web analytics
Sanksi Pidana Bagi Penolak Vaksin Dinilai Tidak Tepat, Pemerintah Diminta Perhatikan Prasyarat dalam Kewajiban Pengupayaan HAM

Sanksi Pidana Bagi Penolak Vaksin Dinilai Tidak Tepat, Pemerintah Diminta Perhatikan Prasyarat dalam Kewajiban Pengupayaan HAM

Dalam beberapa waktu terakhir, isu vaksin Covid-19 menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Terlebih dengan adanya pernyataan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Hiariej, yang menyatakan bahwa dapat dijatuhi sanksi pidana bagi orang yang menolak vaksinasi Covid-19. Hal ini berangkat dari UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Isu pemidanaan terkait penolakan vaksinasi Covid-19 lantas menjadi persoalan di tengah masyarakat. Atas hal tersebut, dilangsungkan Forum Diskusi Publik Nasional Lumina Justitia oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan tajuk “Sanksi Pidana bagi Penolak Vaksin, Haruskah Diberlakukan?” Webinar yang diselenggarakan pada Minggu (7/2) tersebut menghadirkan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, aktivis HAM sekaligus pendiri Lokataru Indonesia, Haris Azhar, serta Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas, Nani Mulyati.

Dari sisi peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU Kekarantinaan Kesehatan, Haris menyatakan bahwa memang ada sanksi pidana di dalamnya, akan tetapi tidak tepat apabila digunakan untuk mengancam masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19. Menurutnya, meski negara mengupayakan kewajiban pemenuhan hak atas kesehatan sebagai bagian dari HAM, tetapi tetap perlu memperhatikan aspek relatif HAM, yaitu prasyaratnya. “Harus dilihat sejumlah prasyaratnya, misalnya koresponden atau kelompok-kelompok yang terancam, pihak-pihak yang bertanggungjawab, atau juga situasinya, dalam hal ini soal vaksin, dan lain-lain,” pungkasnya.

Haris juga menyebut vaksin sebagai atribut negara dalam menjalankan tugasnya berupa kewajiban pengupayaan hak atas kesehatan milik warganya. Namun, ia menilai yang harus diperhatikan dalam HAM tidak hanya dari segi materi tetapi juga formal atau caranya. “Dari sisi cara, yang dibahas adalah pendekatan hak atas kesehatan. Harus dipastikan bahwa setiap orang dipastikan dapat, dari akses, obat, hingga pelayanannya diutamakan bagi yang lemah,” ujarnya. Ia menganalogikan dengan perbedaan pengguna BPJS di dalam dengan di luar Jawa, sehingga perlu diperhatikan dan dipastikan apakah distribusi dapat berpihak pada mereka yang lemah.

Lebih lanjut, dari sisi HAM perlu juga memperhatikan lebih tentang kualitas vaksin yang akan diberikan ke masyarakat. “Kemudian, dibahas pula kualitas dari vaksin tersebut. Apakah merupakan obat atau cara atau materi yang diperlukan dalam menangani situasi hari ini,” ungkap Haris. Dalam hal ini, persoalan berada pada apakah kualitas vaksin sudah baik dengan memperhatikan syarat-syaratnya dari jangka waktu 18 bulan hingga kecocokan genetik manusia.

Kembali, ia menyebut bahwa seharusnya yang dijatuhi sanksi adalah bagi mereka yang secara nyata menyebarluaskan wabah, bukan mereka yang menolak vaksin. Lebih jauh, apabila sanksi pidana digemborkan sebagai dalih atas mulai acuhnya masyarakat pada pandemi Covid-19, secara politis Haris menilai negara sudah tidak dihargai. “Jadi situasi ini alamiah, masyarakat mulai lelah, acuh tak acuh, jadi ada ancaman ini”. Ia menambahkan bahwa kondisi ini terjadi juga karena pengadaan vaksin bagi sejumlah pihak dalam masyarakat, dianggap menjadi bisnis. Sebagaimana yang terjadi pada rapid test yang disediakan dengan harga jauh lebih mahal dari harga awal yang telah ditetapkan.

Sementara itu, Nani Mulyati berpandangan bahwa inti dari permasalahan vaksinasi ini adalah ketidaktahuan dan ketakutan masyarakat terhadap keamanan vaksin. Penyelesaian yang paling tepat adalah dengan melakukan edukasi. Akan tetapi hal itu akan memerlukan waktu yang lama sementara Covid-19 telah ditetapkan sebagai kondisi darurat, sehingga hukum bisa saja digunakan untuk menangani permasalahan ini.

Nani menjelaskan, untuk menerapkan hukum pidana, pemerintah terlebih dahulu harus memperhatikan beberapa hal. “Yang pertama, pemerintah harus memastikan transparansi dan akuntabilitas vaksin yang diberikan kepada masyarakat. Yang kedua adalah tanggung jawab negara jika semisal memang terdapat indikasi atau implikasi lanjutan dari pemberian vaksin kepada warga masyarakat, sebagai contoh jika ada warga negara yang lumpuh setelah diberi vaksin, apakah negara akan bertanggungjawab?” paparnya. Nani juga mengingatkan bahwa posisi hukum pidana sebagai ultimum remedium, yaitu hukum pidana dijadikan sebagai upaya terakhir yang digunakan apabila sudah tidak dimungkinkan adanya upaya penyelesaian lain.

Dari sisi Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar menilai bahwa yang menjadi masalah sejak awal adalah tidak adanya konsolidasi perundang-undangan yang secara khusus dan holistik berbicara tentang penanganan Covid-19, sehingga wajar apabila sekarang terjadi perbedaan dalam memaknakan undang-undang. Misalnya dari Pasal 14 UU No. 14 tahun 1984 tentang Penanganan Wabah Penyakit, negara dapat memberikan sanksi pidana bagi siapapun yang menghalangi pelaksanaan penanganan wabah penyakit, dalam hal ini penolakan vaksin. Sementara, Pasal 5 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbicara bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang ia perlukan bagi dirinya, sehingga orang mempunyai hak untuk menolak vaksin. Karena pertentangan inilah, Zainal menyarankan pemerintah untuk membentuk undang-undang baru yang mengatur secara keseluruhan terkait penangan Covid-19, termasuk untuk menegasikan hak-hak tertentu seperti hak pribadi untuk hak masyarakat dalam hal pemberlakuan kewajiban vaksinasi.

Sebagai alternatif dari penerapan sanksi pidana, hukuman yang bersifat administratif dirasa lebih tepat diberlakukan. Sebagai contoh yaitu, bagi yang menolak vaksinasi akan dikenakan pembatasan mobilitas ke luar kota, pembatasan untuk berkerumun dan berkumpul, pembatasan melakukan kegiatan fisik di kampus atau di lingkungan kerja, atau pembatasan-pembatasan lainnya.

Penulis: Athena Huberta, Fatih Erika

Editor: Maura Safira

Foto: Tetra

Leave a Reply

Your email address will not be published.