Memulai tahun 2021, Indonesia telah menerima laporan mengenai krisis korupsi yang terjadi melalui skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 oleh Transparency International Indonesia atau TII pada 28 Januari 2021, yang menyatakan IPK Indonesia tahun 2020 turun tiga poin dari skor tahun sebelumnya menjadi 37 poin sehingga menyebabkan peringkat Indonesia merosot ke posisi 102 dari 180 negara survei. Berangkat dari hal tersebut, Kamis (4/2), Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) mengadakan serial diskusi daring bertajuk “IPK Jeblok: Krisis Korupsi & Demokrasi” yang dihadiri dua narasumber, yaitu Natalia Soebagjo mewakili Transparency International dan Zainal Arifin Mochtar, dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus peneliti dari lembaga Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM untuk membahas faktor mengenai penurunan tersebut.
Survei IPK diambil pada rentan waktu dari pertengahan tahun hingga Oktober 2020. Terhadap lima dari 9 survei yang dilakukan di Indonesia menunjukan penurunan, tiga survei stagnan, dan satu sisanya meningkat. Natalia menjelaskan, “Penurunan kita yang paling besar itu di Global Insight Country Risk Ratings, itu turun 12 poin. Ini melihat apakah perusahaan-perusahaan itu harus berhadapan dengan suap dan perilaku korupsi lain saat melakukan bisnis.” Kemudian penurunan secara berturut-turut pada Political Risk Service, IMD World Competitiveness Yearbook, Political and Economic Risk Consultancy, dan Varieties of Democracy Project. Satu-satunya survei yang mengalami perbaikan skor dari tahun 2019 adalah World Justice Project Rule of Law Index. Walaupun demikian, peningkatan tersebut terbilang kecil dari nilai rata-rata IPK menurutnya.
Faktor yang dianggap sebagai pemicu turunnya IPK Indonesia salah satunya ketika negara menganggap korupsi bukan lagi extraordinary crime. “Kalau negara sendiri sudah lebih mengedepankan kepentingan politik dibanding kepentingan pemberantasan korupsi, pasti ada masalah di situ,” ujar Zainal untuk menanggapi soal ketidakseriusan negara dalam pemberantasan korupsi. Peran negara dianggap krusial dalam proses pemberantasan korupsi karena perlu adanya sinergi antara dukungan publik dan keseriusan negara dalam usaha-usaha penghapusan tindak korupsi di Indonesia.
Selain itu, terdapat beberapa bom waktu yang dapat meledak pada tahun 2021 menurut Zainal. Salah satunya kewajiban alih fungsi semua penyidik KPK secara penuh di akhir Oktober 2021 nanti sebagaimana pengaturan transisi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Zainal percaya jika sebenarnya denyut dari KPK berasal dari penyidik-penyidik yang belum beralih fungsi sepenuhnya menjadi ASN. “Bahayanya saat menjadi ASN, penyidik non polisi dan kejaksaan akan menjadi PPNS. Once menjadi PPNS pembinaanya akan masuk di kepolisian,” ungkapnya. Maka apabila 2021 bom meledak, dimungkinkan KPK akan berhenti berdenyut.
Kemudian, dibukanya kran investasi dan kemudahan usaha secara luar biasa, tanpa didampingi pengaman untuk pemberantasan korupsi melalui UU Ciptakerja juga menandakan belum mampunya pemerintah membangun sistem pengawasan namun secara sepihak mempermudah perihal perizinan juga dapat memperburuk kondisi Indonesia kedepannya. Selain itu, hal terpenting bagi Zainal adalah ketika agenda kenegaraan terbengkalai, maka perbaikan institusionalisasi tidak akan tercipta. Institusionalisasi yang dimaksud adalah dalam aspek lembaga ataupun peraturan. Belakangan diketahui bahwa peraturan menjadi berantakan dikarenakan ketiadaan peran publik secara baik. Hal-hal tersebut akan menjadi bom waktu yang berbahaya. Ditambah kehidupan politik yang juga berpotensi menjadi bom. “Tahun 2024 kemungkinan akan terjadi agenda pemilu dan presiden akan mengalami perubahan. Ketika presiden berganti tahun 2024, ada kemungkinan partai politik menyalakan mesin lebih cepat bahkan mulai tahun 2022 barangkali,” jelas Zainal. Sehingga dimulainya pertarungan antar partai politik tersebut dapat mempengaruhi kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Terkait kondisi di atas, Transparency International telah mengajukan beberapa rekomendasi yang masih sejalan dengan rekomendasi tahun sebelumnya, seperti memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawas, memastikan transparansi kontrak pengadaan, merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik, serta mempublikasikan dan menjamin akses data yang relevan.
Penulis: Latif Putri, Satrio Wahyu
Editor: Nita Kusuma