web analytics
Judicial Corruption Jadi Tantangan Besar dalam Mewujudkan Peradilan yang Agung dan Bersih

Judicial Corruption Jadi Tantangan Besar dalam Mewujudkan Peradilan yang Agung dan Bersih

Sabtu, (29/01), Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Peradilan menyelenggarakan kegiatan “Penyambutan dan Pembekalan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) 2021 menggunakan platform zoom meeting. Acara yang diikuti 100 peserta tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni: Sigit Riyanto, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Supandriyo, Hakim Yustisial Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, dan Agus Subroto, Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Kegiatan tersebut diselenggarakan sebagai forum silaturahmi antara Kagama UGM dengan alumni UGM yang menjadi CPNS analisis perkara peradilan 2021. 

Sigit Riyanto menyampaikan bahwa perilaku calon hakim di dalam dan di luar pengadilan haruslah seadil-adilnya dan selurus-lurusnya. Namun dalam praktiknya, ada banyak tantangan yang seharusnya menjadi catatan bagi para calon hakim. “Tantangan yang ada, mulai dari degradasi kapasitas dan standar profesionalitas, lemahnya akuntabilitas dan kredibilitas, hingga adanya destruksi kelembagaan,” ujarnya.

Terkait degradasi kapasitas misalnya, Sigit Riyanto memaparkan bagaimana para hakim saat ini mengalami kesulitan untuk mengikuti perkembangan teknologi dalam sistem peradilan. Dalam hal ini, sangat diperlukan tumbuhnya keinginan dan semangat untuk terus belajar guna meningkatkan kapasitas dan standar profesionalitas. Bukan hanya dalam konteks keilmuan hukum, tetapi juga kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam menjalankan tanggung jawab pekerjaannya.

Sigit melanjutkan, ujung yang merupakan tantangan terbesar dari poin-poin sebelumnya dan harus diantisipasi oleh para calon hakim adalah rentannya terjadi judicial corruption. Sigit menyampaikan, “tantangan-tantangan tadi pada akhirnya berujung pada dilema. Apalagi terkait judicial corruption yang hingga saat ini menjadi momok besar di lingkungan peradilan.” 

“Bagaimana menghadapi korupsi ini? Bagaimana seorang individu, atau secara institusional, bisa melawan kecurangan yang keberadaannya sudah melekat dalam sistem itu sendiri? Itulah tantangan besarnya,” sambung Sigit.

Mengafirmasi pernyataan Sigit, Supandriyo menyampaikan angka penindakan dan sanksi etik di lingkungan Mahkamah Agung menunjukkan grafik naik untuk tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam pemaparannya, Supandriyo menegaskan bahwa angka tersebut bukan menunjukkan semakin tingginya pelanggaran etik. Namun sebaliknya, angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan penegakan dan penindakan etik di lingkungan Mahkamah Agung untuk menciptakan peradilan yang bersih. “Mahkamah Agung terus bergerak dan berbenah. Adik-adik ini kelak semoga menjadi bagian dari jamaah dan kelompok-kelompok yang menginginkan peradilan agung dan bersih,” ujarnya.

Supandriyo memaparkan lebih lanjut terkait harapannya agar alumni UGM yang lolos Tes Calon Hakim dapat menjadi sosok hakim ideal di masa depan. Menurutnya, hakim ideal harus memiliki kapasitas yang mumpuni dengan cara banyak membaca buku, sering berdiskusi bersama kolega atau melalui seminar, dan aktif menggunakan kesempatan untuk ikut pelatihan. Selain kapasitas, seorang hakim juga harus memiliki integritas yang baik dengan selalu menaati Kode Etik Hakim. Supandriyo mengatakan integritas tidak bisa dipelajari, melainkan dibangun dan dipupuk melalui tindakan sehari-hari, baik saat berada di dalam maupun di luar kedinasan. “Tingkatkan kapasitasmu, jaga integritasmu. Niscaya kesuksesan akan berada di genggamanmu,” tuturnya. 

Sejalan dengan ucapan Supandriyo, Agus mengatakan ada parameter co-excellent atau kerap disebut 8 nilai utama Mahkamah Agung yang harus tertanam dalam sanubari hakim atau calon hakim. Nilai-nilai tersebut meliputi kemandirian, integritas, kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, keterbukaan, ketidakberpihakan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. 8 nilai utama tersebut harus menjadi dasar pelaksanaan tugas dan fungsi sehari-hari di lingkungan Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya. Implementasi 8 nilai tersebut akan berimplikasi pada meningkatnya profesionalitas dan integritas hakim atau calon hakim serta mendorong kinerja penyelesaian perkara. 

Supandriyo juga mengatakan bahwa hukum bukan semata-mata teks sehingga peningkatan kapasitas dan integritas sangat diperlukan oleh seorang hakim atau calon hakim. Menyetujui pernyataan tersebut, Sigit mengutarakan bahwa hakim yang baik adalah hakim yang mampu menganalisis suatu putusan dan memberi argumen visioner, solutif, serta relevan dengan permasalahan. Keputusan hakim harus menunjukkan keberpihakan pada perbaikan dan peningkatan peradaban dengan upaya intellectual exercise

“Ketika hakim mengeluarkan putusan, maka putusan tersebut akan dijadikan rujukan 270 juta warga Indonesia,” tambah Supandriyo. Supandriyo berkata bahwa hakim sebagai organ pelaksana kekuasaan kehakiman dalam membuat keputusan harus memperhatikan beberapa hal penting. Utamanya adalah memastikan terwujudnya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Penulis : Putri Pertiwi, Fatih Erika

Penyunting : Athena Huberta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *