web analytics
Negara Paripurna: Pergolakan Pancasila yang Tak Lapuk Dihujan dan Tak Lekang Dipanas

Negara Paripurna: Pergolakan Pancasila yang Tak Lapuk Dihujan dan Tak Lekang Dipanas

Peresensi : Alvin Danu Prananta

Judul : Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila 

Penulis : Yudi Latif

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama 

Tahun Terbit : 2012 (cetakan keempat)

Tebal Halaman : 670 halaman

Meresensi buku ini pada awalnya membuat Penulis khawatir. Bukan apa, takutnya Penulis malah mereduksi secara destruktif terhadap isi dari buku yang sangat komprehensif ini. Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Lewat judulnya sudah tergambar secara baik apa yang akan dibahas di dalam buku ini. Pancasila sebagai ideologi bangsa, sejak “digali” dan diperkenalkan ruhnya oleh Soekarno tidak pernah berhenti mengalami pergolakan. Yudi Latif mencoba menjawab tantangan itu melalui pendekatan historis, rasionalitas, dan aktualitas terhadap Pancasila.

Yudi Latif merupakan seorang cendekiawan yang sudah malang melintang dalam dunia akademis, terutama pemikiran tentang agama dan kebangsaan. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), namun memutuskan berhenti hanya setahun setelah ia menduduki jabatannya itu. Namun demikian, berbagai karyanya, tentunya termasuk buku ini tak akan lekang ditelan zaman yang dapat kita ambil pelajarannya.

Sistematika buku ini terdiri dari: kata pengantar, prolog, tujuh buah bab, serta epilog. Uniknya, selain bab 1 yang berisi pendahuluan, setiap bab-bab setelahnya didedikasikan untuk menelaah kelima sila pancasila satu per satu melalui berbagai perspektif. Uraian sila-per-sila secara mendalam dihadirkan oleh Yudi dari perspektif kesejarahan, rasionalitas, hingga dihadapkan dengan realitas yang terjadi saat ini.  

Sungguh sulit dulunya untuk membayangkan suatu negara seperti Indonesia yang bentuknya kepulauan, terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa, namun dapat bersatu. Magnis-Soeseno mengatakan dalam prolog bahwa kebangsaan Indonesia bukanlah suatu yang alami. Mana mungkin bangsa yang majemuk ini dapat bersepakat untuk bersatu. Pengalaman senasib dan sepenanggunganlah yang memunculkan semangat persatuan itu. Namun, tentu itu bukan hal yang terjadi begitu saja dan akan selamanya seperti itu. Seperti halnya hal-hal lain di dunia, ia perlu dirawat dan dijaga sepanjang hayat masih dikandung badan.

Kita semua pasti pernah diajarkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar tentang Pancasila. Namun, baru sebatas membaca, menghafal, kemudian melafalkannya lantang-lantang pada saat upacara bendera. Lewat buku ini kita bisa memahami lebih jauh bagaimana sejarah panjang dan jatuh-bangun Pancasila bahkan sejak kelahirannya. Peristiwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang kita tahu, akan terasa sumir nan kering jika tanpa mengetahui latar belakang dan gejolak yang terjadi. Melalui buku ini pula, Penulis jadi tahu apa kekeliruan di balik penggunaan kata-kata “The founding fathers” dalam diskursus tentang sejarah bangsa ini. Lalu, bagaimana bisa Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa pemersatu dibandingkan Bahasa Jawa yang notabene jumlah penuturnya lebih besar?

Perdebatan mengenai hak asasi manusia dalam sejarah pembentukan UUD juga diwarnai dinamika. Ada sebagian golongan yang menentang HAM disebabkan konon sifatnya sangat individualistis dan menafikan kolektivitas bangsa Indonesia. Misalnya, Soepomo yang menghendaki agar warga negara lebih mengutamakan pelaksanaan kewajibannya dibandingkan menuntut haknya. Namun di lain pihak, seperti Hatta berpandangan bahwa perlu ada jaminan hak yang tegas dari negara kepada rakyatnya dalam hal berserikat, berkumpul, dan berkonstitusi. Hingga akhirnya, kita tahu lahirlah UUD 1945 yang cukup singkat itu, baik dalam jumlah teks maupun waktu perumusannya. Namun demikian, ia cukup komprehensif dalam mencakup apa yang kemudian sering disebut dengan “Tiga generasi hak asasi manusia.” Bahkan, Hatta tak ragu untuk mengatakan bahwa UUD 1945 adalah undang-undang dasar yang paling modern pada zamannya, seperti yang dikutip Yudi dari Naskah Persiapan UUD 1945 jilid 1.

 Lewat buku ini, kita dapat merasakan betul seperti apa perdebatan yang dilalui para pendiri bangsa dalam mendirikan negara ini.

Tidak hanya mengenai falsafah dan dasar negara; bahkan bentuk negara, sistem pemerintahan dan batas wilayah negara tak luput dari perdebatan dan dinamika yang panjang. Bentuk negara dan pemerintahan Indonesia yang ada saat ini seringkali kita terima begitu saja tanpa bertanya-tanya, mengapa? Hal-hal itu baru sebagian kecil dari berbagai hal yang seringkali kita abaikan.

Memang, acapkali kita terlalu nyaman dan malas atau bahkan tak terpikirkan untuk bertanya-tanya. Sehingga, hal-hal yang mendasar dalam kehidupan kita sebagai warga negara luput dari perhatian. Padahal kalau kita dalami, akan terasa nikmat semangat kebangsan mengalir dalam denyut nadi kita. Proses Indonesia menjadi sebuah bangsa yang utuh dan satu-kesatuan membutuhkan proses yang panjang dan jalan yang berliku. Sehingga, saat ini kita menikmati buah manisnya. Hidup di dalam negara yang meskipun jauh dari kata sempurna, namun kita masih dapat dengan nyaman menjalani hidup dalam naungan kemerdekaan. Hal kecil yang akan sangat berarti ketika sudah direnggut.

Yudi lewat buku ini membuktikan bahwa “mempertanyakan dan mengupas” Pancasila bukannya malah membuat Pancasila dipandang sebagai objek yang rapuh dan dipandang lemah. Namun sebaliknya, hal ini mampu membawa diskursus Pancasila masuk lebih dalam kepada makna, hakikat, dan esensi keberadaanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Kekurangan dari buku ini, yaitu ada banyak pengulangan-pengulangan kalimat bahkan paragraf di setiap bab. Penulis tidak tahu apakah hal ini sudah diperbaiki pada edisi revisi berikutnya. Mungkin tujuannya agar informasi yang disampaikan menyeluruh. Namun, menurut penulis hal ini cukup mengganggu dan membuat buku semakin tebal.

Secara keseluruhan, buku ini sangat penting untuk dibaca oleh seluruh kalangan, terutama bagi akademisi. Terlebih lagi, di tengah kondisi bernegara yang dipenuhi narasi ekstrim, baik itu nasionalisme semu, maupun sebaliknya, yaitu apatisme serta pesimisme terhadap nilai-nilai pancasila. Kesannya seakan-akan “kesaktian” pancasila sudah pudar bahkan tidak relevan lagi. Beruntung saat kita hidup di alam demokrasi, yang meskipun masih banyak kekurangan dan penyimpangan di sana-sini, kita masih dapat menikmati karya yang luar biasa ini. Justru ketika Pancasila terus dikontestasikanlah, diskursus mengenai kebangsaan akan senantiasa hidup. Bayangkan ketika Pancasila kembali diperlakukan layaknya benda keramat yang tak boleh disentuh dan dipertanyakan. Kita mengalami sendiri, bagaimana dulu, bahkan hingga kini, Pancasila dijadikan alat bagi penguasa untuk menumpas musuh-musuh politiknya. Seakan-akan memperbincangkan Pancasila sama dengan menentang dan menodai kesuciannya. Kalau begitu, tidak akan muncul wawasan kebangsaan dan bernegara yang rasional, kritis dan berkemajuan. 

Buku ini membuat penulis menyadari beberapa hal:

  1. Penulis merasa beruntung dilahirkan di negara yang beragam baik dari suku, budaya, ras, bahasa, maupun masalahnya. Sudah suratan ilahi bangsa Indonesia ini sangat beragam. Kita tidak bisa menafikan itu. Namun, terlepas dari pergolakan, pasang-surut bernegara yang terjadi, kita masih satu juga. Itu adalah bukti bahwa Pancasila masih menunjukkan “kesaktiannya.” 
  2. Kado terindah dari para pendiri bangsa ini adalah berupa harapan dan cita-cita bagi bangsa ini. Lewat sejarah dan pemahaman melalui akal, kita bisa ketahui niat tulus dan suci mereka dalam mendirikan bangsa ini. Namun, tentunya dalam dinamika dan perkembangannya kita dihadapkan pada kenyataan yang kerap kali mengecewakan. Justru pemerintahlah yang seringkali menjadi batu terjal dalam mewujudkan cita-cita pancasila. Namun, justru itulah tantangannya. Kita tidak boleh berputus asa pada negeri ini. Kalau semua orang pesimis dan apatis, lantas siapa yang akan mengubah negeri ini menjadi lebih baik. Buku ini berhasil mengasah asa Penulis untuk tetap mencintai dan berjuang untuk negeri ini.
  3. Buku ini membuat Penulis melihat pancasila tidak lagi sebagai urutan sila yang diurutkan dari sila pertama hingga kelima. Dengan kata lain, penulis tidak lagi melihat sila-sila dalam pancasila sebagai urutan yang hierarkis karena ini sangat problematis. Setiap orang dengan latar belakangnya masing-masing bisa berbeda-beda ketika melihat pancasila sebagai urutan sila. Kita bisa mengurutkan itu dari kiri ke kanan, maupun kanan ke kiri. Tetapi yang terpenting adalah menempatkan dan mengaktualisasikan setiap butir pancasila dalam kehidupan bernegara secara berimbang. Berapa banyak kita mendengar diskursus mengenai sila pertama, namun berapa banyak kita cukup dengar untuk sila ke lima? Sudahi perdebatan yang tidak perlu. Buktikan perjuangan kita dengan perbuatan yang membawa manfaat untuk bangsa ini. Sejatinya, cita-cita bangsa juga mengandung cita-cita internasional seperti yang tertuang dalam alinea keempat UUD 1945.

Akhirul kalam, buku ini tidak cukup hanya dibaca sekali. Resensi Penulis tentu tidak mampu mencakup keseluruhan isi buku. Namun setidaknya, diharapkan dapat menggugah semangat pembaca untuk membaca buku ini. Terima kasih. 

Salam Baca, Tulis, Lawan! 

Penulis: Alvin Danu Prananta

Leave a Reply

Your email address will not be published.