web analytics
Hak Buruh Perkebunan Sawit Atas Kesehatan  di Masa Pandemi Covid-19: Terpinggirkan Akibat Isolasi?

Hak Buruh Perkebunan Sawit Atas Kesehatan di Masa Pandemi Covid-19: Terpinggirkan Akibat Isolasi?

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bersama The Conversation Indonesia pada Jumat (20/8) menggelar Webinar bertajuk “Kondisi Buruh Perkebunan Sawit di Masa Pandemi Covid-19: Sejauh Mana Pemenuhan Hak atas Kesehatan dapat diakses?” yang bertujuan untuk memberi pemahaman terkait kondisi buruh perkebunan kelapa sawit yang tengah dihajar berbagai tantangan dalam kondisi pandemi Covid-19.

Ika Krismantari sebagai Deputy Executive Editor The Conversation menjelaskan sepintas mengenai background dari industri perkebunan sawit yang merupakan salah satu industri strategis di Indonesia sekaligus penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Industri kelapa sawit telah menyumbang 17-18% ekspor nasional dengan kenaikan nominal dari 21 miliar dolar AS pada tahun 2019 hingga ke 22,97 miliar dolar AS pada tahun 2020. Nominal tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa sawit adalah produk yang dibutuhkan untuk desinfektan, bahan pangan, energi, dan alternatif konsumsi biodiesel untuk mengurangi fossil fuel. “Hal ini lantas menjadikan sektor industri perkebunan sawit sebagai sektor yang paling tahan banting dengan kurang lebih 7 juta buruh,” imbuhnya.

Akan tetapi, kondisi buruh dan tenaga kerja di perkebunan sawit mengalami keterbatasan kapasitas akibat pandemi. Hal ini disebabkan oleh akses layanan kesehatan dan vaksinasi yang kurang optimal di daerah perkebunan. Sebagian besar berlokasi di daerah yang jauh dari perkotaan dan terpencil. Putri Nidyaningsih sebagai perwakilan ELSAM memantik diskusi melalui urgensi akses layanan kesehatan bagi para buruh yang tak terlepas dari alasan bahwa sektor perkebunan sawit telah memberi kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian.

“Pada faktanya teman-teman buruh bekerja sesuai jam kerja dari jam 7 pagi sampai 5 sore dan hanya beristirahat di siang hari selama 1 jam,” ungkap Putri.

Pernyataan tersebut dikonfirmasi oleh Zidane sebagai perwakilan dari Koalisi Buruh Sawit. Ia menegaskan bahwa keterisolasian tidak membuat buruh perkebunan sawit bebas dari paparan virus Covid-19. Ia juga menegaskan bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan dan vaksinasi bagi buruh sudah seharusnya menjadi perhatian bagi perusahaan dan pemerintah. Namun, faktanya masih ada beberapa kasus saat buruh tidak mendapat fasilitas, seperti di Kalimantan Timur dan daerah lainnya.

“Sampai pada tahun 2020, terdapat 200 orang buruh yang terpapar Covid-19 di perkebunan sawit yang tersebar di Palembang, Kalimantan Tengah, Papua, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur,” tegas Zidane.

Akan tetapi, Sumarjono Saragih sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menjelaskan bahwa berbagai upaya pencegahan telah ditempuh oleh GAPKI, termasuk kerjasama dengan Jaringan Serikat Pekerja Dan Buruh Sawit untuk membangun protokol kesehatan bersama agar dipatuhi secara disiplin. Upaya tersebut salah satunya dilakukan dengan tetap melaksanakan apel pagi yang bertujuan untuk mengingatkan kepatuhan pada protokol kesehatan, kampanye tidak mudik lebaran, kontrol terhadap akses keluar masuk perkebunan, dan pembangunan klinik kecil hingga fasilitas kesehatan tingkat 1 bagi perusahaan yang mampu.

“Dari berbagai upaya yang digalakkan, 200 kasus dari jutaan buruh sawit adalah angka yang cukup baik dari berbagai upaya pencegahan,” ungkap Sumarjono.

Diskusi lantas merambat pada akses terhadap vaksinasi bagi buruh yang masih sangat terbatas. “Kami jadi bertanya-tanya, ini perusahaan yang tidak bisa, atau tidak mau? Atau stok vaksin yang tidak ada?” pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Zidane yang mengkritik  minimnya akses pada fasilitas kesehatan yang layak bagi buruh.

“Teman-teman [buruh] percaya vaksinasi bisa mengurangi resiko, tapi barangkali persediaannya yang tidak ada untuk luar Pulau Jawa, atau sengaja ditumpuk di Pulau Jawa,” tambah Zidane.

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Siti Nadia Tarmizi selaku Juru Bicara Program Vaksinasi Covid-19 yang mengkonfirmasi permasalahan keterbatasan jumlah vaksin. Saat ini, Indonesia baru menerima 160 juta dosis alias 30% dari total kebutuhan yaitu sebanyak 426 juta dosis. Nominal tersebut menjadi penyebab tidak meratanya penyebaran vaksin, ditambah proses Quality Checking yang wajib dilaksanakan selama dua sampai tiga minggu setibanya vaksin di Indonesia. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa pemerintah tengah melakukan berbagai upaya diplomasi agar vaksinasi datang lebih cepat. Alasan vaksinasi diprioritaskan di Pulau Jawa dan Bali juga tidak lepas dari fakta bahwa mobilitas dan resiko penularan tertinggi terjadi di Jawa-Bali. 

“Maka itu masyarakat harus bersabar karena jumlah vaksin tidak sesuai dengan kebutuhan kita, dan datangnya bertahap,” tegas Siti.

Diskusi pun ditutup dengan pernyataan-pernyataan satu suara untuk segera mempercepat vaksinasi dan  upaya penegakan terhadap protokol kesehatan di kalangan buruh sawit. Hal tersebut sebagai pemenuhan dasar Prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia dalam UN Guiding Principles yang memerlukan kolaborasi dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil untuk mewujudkan bisnis yang menghormati hak asasi manusia. Sumarjono Saragih dan Nadia Tarmizi juga setuju bahwa berbagai kerjasama harus dilaksanakan antara perusahaan dan fasilitas kesehatan, seperti perusahaan dapat menyediakan kit testing rapid antigen Covid-19 dan bekerja sama dengan bidan desa di polindes terdekat untuk membantu pelaksanaan testing

Penulis: Jennifer Hwang

Penyunting: Rieska Ayu

Foto: The Palm Scribe: https://thepalmscribe.id/id/koalisi-buruh-sawit-minta-pemerintah-prioritaskan-perlindungan-buruh/

Leave a Reply

Your email address will not be published.