web analytics
Warriors of the Dawn: Perjuangan dan Kesetiaan untuk Mempertahankan Negara

Warriors of the Dawn: Perjuangan dan Kesetiaan untuk Mempertahankan Negara

Judul Film: Warriors of The Dawn
Tanggal Rilis: 31 Mei 2017
Bahasa: Bahasa Korea
Sutradara: Jeong Yoon Cheol
Produser: Won Dong Yeon, Yoon Young Ha, Kim Ho Sung, Jung Ba Ok
Penulis: Shin Do Young, Jeong Yoon Cheol
Pemain: Lee Jung Jae, Yeo Jin Goo
Produksi: REALies Picture 20th Century Fox Korea, Verdi Media, Blossom Picture
Durasi: 130 menit

“Jagalah perbatasan. Mulai dari sekarang kamu adalah raja negeri ini,” titah Raja Seonjo kepada putranya yang bersujud di depannya. Invasi pasukan Jepang ke Joseon berhasil membuat seluruh negeri kocar-kacir. Tidak hanya kalah senjata, banyak dari masyarakat Joseon yang menjadi tawanan pasukan Jepang dan disiksa. Keadaan tersebut tak pelak membuat Raja Seonjo khawatir mengenai keselamatan dirinya.

Lewat diskusi tertutup bersama para menterinya, Raja Seonjo mengumumkan akan pergi ke Dinasti Ming. Keputusan mendadak Raja Seonjo melahirkan dua kubu di antara para menteri. Sebagian menteri berpendapat keputusan Raja Seonjo untuk pergi ke Dinasti Ming, yang saat itu bersekutu dengan Joseon, adalah keputusan yang tepat karena raja tidak boleh tewas dalam perang. Sebab jika raja tewas, maka seluruh negeri ikut runtuh. Di sisi lain, sebagian menteri menyayangkan keputusan raja yang meninggalkan rakyatnya. Mereka berpendapat bahwa raja harus terus bersama rakyatnya dan bertempur bersama mereka. Akan tetapi, keputusan Raja Seonjo sudah bulat. Ia memilih untuk meninggalkan rakyatnya.

Gelar yang tidak pernah diinginkan

Tubuh Pangeran Gwanghae terus bergetar hebat di depan ayahnya. Meskipun dia bergelar sebagai putra mahkota, Pangeran Gwanghae tidak pernah menginginkan gelar raja. “Ayah aku tidak bisa. Aku tidak berpengalaman. Aku masih muda.” Mengabaikan perkataan putranya, Raja Seonjo memerintahkan Pangeran Gwanghae untuk pergi ke markas militer di Pyongyang. Di sana Pangeran Gwanghae akan memimpin pasukan untuk mempertahankan Joseon dari serangan pasukan Jepang.

Di luar istana, kekacauan terjadi. Rakyat yang mendengar kabar Raja Seonjo akan pergi ke Dinasti Ming menjadi gelisah dan berkumpul di depan istana. Mereka merasa dikhianati dan ditinggalkan oleh rajanya. Tak sedikit dari mereka yang berusaha mencegah Raja Seonjo pergi, membaringkan tubuhnya di depan tandu sang raja agar tandu itu tidak bisa lewat. Akan tetapi, usaha itu sia-sia karena pasukan kerajaan langsung membunuh siapa saja yang menghalangi jalan raja menuju ke Dinasti Ming. Sementara itu di belakang iring-iringan tandu raja, Pangeran Gwanghae bersujud melepas kepergian ayahnya. 

Kegetiran tampak jelas menyelimuti wajah sang pangeran ketika kemudian dia berhadapan langsung dengan pasukan dan dayang-dayang kerajaan yang akan mengantarnya menuju Pyongyang. Di antara pasukan tersebut, terdapat tentara bayaran yang khusus di sewa untuk menjalankan misi menjaga putra mahkota sampai Pyongyang. Gok Soo salah satu tentara bayaran itu, tersenyum sinis dan berkata kepada To Woo, ketuanya, “Apakah menurutmu dia bisa memimpin peperangan?” Sesaat To Woo terdiam sembari terus menatap ke arah putra mahkota. “Tenang saja. Kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan misi ini dan mendapatkan bayarannya.”

Perjalanan menuju Pyongyang dijalani dengan lambat. Rombongan harus sesekali berhenti karena Pangeran Gwanghae harus membersihkan diri. Keadaan tersebut memancing keluhan dari para tentara bayaran yang menganggap putra mahkota terlalu manja.

Pada malam hari, rombongan pasukan pengantar putra mahkota berhenti dan mendirikan tenda.  Kesempatan itu dimanfaatkan para penasihat kerajaan yang ikut dalam rombongan untuk memberikan masukan kepada putra mahkota mengenai strategi yang harus ia lakukan agar bisa memenangkan perang dari Jepang. Di luar tenda, para tentara bayaran bersama pasukan kerajaan berjaga sembari menyantap bekal yang mereka bawa. 

Saat tengah asyik makan, tiba-tiba tenda mereka dihujani oleh panah api. Banyak dari antara pasukan kerajaan serta dayang-dayang kerajaan yang tertusuk oleh panah api tersebut. Keadaan pun menjadi kacau-balau. To Woo yang saat itu sedang berada di dekat tenda putra mahkota, segera masuk ke dalam dan menemukan putra mahkota justru sibuk menyelamatkan buku-bukunya dari kobaran api. Melihat itu, To Woo langsung menarik kerah Pangeran Gwanghae dan membawanya ke tempat aman.

Keesokan harinya saat keadaan sudah aman, Pangeran Gwanghae memanggil To Woo. Di hadapan pasukan kerajaan dan para tentara bayaran, Pangeran Gwanghae menampar To Woo yang lancang menariknya keluar tenda dan menyebabkan semua bukunya hangus terbakar. Duk Yi, salah satu dayang kerajaan, mencoba menghentikan Pangeran Gwanghae ketika akan memukul To Woo kembali. Duk Yi berpendapat bahwa seharusnya Pangeran Gwanghae berterima kasih kepada To Woo yang telah menyelamatkannya.

“Perjalanan ini tidak aman. Kita harus melewati gunung untuk sampai ke Pyongyang. Aku tahu jalannya,” ucap To Woo spontan di hadapan Pangeran Gwanghae. Awalnya, pasukan dari kerajaan menentang usulan To Woo karena dianggap akan berbahaya bagi putra mahkota. Di luar dugaan, Pangeran Gwanghae menyetujui ide tersebut dan mengikutinya.

Kebenaran dari hubungan ayah dan anak

Perjalanan ke Pyongyang melalui jalur gunung terasa lebih berat. Berkali-kali para pembawa tandu jatuh karena tidak mampu menahan berat sambil berusaha untuk mendaki gunung. Tidak tahan, To Woo pun akhirnya membuang tandu itu ke jurang. Tak pelak tindakan To Woo menuai amarah pasukan kerajaan.  Perkelahian antara pasukan kerajaan dengan To Woo menjadi tidak terelakan. Sesaat sebelum keadaan semakin runyam, Pangeran Gwanghae berkata ia tidak keberatan tandunya dibuang dan memilih untuk berjalan kaki bersama yang lain.

Di tengah perjalanan, rombongan dari pasukan putra mahkota kembali mendapatkan serangan. Kali ini lebih banyak lagi tentara bayaran, pasukan kerajaan, dan dayang-dayang yang tewas tertusuk panah. Merasa tidak mampu bertarung, Pangeran Gwanghae berlari meninggalkan rombongannya untuk melarikan diri. Dalam pelariannya tersebut, ternyata Pangeran Gwanghae diikuti oleh beberapa orang yang menyerang rombongannya. Duk Yi yang melihat putra mahkota terancam keselamatannya berlari ke arah To Woo dan memintannya untuk menyelamatkan putra mahkota. To Woo segera berlari mengikuti putra mahkota dan bertarung dengan beberapa orang yang mengikuti mereka. 

Pertarungan satu lawan beberapa orang adalah pertarungan yang tidak mudah. To Woo terdesak dan terjatuh ke tanah bersama satu penyerang yang masih gagal dihabisinya. Pangeran Gwanghae yang sedari tadi melihat pertarungan To Woo hanya bergerak tidak menentu sembari mengacung-acungkan pedangnya. “Bunuh dia putra mahkota!” teriak To Woo disela-sela pergulatan, “Bunuh dia dengan pedangmu!” teriak To Woo sekali lagi. Sayangnya Pangeran Gwanghae hanya bergetar ketakutan sambil mengacungkan pedangnya ke arah penyerang yang menimpa tubuh To Woo. Beruntung, To Woo berhasil memenangkan pergulatan dan berhasil membunuh semua penyerang yang mengikuti putra mahkota

Rombongan yang sempat tercerai-berai kembali berkumpul setelah sisa rombongan putra mahkota berhasil memenangkan pertarungan. Salah seorang dari tentara bayaran kemudian diutus untuk menyelidiki dalang penyerangan. Dia kembali dengan membawa kabar bahwa salah seorang dari dayang kerajaan telah berkhianat.  Tentara bayaran tersebut menemukan jejak kipas kerajaan yang sengaja ditinggalkan serta kain yang diikatkan ke dahan sebagai tanda rute perjalanan. Kebenaran langsung terungkap ketika salah seorang dayang pergi melarikan diri mendengar kedoknya diketahui orang lain. Pasukan tentara bayaran langsung mengejarnya dan membawanya kembali untuk diinterogasi.

“Aku hanya mengikuti perintah raja,” ungkap dayang itu ketakutan. “Putra mahkota apakah kamu pernah melihat ibumu?” mendengar pertanyaan itu Pangeran Gwanghae tertegun. “Tidak pernah,” jawab Putra Mahkota kebingungan. “Pada awalnya raja merasa bahagia ketika putra mahkota lahir. Akan tetapi, perasaan itu berubah ketika istrinya mati saat melahirkanmu. Sejak saat itu, dia membencimu dan memerintahkan diriku untuk membunuhmu,” mendengar perkataan itu Pangeran Gwanghae menjadi kalut dan marah. Separuh dari dirinya mengakui bahwa dia merasa jika ayahnya membencinya. Separuh dirinya lagi merasa begitu sedih karena ternyata  bukan hanya perasaannya saja, tetapi ayahnya bahkan tega menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Kemarahan dan perasaan sedih yang membuncah pun ia luapkan dengan memenggal dayang yang berkhianat itu.

Perjuangan dan kesetiaan menjadi unsur utama

Warriors of the Dawn mengambil latar waktu invasi Jepang ke Joseon yang mana kedaulatan Dinasti Joseon sedang dipertaruhkan. Pangeran Gwanghae yang diperankan oleh Yeo Jin Goo digambarkan sebagai putra mahkota yang tidak cakap. Gelarnya sebagai putra mahkota didapatkan olehnya semata-mata karena ia adalah putra tertua dari Raja Seonjo. Di dalam dirinya tidak pernah terbersit sekalipun tanggung jawab untuk memikul beban sebagai penerus ayahnya. Akan tetapi, Pangeran Gwanghae perlahan berubah menjadi sosok yang bertanggung jawab setelah bertemu dengan To Woo. 

Perubahan juga hadir pada karakter To Woo yang diperankan oleh Lee Jung Jae. Ia yang semula hanya tentara bayaran dan hendak pergi setelah dikhianati kerajaan, menunjukkan kesetiaannya kepada Pangeran Gwanghae dengan kembali untuk memberitahukan kabar pasukan Jepang yang sudah mendekat..

Mendengar kabar dari To Woo, Pangeran Gwanghae berkata dengan suara lantang, “Aku akan tinggal. Aku akan di sini dan berperang bersama rakyatku.” Keputusan putra mahkota untuk ikut berperang langsung ditolak mentah-mentah oleh para penasihat kerajaan. Para penasihat kerajaan meminta Pangeran Gwanghae untuk pergi menyusul ayahnya dan meninggalkan rakyat berjuang sebagai bentuk apreasinya terhadap rakyat yang telah mati untuknya.

Pangeran Gwanghae tidak menggubris perkataan para penasihat dan tetap nekat ikut berperang. Ia bersama-sama dengan To Woo berjuang menyelamatkan rakyat Joseon dari serangan pasukan Jepang. Sikap pengecut yang awalnya melekat dalam diri Pangeran Gwanghae pun hilang dan digantikan dengan sikap beraninya untuk berdiri di garis terdepan memimpin perang.

Dialog yang penuh makna

Film yang disutradarai oleh Jeong Yoon Cheol ini berhasil mengajak para penontonnya untuk menyelami arti dari perjuangan dan kesetiaan melalui dialog-dialog yang dilontarkan oleh tokoh-tokohnya. Perjuangan dan kesetiaan yang dianggap berat dan mudah untuk dilalaikan menjadi dua hal penting untuk bertahan dalam situasi-situasi sulit. Hal tersebut tercermin dari perkataan To Woo kepada Pangeran Gwanghae pada detik-detik sebelum menyerbu markas militer Jepang, “Apakah sekarang kau masih tidak ingin menjadi raja?” Meskipun tidak secara lugas mengarah pada makna dari perjuangan dan kesetiaan, penonton bisa mengambil ketiga makna tersebut dari sikap Pangeran Gwanghae yang bertarung mati-matian di medan perang.

Kisah dari Pangeran Gwanghae dan To Woo ditutup dengan sebuah kalimat yang diambil dari lambang dua naga bendera Kerajaan Joseon. “Satu naga melambangkan raja dan naga lainnya melambangkan rakyat.” Bagi Anda yang gemar menonton kisah heroik sarat makna dengan latar belakang sejarah, film berdurasi 130 menit ini sangat cocok Anda tonton. (Rosa Pijar)


Sumber Foto: Pinterest

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *