web analytics
Urgensi Reformasi Karakter Penegak Hukum dan Birokrat Sebagai Upaya Pengentasan Kekerasan Seksual

Urgensi Reformasi Karakter Penegak Hukum dan Birokrat Sebagai Upaya Pengentasan Kekerasan Seksual

Selasa (15/2) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada merayakan hari jadi yang ke-76 Tahun. Pada hari yang berbahagia tersebut, Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan sebuah Seminar Nasional bertajuk “Penguatan Karakter Penegak Hukum dan Birokrat dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia.” Berdasarkan pengakuan Marcus Priyono selaku ketua panitia, tajuk tersebut dipilih sebab seharusnya aparat penegak hukum dan birokrat menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat.

Seminar Nasional tersebut mengundang empat orang pembicara yang datang dari berbagai latar belakang profesi, tetapi tentunya kesemuanya merupakan alumnus Fakultas Hukum UGM. Keempat pembicara tersebut, yaitu Jupriyadi, Hakim Agung RI; Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah; Sri Wiyanti Eddyono atau kerap disapa Iyik, dosen Fakultas Hukum UGM; dan Otto Hasibuan, seorang advokat yang juga ketua Keluarga Alumni FH UGM.

Acara dimulai dengan sambutan oleh Dekan Fakultas Hukum UGM, Dahliana Hasan. Dahliana menekankan bahwa tema yang paling khusus dalam seminar tersebut adalah bagaimana upaya mencegah dan meminimalisir kekerasan seksual.

Diskusi dibuka dengan pemaparan oleh Jupriyadi. Jupriyadi mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya. “Kasus kekerasan seksual di Indonesia, terutama di Mahkamah Agung itu menduduki peringkat kedua. Peringkat pertama itu narkotika.” ucap Jupriyadi.

Jupriyadi melanjutkan bahwa itu baru kasus yang terungkap dan diproses hingga tingkat kasasi, belum termasuk kasus di tingkat pengadilan pertama dan kedua yang sudah inkracht. Belum lagi berbagai kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap ke pengadilan dengan berbagai alasan. 

Jupriyadi menjelaskan bagaimana pada awalnya aturan hukum yang tersedia untuk menangani masalah kekerasan seksual hanya termaktub dalam KUHP. Itupun jumlahnya sangat terbatas dan belum secara eksplisit menunjuk adanya kekerasan seksual. Berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah kekerasan seksual disahkan. Mulai dari UU No 3 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak; UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; dan terakhir, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dirasanya belum cukup dan mampu untuk menghapus berbagai kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. 

“Sekarang ada masalah, bagaimana kalau korban itu sudah lewat dari umur anak-anak, sudah 18 tahun ke atas, tetapi juga tidak masuk dalam kategori kekerasan seksual dalam rumah tangga. Nah itu mau dijerat pakai pasal apa?” ia melanjutkan, “Untuk korban yang di atas 18 tahun dan tidak masuk dalam lingkup KDRT itu akhirnya dijerat dengan KUHP lagi. Kalau dijerat dengan KUHP, tentunya dengan keterbatasan yang ada tadi. Belum ada restitusi, dan ancaman pidananya masih ada minimum umum.” ujar Jupriyadi.  

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Ganjar Pranowo yang juga merupakan Gubernur Jawa tengah sebagai representasi dari birokrat. Ganjar mengkritisi bahwa upaya pengentasan kekerasan seksual yang ditujukan kepada anak mengalami banyak kendala.

“Kejadian termasuk pelecehan seksual terhadap anak-anak, biasanya fade out. Pelan-pelan hilang, karena apa? Satu, malu. Dua, nggak berani, dan sebagainya. Biasanya problemnya itu di sini: aib, malu. Lebih banyak tidak dilaporkan,” imbuh Ganjar.

Tak lupa, sebagai birokrat Ganjar menegaskan pentingnya melakukan berbagai pendekatan agar hasil yang diinginkan bisa terwujud. “Pendekatan legalistik formal untuk penegak hukum, boleh. Tapi kalau saya, nggak boleh. Saya harus (berupaya) sekreatif, seinovatif mungkin agar tujuan tercapai,” tegas Ganjar.

Senada dengan yang disampaikan oleh Jupriyadi dan Ganjar Pranowo, Iyik menyampaikan berbagai data yang tersebar di banyak lembaga pemerhati masalah kekerasan seksual yang menunjukkan bahwa masalah ini kian menggurita. Terhadap hal tersebut, Iyik menegaskan harus ada terobosan dan politik hukum yang jelas untuk dapat merespon kasus kekerasan seksual di Indonesia. Oleh karena itu, menurut Iyik, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual membawa secercah harapan agar terwujudnya sistem hukum nasional yang responsif terhadap kasus kekerasan seksual. 

“Saya mau menyatakan bahwa RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi sangat penting. Ia menjadi suatu mekanisme koreksi terhadap sistem peradilan pidana kita yang memang tidak berorientasi pada korban,” lanjut Iyik.

Otto Hasibuan, melalui media zoom menjadi pembicara terakhir dalam sesi diskusi pada seminar tersebut. Otto membawa pandangan yang menitikberatkan pada upaya pengentasan kekerasan seksual dengan tanpa mengandalkan undang-undang saja. 

Selain itu, Otto juga mengingatkan bahwa penegakan kekerasan seksual jangan sampai malah merugikan pelaku dengan timpang. Menurutnya, baik pelaku maupun korban sama-sama merupakan warga negara yang harus dilindungi haknya secara seimbang.

Seminar tersebut merupakan wujud pengabdian Universitas Gadjah Mada terhadap Indonesia dalam meningkatkan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat terutama aparat penegak hukum dan birokrat terhadap kasus kekerasan seksual.

Reporter: Alvin Danu

Penulis: Alvin Danu

Penyunting: Rieska Ayu

Foto: Diana Lucky (Eksternal)

Leave a Reply

Your email address will not be published.