Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 menjadi tonggak penegakkan hukum dalam menanggulangi kasus terorisme yang ada di Indonesia. Namun, Achmad Michdan, advokat Tim Pengacara Muslim (TPM), menyatakan bahwa dalam proses penegakkan hukum tindak pidana terorisme, banyak terdapat penyelewengan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Walaupun demikian, sampai saat ini belum dibentuk undang-undang tentang petugas yang melakukan penyelewengan tersebut, lanjutnya. Hal ini menimbulkan tanda tanya dalam benak masyarakat, apakah aparat penegak hukum sudah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang dan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Berangkat dari pertanyaan tersebut, diadakanlah diskusi daring berjudul “Menyingkap Tabir Due Process of Law dalam Kasus Terorisme” yang diselenggarakan pada Sabtu (26/06).
Michdan mengungkapkan bahwa, proses persidangan yang berkaitan dengan terorisme jauh dari proses keadilan. Padahal, Indonesia sendiri menganut asas Due Process of Law dalam menegakkan hukum acara pidananya. Selain itu, hak asasi manusia sangat dijunjung tinggi pada saat proses pra peradilan dan proses peradilan berlangsung. Adapun dosen hukum pidana Universitas Gadjah Mada, M. Fatahillah Akbar, menerangkan bahwa due process of law merupakan pembatasan hak-hak seseorang yang sesuai dengan prosedur.
Achmad Michdan menyatakan bahwa terjadi pelanggaran hak-hak tersangka kasus teroris oleh aparat penegak hukum, seperti tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi dengan keluarga ataupun mencari penasihat hukum sendiri. Hal ini mencerminkan bahwa para terduga pelaku tidak dilindungi oleh undang-undang. Lebih lanjut menurut Michdan, bahwa berdasarkan aturannya, apabila ada penegak hukum yang melakukan penyelewengan, penegak hukum tersebut dapat dituntut dan dapat dipidanakan. Michdan menekankan banyaknya kasus penyelewengan ini seharusnya diatasi dengan dibentuknya komisi pengawas penanggulangan terorisme. Ia juga menyatakan bahwa tindakan penanggulangan kasus terorisme ini masih jauh dari kata adil terhadap tersangka kasus teroris di Indonesia.
Menanggapi adanya permasalahan dalam penanggulangan kasus terorisme yang dirasa masih jauh dari konsep due process of law, menurut Yosep Parera, penemu Rumah Pancasila dan Klinik Hukum, bahwa hukum di Indonesia harus didasarkan pada Pancasila. Menurutnya, Pancasila menjunjung tinggi nilai ketuhanan dan Tuhan menciptakan manusia dengan tiga hak, yaitu hak untuk hidup, hak untuk bebas, dan hak milik.
“Indonesia harus melindungi hak-hak tersebut karena negara memiliki kekuasaan yang sangat besar dan tidak mungkin rakyat bisa melindungi hak-haknya sendiri, itulah mengapa ada yang namanya undang-undang” jelas Yosep.
Pengacara tersebut juga menyatakan, bahwa undang-undang mengatur tentang adanya praduga tidak bersalah kepada pelaku, namun juga harus dibatasi untuk mencegah dampak yang lebih besar. Dengan demikian, aparat penegak hukum tidak bisa langsung menyatakan bahwa tersangka adalah orang yang melakukan kesalahan. Bahkan menurut pandangannya, seorang hakim harus bisa memposisikan dirinya sebagai tersangka, mengapa tersangka melakukan hal tersebut dan mengetahui siapa yang sebenarnya melakukan kesalahan.
Menyambung pemaparan Yosep, Akbar mengutip sebuah pernyataan dari Pollock yang intinya mengungkapkan bahwa sistem peradilan yang ada malah membuat ketidakadilan dalam penerapannya. Akbar mengungkapkan, bahwa seharusnya hukum acara lahir untuk menghilangkan ketidakadilan dan melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan penegak hukum. Ia berpendapat bahwa sebenarnya hukum acara di Indonesia sudah benar dan sesuai, hanya saja dalam penerapannya, masih banyak aparat penegak hukum yang tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga masih terdapat oknum yang melakukan penyelewengan.
Yosep berpendapat bahwa pada hakikatnya due process of law, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2018 dan beberapa peraturan terkait. Ia mendambakan kesiapan aparatur penegak hukum, terkhusus hakim untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam menjalankan tugas.
”Setiap Hakim, ketika menyidangkan sebuah perkara, baik itu pra peradilan, maupun peradilan pada umumnya, tidak hanya menakar dari undang-undang, tetapi juga menakar dalam kacamata Pancasila,” jelas Yosep.
“Dia harus mampu untuk menjadi pelaku kejahatan sekaligus sebagai korban, sehingga mampu memberikan putusan yang adil”, pungkasnya.
Penulis: Mahdi Rais Pangestu
Penyunting: Akmal Prantiaji.
Fotografer: Tetra Martinasari