Datang dan perginya musim dingin menggambarkan pergantian zaman. Sementara itu, timbul dan lenyapnya manusia salju melukiskan kelahiran dan kematian umat manusia.
Aku baru tiba di Istanbul siang ini. Cuaca cukup dingin karena sebentar lagi akan memasuki bulan Desember. Di atas bukit Camlica yang menyediakan pemandangan indah, aku menunggu Eileen yang dari pagi sudah dalam perjalanan dari Ankara menuju ke sini. Setelah lima tahun tidak bertemu, akhirnya aku bisa menyusul Eileen yang sejak lulus SMA langsung menempuh pendidikan tinggi di Turki dan belum pernah pulang ke tanah air.
Setelah beberapa saat memilah satu per satu orang yang lewat, akhirnya dari kejauhan aku dapat melihat seorang gadis dengan mantel putih tebal dan sarung tangan hitam sedang berjalan mendekat ke arah tempatku duduk. Sedikit demi sedikit saat ia semakin dekat, aku mulai sadar bahwa gadis itu adalah Eileen. Ia sekarang terlihat lebih dewasa daripada saat terakhir kali aku bertemu dengannya saat berusia 18 tahun. Dengan melambai sambil berjalan pelan, ia membuka obrolan.
“Hoşgeldiniz –selamat datang!” ucapnya.
“Nasılsın?” jawabku.
“Ben iyiyim –aku baik-baik saja.” sambung Eileen sambil memelukku, “Ternyata kamu cukup piawai berbahasa Turki. Bagaimana dengan kabarmu?”
“Hanya beberapa ungkapan saja. Aku belajar dari pramugari yang memberi kursus singkat bahasa Turki di pesawat. Seperti yang kamu lihat, aku selalu dalam keadaan terbaik setiap bertemu denganmu.”
“Kamu memang yang paling manis dalam berkata-kata!” sahut Eileen sambil tertawa.
Kami mulai duduk bersama. Aku mulai membuka beberapa oleh-oleh dari tanah air untuknya. Ia nampak senang ketika melihatku membawakannya makanan dan minuman kesukaannya. Aku juga membawakannya beberapa buku bacaan berbahasa Indonesia karena kutahu sekarang ia lebih banyak membaca buku berbahasa Inggris dan Turki.
“Bagaimana keadaan di rumah?” tanya Eileen.
“Banyak hal yang berubah. Aku yakin pasti kamu akan kaget begitu pulang.”
“Aku masih belum bisa pulang karena masih banyak kewajibanku di sini.”
“Aku memahaminya.”
“Tentu aku melewatkan banyak hal, bukan?” sahutnya.
“Iya, namun tak mengapa.”
Eileen membuka termos yang ia bawa. Ia membawakan susu hangat dari Ankara. Ia mulai menuangkannya ke dalam dua cangkir kecil yang sebelumnya telah ia keluarkan dari ransel. Aku tersanjung karena ia penuh antusias seperti ini. Kurasa ini akan menjadi akhir musim gugur yang menyenangkan.
Aku melanjutkan, “Sebentar lagi musim dingin. Sedikit lagi kamu akan melewati musim dingin dan Natal kelimamu di Turki.”
“Benar sekali. Aku sudah tidak sabar untuk memahat patung manusia salju yang sangat besar!”
“Pasti menyenangkan memahat refleksi diri kita dalam tumpukan salju.” ucapku sambil menatap pemandangan indah kota Istanbul.
“Apa maksudmu?”
“Kita bisa belajar banyak hal dari memahat patung manusia salju, Eileen. Mereka adalah gambaran tentang diri kita.”
“Apakah maksudmu tiap manusia salju yang kita buat mengandung banyak pelajaran yang berharga di dalamnya?”
“Tentu saja. Kita dapat membandingkan manusia salju dengan hakikat umat manusia. Banyak persamaan dan perbedaan di antara keduanya yang dapat kita pelajari.”
“Ayo ceritakan!”
Eileen sudah siap-siap mendengar ceritaku. Aku juga sudah tidak sabar mendengar respon-responnya. Aku sangat merindukan saat-saat mengobrol seperti ini selama bertahun-tahun. Kini, dongeng manusia salju akan menjadi obrolan pertama kami. Pertama-tama aku akan membahas soal persamaan antara manusia salju dengan manusia.
“Pertama, soal penciptaan.” sambungku, “Manusia salju terbuat dari bongkahan salju yang disusun sedemikian rupa. Material pembentuk mereka adalah salju-salju yang jatuh dari awan. Selain itu, pemberi bentuk manusia salju itu juga memegang peran penting. Di tangan piawai para ‘pemahat’, manusia salju bisa menjadi sangat cantik.”
“Benar sekali! Beberapa temanku ada yang bisa menciptakan manusia salju yang sangat cantik! Namun, bagaimana hubungannya dengan hakikat umat manusia?”
“Kita hampir sama dengan mereka. Kita tersusun dari berbagai macam unsur yang tersedia di alam. Setiap apa yang kita makan lalu masuk ke tubuh kita adalah material yang berasal dari alam. Itu mirip dengan manusia salju yang tersusun dari bongkahan es. Selain itu, rupa yang kita peroleh sekarang ini juga dibentuk. Kita dibentuk oleh tangan piawai-Nya lewat evolusi jutaan tahun!”
“Jadi maksudmu, susunan material manusia terdiri dari berbagai unsur kimia dari alam, sementara rupa seluruh manusia dibentuk oleh Tuhan melalui hukum alam?”
“Tepat sekali!”
“Luar biasa! Kita adalah manusia salju yang hidup!” tegas Eileen dengan sangat senang.
Eileen mulai kembali memikirkan apa yang baru saja kami bahas. Setelah beberapa saat memandang kota dari ketinggian Bukit Camlica, ia kembali menatapku agar melanjutkan. Rasanya seperti bermimpi ketika aku bisa menatap senyum manisnya lagi.
“Ayo, lanjutkan!” ungkapnya.
“Kedua, kita akan membahas soal kepergian.”
“Apa maksudmu?”
“Manusia salju yang kita buat di awal musim dingin akan mencair seiring dengan berjalannya waktu. Semakin dekat dengan musim semi, riwayat si manusia salju akan segera berakhir.”
“Jadi, mereka mirip dengan manusia yang semakin lama akan menua dan suatu saat akan berakhir untuk menemui ajalnya?” sahut Eileen.
“Tepat sekali.”
“Kepergian manusia terkadang memang cukup menyedihkan. Aku kehilangan ayahku saat usiaku 20 tahun ketika aku sedang berada di Turki. Aku tidak sempat menemaninya di rumah pada saat-saat terakhirnya.”
“Aku turut berduka cita. Maafkan aku karena telah mengingatkanmu soal itu.”
“Tidak masalah.”
“Meskipun musim semi telah datang, kita dapat berjumpa lagi dengan musim dingin berikutnya. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan pertemuan dengan manusia salju yang baru di akhir musim gugur.”
“Jadi, maksudmu kita bisa bertemu dengan mereka yang telah tiada?” tanya Eileen.
“Jika kita percaya reinkarnasi, mungkin kita akan bertemu dengan mereka yang telah tiada dalam wujud lain di alam semesta. Atau, jika kita mengimani alam baka, mungkin kita akan menemui roh mereka yang telah mati di surga kelak. Namun, hal yang pasti adalah kita berkesempatan untuk menemui manusia-manusia baru lewat kelahiran. Kita akan bertemu dengan generasi baru di masa depan.”
“Datang dan perginya musim dingin menggambarkan pergantian zaman. Sementara itu, timbul dan lenyapnya manusia salju melukiskan kelahiran dan kematian umat manusia.”
“Bravo!” tegasku.
Kini Eileen mulai menyandarkan diri di bangku yang menghadap pemandangan kota. Sepertinya ia mulai memikirkan tentang keberadaan manusia yang datang dan pergi di dunia dalam siklus yang konstan. Umat manusia selalu datang dan pergi seperti manusia salju di musim dingin.
Eileen kembali menyambung, “Apakah masih ada lagi?”
“Masih. Ini yang terakhir.”
“Silahkan lanjut.”
“Tak ada manusia salju yang benar-benar identik satu sama lain. Meskipun kita berusaha memahat dua manusia salju dengan ukuran dan bentuk yang sama, tentu kita akan menemukan perbedaan di keduanya.”
“Aku paham!” sahutnya, “Begitu pula dengan manusia yang memiliki keunikannya masing-masing. Tak ada dua atau lebih manusia yang benar-benar mirip meskipun mereka kembar.”
“Begitulah yang aku maksud.”
“Aku pikir masih ada satu lagi.” sambung Eileen, “Tak ada dua atau lebih manusia dengan karakter yang persis sama. Meskipun aku dengan adik laki-lakiku dididik dan diasuh di keluarga yang sama, kami tidak pernah memiliki perilaku asli yang seratus persen mirip.”
“Iya, betul sekali. Setiap orang adalah unik. Soal adikmu, aku juga menyadari bahwa karakter kalian berdua banyak perbedaan.”
Setelah kami membandingkan persamaan antara manusia salju dengan umat manusia, Eileen menuntut untuk membahas tentang perbedaan keduanya. Ia kembali menatapku dan tersenyum sambil menahan hawa dingin di atas bukit.
……——……
Aku tak menyangka bahwa Aries yang kutemui sekarang telah banyak berubah. Aku ingat bahwa sebelum aku kuliah di Turki, kami sering bercerita soal cita-cita hingga kisah cinta. Namun, kini tampaknya ia lebih tertarik pada filsafat. Aku yakin bahwa perpisahan kami yang cukup lama telah merubah cara pandang kami masing-masing. Hal yang masih sama darinya adalah gaya bicaranya yang khas.
Aries kembali melanjutkan cerita soal manusia salju: “Ada banyak perbedaan antara kita dengan manusia salju, Eileen.”
“Aku akan menyimak.”
Ia menatapku, “Pertama, manusia sadar akan eksistensi dirinya. Mereka tidak seperti ciptaan lain yang hadir hanya sekadar untuk menghias alam semesta –di mana bagi manusia salju, mereka hadir untuk sekadar menghias kemeriahan musim dingin sekaligus Natal. Lebih dari itu, manusia hadir untuk membentuk dunia.”
“Manusia sadar bahwa ia hidup?” aku bertanya.
“Benar, Eileen.” sambungnya, “Manusia menyadari bahwa mereka hidup. Mereka tak hanya sekadar bagian dari dunia, melainkan mereka juga berhadapan dengannya.”
Aku sedikit terdiam. Aku sadar bahwa kesadaran yang dimiliki manusia merupakan hal paling istimewa dibandingkan dengan yang lainnya. Peradaban dunia yang semaju ini adalah hasil dari kesadaran Homo sapiens bahwa mereka bisa mengubah dunia.
Aries kembali melanjutkan, “Dari situ, kita akan bertemu dengan perbedaan kedua.”
“Baiklah.”
“Manusia salju tak berperasaan. Mereka tak bisa merasakan sesuatu apapun. Sikap yang mereka tunjukkan cukup dingin.”
“Mereka tak memiliki perasaan seperti manusia, bukan?” sahutku.
“Tepat sekali. Kita memiliki karunia untuk dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kita dapat menaruh iba dan rasa empati terhadap penderitaan orang lain. Selain itu, kita juga dapat turut berbahagia menyambut kebahagiaan orang lain.”
“Manusia memiliki sifat dasar untuk mengasihi sesamanya maupun alamnya.” ucapku seolah kalimat itu begitu saja muncul dalam benakku.
“Itu benar.” sambung Aries, “Sehingga celakalah bagi setiap manusia yang tak lagi menaruh iba ataupun menyimpan kasih sayang dalam dirinya. Orang yang seperti itu sangatlah dingin dan tak berperasaan. Ia melepas kemanusiaannya.”
Aku bersyukur bahwa di sore ini aku diingatkan kembali soal pentingnya memiliki perasaan. Mungkin inilah salah satu harta paling berharga yang dimiliki manusia. Beberapa saat aku melihat orang-orang yang berlalu lalang di sekitar tempat kami duduk. Kemudian, aku meminta kelanjutan.
“Lanjutkan lagi.” kataku sambil menatap Aries.
“Kita akan melihat keajaiban manusia yang berikutnya” ungkapnya, “Ketiga, manusia diberkati dengan memori yang luar biasa. Hal mana yang tak dimiliki oleh manusia salju maupun makhluk manapun di alam semesta ini.”
“Manusia bisa mengingat segala hal.” sahutku, “Aku bisa mengingat berbagai rumus matematika yang pernah aku pelajari di sekolah dulu. Termasuk aku juga bisa mengingat berbagai kosa kata dalam bahasa asing.”
“Tepat sekali. Selain itu, manusia bisa memanggil kembali kenangan-kenangannya di masa lalu, baik kenangan indah maupun kenangan buruk.”
Aku melanjutkan, “Aku ingat bagaimana rasa senang di hari pertama masuk sekolah, rasa sakit ketika terjatuh dari sepeda, maupun rasa takut ketika waktu kecil harus menjaga rumah sendirian ketika keluargaku pergi ke kampung halaman. Semua masih tersimpan dengan rapih.”
“Begitu pula denganku.” jawab Aries. “Aku masih ingat bagaimana rasa senang saat pertama kali berkenalan denganmu waktu audisi solo vocal sepuluh tahun lalu, rasa grogi ketika mengobrol denganmu di depan gerbang sekolah delapan tahun lalu, rasa bahagia saat menyanyikan lagu istimewa untuk hari ulang tahunmu di lapangan sekolah tujuh tahun lalu, rasa sedih karena enam tahun lalu aku kehilangan sapu tangan pemberianmu, dan rasa takut kehilangan saat kamu pergi ke Turki lima tahun lalu.”
“Kamu mengingat semua itu?” sahutku.
“Memoriku tentangmu tak pernah hilang, Eileen.”
Aku kaget saat mengetahui bahwa Aries masih mengingat itu semua. Dahulu kami sempat sangat dekat sebelum akhirnya kesalahpahaman memisahkan kami untuk sementara. Sayangnya, ketika aku telah berkuliah di Turki dan perlahan hubungan kami kembali membaik, aku telah memiliki pacar baru.
Aku tak menyangka kalau kata-kata Aries ini juga membuka kembali ingatanku. Aku mengingat pendekatan kami sembilan tahun lalu cukup lucu. Kami pernah sering bercerita soal banyak hal dalam hubungan yang romantis. Namun, semuanya berakhir. Sekarang Aries terlihat terharu. Aku kembali membuka obrolan.
“Apakah masih ada lagi? Aku masih ingin mendengarnya.” ucapku.
“Terakhir, soal imajinasi.” sambungnya, “Manusia salju tak pernah dapat membayangkan hal-hal indah dengan pikirannya. Sebab, hanya manusia sungguhanlah yang dapat berimajinasi.”
“Maksudmu, manusia dapat berkhayal tentang apapun?”
“Tepat sekali. Imajinasi ini yang membawa manusia untuk dapat menciptakan hal-hal baru. Aku bisa menciptakan lagu, membuat puisi, hingga menulis cerpen karena adanya salah satu unsur intelektual yang bernama imajinasi. Di belahan dunia lain mungkin ada banyak profesor yang sedang mempersiapkan berbagai penemuannya. Mereka juga tentu menggunakan imajinasi sebagai salah satu mesin pendorong inovasi.”
Aku melanjutkan, “Aku pernah berimajinasi menjadi duta besar, dosen, hingga juru bahasa asing yang hebat. Kupikir imajinasi dapat membuat kita lebih bersemangat dalam mencapai mimpi-mimpi dalam benak kita.”
“Imajinasi juga bisa mengisi kerinduan-kerinduan kita. Aku sering berimajinasi bahwa aku berjumpa dengan guru-guru di sekolah kita dahulu, berkhayal sedang bermain dengan teman-teman masa kecil, termasuk berimajinasi sedang dalam perbincangan hangat denganmu di saat kita telah berjauhan dan tak pernah bertemu lagi.”
Aku bertanya heran, “Bagaimana tepatnya caramu mengobrol denganku sementara kita sudah sangat lama tak bertemu maupun berkomunikasi secara intensif?”
“Aku menulis cerpen. Aku membuat percakapan imajiner di antara kita.”
“Apa maksudmu?” tanyaku penasaran.
“Apa kamu benar-benar belum paham?”
“Tolong jelaskan!”
Aries kembali melanjutkan, “Apakah kamu belum menyadari bahwa ‘kamu yang sedang mengobrol denganku sekarang’ tidak benar-benar exist di dunia nyata? Kamu hanya ada dalam pikiranku –kamu adalah tokoh dari cerpen rekaan milikku.”
Aku kembali bertanya, “Mengapa aku hanya ada dalam pikiranmu?”
“Semua percakapan ini adalah bagian dari imajinasiku. Ketika aku tak lagi bisa berbincang dengan wujud nyatamu yang kini telah menghilang di tengah Ankara tanpa kabar. Dengan kemampuan manusia yang satu ini, aku mencoba menghadirkanmu kembali lewat cerpen. Kamu yang sekarang duduk di sampingku ini adalah hasil imajinasiku, sebab Eileen yang nyata sudah sulit kujumpai, bahkan mungkin telah mustahil bisa kutemui.”
“Jadi, siapakah kamu? Lalu, siapakah aku?” sahutku sambil menyadari bahwa diriku perlahan mulai memudar dan perlahan menghilang.
“Akulah manusia sungguhan yang sekarang sedang menulis seluruh perbincangan ini di sudut kamarku –di tanah air. Sementara itu, kamu adalah manusia salju yang muncul dari imajinasiku untuk mengobati rasa rinduku kepada wujud Eileen yang nyata –yang kini telah menghilang dan sudah tidak dapat kujangkau lagi.”
Karangan ini ditulis pada 4 November 2020 sebagai bentuk respon Pengarang terhadap situasi sulit di masa tersebut.
Penulis: Savero Aristia Wienanto