anak. Bahkan jasa mereka dipandang sangat signifikan karena landasan akademik dan keilmuan yang menyertai mereka. Kalau sudah berurusan dengan kepakaran, orang yang cuma pandai berbicara pasti akan keok. Maka dari itu, akademisi dipandang sebagai suatu harapan di tengah maraknya kepentingan politis di dalam proses legislasi.
Mereka tidak mau kalah dan dianggap lemah tak berdaya terhadap situasi ini. Mereka rutin mengadakan pertemuan untuk mengkaji dan membahas isu kekerasan seksual melalui berbagai cara dalam otoritasnya. Termasuk cara-cara populer, seperti mengadakan diskusi terbuka di stasiun televisi, seminar daring, hingga orasi massal .Tujuan utamanya adalah dapat mengedukasi masyarakat dan membumikan isu yang kesannya hanya orang-orang elit saja yang mampu membicarakannya.
Seperti dalam diskusi bertajuk “Apa Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bagi Hukum Pidana?” yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM secara daring pada tanggal 6 Agustus 2020 di saluran youtube Kanal Pengetahuan FH UGM. Diantaranya terdapat dua pembicara dalam webinar tersebut yaitu Edward O.S. Hiariej, sebagai Guru Besar Hukum Pidana FH UGM dan Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana FH UI. Serta seorang moderator yang juga salah seorang dosen FH UGM, Sri Wiyanti Eddyono, biasa disapa Iyik.
Mereka bukanlah “orang baru” dalam masalah pengesahan RUU PKS ini. Edward O.S. Hiariej yang akrab disapa Eddy, sudah pernah membantu dalam tim penyusunan di Komisi 8 DPR RI. Selain itu, Topo sudah malang melintang membicarakan masalah kekerasan seksual baik di lingkungan akademisi maupun masyarakat umum. Sedangkan Iyik, memanglah pemerhati isu kekerasan seksual dan sebelumnya pernah ditunjuk sebagai Komite Etik dalam kasus pelecehan seksual terhadap Agni yang viral pada masa itu. Mereka semua memperjuangkan hal yang sama sesuai dengan kompetensinya masing-masing, meski dengan cara yang berbeda-beda.
Mereka hanyalah secuil gambaran bagaimana peran akademisi yang begitu nyata untuk memperjuangkan hak masyarakat dan kebenaran berlandaskan objektivitas. Mereka ingin ilmu yang dipelajari dan dikuasai memberi dampak dan perubahan yang nyata ke arah yang lebih baik.
“Mari sekarang kita mengkampanyekan bahwa RUU PKS ini amat sangat urgent, harus masuk dalam prolegnas dan kita bergerak dari paradigma hukum pidana khusus dan sosiologis” seru Eddy dalam seminar tersebut. Pernyataan tersebut adalah salah satu support dari kalangan akademisi terkait dengan pembahasan RUU PKS. Lebih lanjut, Topo Santoso juga menyampaikan pandangannya terkait RUU PKS yaitu “Untuk melindungi Korban, maka negara harus ikut campur”. Dari kalimat tersebut, pandangan Topo lebih condong mendukung disahkannya RUU PKS untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual.
Selain itu, dalam wawancaranya bersama Tempo (6/8/2020), Topo menyebut DPR dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk melahirkan UU PKS. Sebabnya adalah persoalan kekerasan seksual merupakan kekerasan serius yang menimbulkan banyak korban. Pernyataan para ahli tersebut mengisyaratkan bahwa kaum akademisi sangat condong mendukung disahkannya RUU PKS. Kaum akademisi menganggap bahwa RUU PKS adalah salah satu hal yang dapat melengkapi sistem hukum nasional yang sedang dibangun.
Membumikan Kesadaran Kekerasan Seksual
Tantangan terberat bagi akademisi pada dasarnya adalah bagaimana membumikan segala persoalan yang ada sehingga masyarakat umum dapat mengerti permasalahan yang dihadapi. Yaitu menjelaskan sampai ke akar rumput suatu persoalan yang dianggap hanya orang berpendidikan saja yang mampu membicarakannya. Sehingga dapat mencegah kesalahpahaman dan pertikaian yang tidak ada gunanya. Alhasil, pokok permasalahan dapat tersampaikan dengan baik ke masyarakat dan proses demokrasi dapat berjalan dengan mangkus. Rakyat tahu apa yang harus mereka perjuangkan dan melakukannya dengan cara yang dibenarkan oleh konstitusi. Maka perjuangan mereka tidak sia-sia.
Perjuangan ini membutuhkan tekad yang kuat dan kerja sama yang solid dari semua pihak, tidak hanya para akademisi. Perlu proses yang berkesinambungan dan terintegrasi untuk dapat membumikan kesadaran atas kekerasan seksual di masyarakat awam. Selain itu, perlu uluran tangan dari segala elemen masyarakat maupun pemerintah. Karena pada dasarnya ini adalah tugas seluruh komponen bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas kekerasan seksual.
Kenyataan Bahwa Seringkali Pendapat Akademik Dikalahkan oleh Kepentingan Politik
Disayangkan sekali bahwa banyak pendapat akademik dikesampingkan oleh kepentingan politik. Akademisi sudah berusaha untuk melakukan riset, menyajikan data, dan melakukan penelitian serta sudah mencurahkan tenaganya untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia tetapi dibungkam oleh praktik-praktik kepentingan politik yang culas dan tidak transparan. Banyak sekali kepentingan politik yang mengalahkan kepentingan lainnya yang lebih penting. Kepentingan tersebut adalah sebuah hal yang memang dibawa oleh para anggota dewan, tetapi hal tersebut tidaklah harus selalu dimenangkan dalam segala hal. Sudah sebaiknya para anggota dewan memperhatikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dan mencoba memperbaikinya demi kebaikan bersama.
Pertentangan antara Idealisme dengan Realita
DPR memang seyogyanya diisi oleh berbagai kalangan agar dapat mewakili beragamnya kepentingan dan aspirasi rakyat. Anggota dewan yang juga mantan akademisi memiliki beban yang sangat berat. Mereka harus mampu menjunjung tinggi idealismenya sebagai akademisi untuk dapat memperjuangkan kebenaran objektif. Sehingga mereka tidak hanya menjadi alat politik partai yang mengusungnya. Akan tetapi, dalam realitanya hal ini tidaklah mudah. Sikap pragmatis politis seringkali mengalahkan idealisme mereka sebagai mantan akademisi.
Sikap pragmatisme anggota DPR muncul dari kepentingan politik mereka. Ini adalah realita, mereka tidak memikirkan nasib rakyat yang memilihnya, tetapi lebih memilih kepentingan kelompoknya. Sebagai mantan akademisi yang menjadi anggota dewan, sudah seharusnya mereka menjunjung tinggi idealisme dan dapat menjadi contoh bagi yang lain. Nampaknya mereka lupa, bahwa siapapun berkemungkinan mendapat kekerasan seksual. Termasuk juga anak dan keluarga mereka sendiri. Sungguh ironis bila ternyata hal itu tidak disadari atau bahkan disepelekan.
Benar adalah Benar, dan Salah adalah Salah
Perdebatan RUU PKS masih akan terus berlanjut. Namun, yang terpenting saat ini adalah menyatukan apa yang sama dan mengesampingkan dahulu apa yang berbeda. Tentu semua pihak menginginkan kehidupan yang bebas dari kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Itulah yang menjadi titik temu semua pihak di luar segala perdebatan tentang hal-hal lainnya.
Berkat pengabdian mereka dalam dunia akademik yang menuntut keobjektivitasan dalam mengeluarkan pendapat, para akademisi dipercaya menjadi tumpuan dan harapan bagi masyarakat apabila suara mereka sudah tak lagi didengar oleh penguasa. Jeritan rakyat akan mereka teruskan lewat tulisan-tulisan. Keringat demonstran mereka jadikan tinta untuk melawan yang salah. Benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Memang itulah tugas mereka sedari dulu dan akan selamanya seperti itu.
Penulis: Alvin Danu Prananta, Rizqullah Abimanyu (Magang)
Editor: Athena Huberta
Sumber Foto: Cpps.ugm.ac.id