web analytics
Untuk Negeriku: Persembahan Autobiografi dari Mohammad Hatta Untuk Negeri Ini

Untuk Negeriku: Persembahan Autobiografi dari Mohammad Hatta Untuk Negeri Ini

Pada 14 Maret 2022 ini, genap 42 tahun sudah Sang Proklamator meninggalkan kita. Meski begitu, namanya masih harum terdengar. Kisah perjuangannya masih senantiasa diberitakan ke seluruh pelosok negeri. Ialah Mohammad Hatta. Sosok yang namanya kerap dipasangkan dengan Soekarno dalam berbagai nama bangunan, tempat, dan jalan ini tidak pernah kering sumur baktinya mengairi negeri. Sumbangsihnya bagi negeri ini meninggalkan kesan yang abadi di benak masyarakat awam sekalipun.

Penulis rasa, momentum ini sangat tepat untuk mengingat kembali riwayat dan kisah perjuangan Bung Hatta. Oleh karenanya, Penulis hendak menyarikan buku autobiografi yang tentunya ditulis sendiri oleh Bung Hatta berjudul Untuk Negeriku. Buku ini terbagi menjadi tiga jilid. Jilid pertama berjudul Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi; jilid kedua berjudul Berjuang dan Dibuang; terakhir, jilid ketiga berjudul Menuju Gerbang Kemerdekaan.

Masa Kecil hingga Dinamika Pendidikan dan Perpolitikan Hatta

Jilid pertama berfokus pada kisah masa kecil Hatta hingga segala dinamika yang dialaminya saat menimba ilmu di negeri kincir angin. Tak banyak yang tahu kalau “Hatta” sebetulnya bukan nama yang diberikan oleh orang tuanya kala dilahirkan. Namanya saat lahir adalah Mohammad Athar yang kemudian biasa dipanggil Atta oleh teman-temannya. Hatta kecil sudah menjadi yatim sejak usia 8 bulan. Ayahnya, Haji Muhammad Djamil wafat pada usia 30 tahun. Hatta tumbuh dalam keluarga yang kental dengan adat Minangkabau dan nilai-nilai religi. Kakeknya, Syekh Abdul Rahman merupakan seorang ulama terkenal di Batuhampar. Tak ayal, semenjak kecil Hatta sudah begitu akrab dengan pendidikan agama. Bahkan, ia hampir dibawa oleh Pak Gaeknya (kakeknya yang lain) ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Namun, hal tersebut urung dilakukan karena ibu dan pamannya menganggap terlalu dini bagi Hatta untuk pergi ke Mekkah.

Hatta kecil sudah sering berpindah-pindah sekolah, mulai dari Bukittinggi, Padang, hingga Jakarta. Di umurnya yang ke-20 tahun, ia memutuskan untuk hijrah menuntut ilmu ke negeri Belanda. Di negeri kincir angin itu, Hatta tak hanya sekadar belajar untuk kepentingannya sendiri. Ia juga aktif dalam berbagai gerakan kemahasiswaan, salah satu yang paling penting yaitu Indonesische Vereeniging yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta kemudian terpilih menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1926.

Di tengah kesibukannya belajar dan berpolitik jauh di negeri kincir angin itu, Hatta masih sering menulis di berbagai surat kabar. Selain untuk menambah uang sakunya, tentunya hal itu juga dimanfaatkannya untuk menyuarakan perjuangan demi tanah air lewat pemikirannya yang terasah berkat banyak membaca buku dan berdiskusi itu.

Kecintaan Hatta pada Buku

Bermula dari Mak Etek (sapaan bagi paman) Ayub Rais lah Hatta memulai perkenalannya dengan buku. Ayub Rais mengajak Hatta mengunjungi sebuah toko buku Antiquariaat. Kemudian, Ia membelikan Hatta muda tiga buku yaitu N.G. Pierson, Staathuishoudkunde, dua jilid; H.P. Quack, De Socialisten, enam jilid; dan Bellamy, Het Jaar. Buku-buku itulah yang menjadi awal perkenalan Hatta dengan kepustakaan. Judul-judul buku tersebut dipilih agaknya bukan tanpa sebab. Jiwa Hatta memang senang menggeluti ekonomi. Selain itu, Ayub memanglah seorang pedagang yang oleh Hatta disebut menjalankan bisnis, “dagang spekulasi” atau “dagang waktu”.

Cinta yang dipupuk oleh waktu barang tentu akan mengakar kuat dan menjulang tinggi. Begitu pula dengan kecintaan Hatta pada buku. Romantisme Hatta bersama buku-bukunya bisa dirasakan dengan bagaimana ia memperlakukannya. Dijelaskan oleh Hatta sendiri bahwa ketika dirinya hendak diinternir (diasingkan) ke Boven Digul oleh Pemerintah Belanda, ia turut membawa sejumlah enam belas peti bukunya yang masing-masing berukuran seperempat meter kubik. Sehingga, totalnya empat meter kubik peti buku diboyong untuk menemani masa-masa sulitnya saat diasingkan.

Manis-pahit Hubungan Sang Dwitunggal

Perawakan Hatta tidak begitu tinggi, pakaiannya selalu tampak “santun dan necis” begitu katanya sendiri. Ia juga pendiam dan tenang. Namun, ia tak segan untuk menyampaikan pendapatnya yang berseberangan dengan kawan-kawan seperjuangannya. Bahkan terhadap Soekarno yang sangat didukung banyak nasionalis pada masa itu. Salah satu contohnya, Hatta pernah “menelanjangi” konsep nonkooperasi yang disampaikan oleh Soekarno dalam surat kabar Daulat Ra’jat No. 47, 30 Desember 1932. Hal itu dilakukannya setelah Soekarno mengkritik Hatta secara tidak langsung sebagai orang yang katanya nonkooperator, tetapi mau bergabung dengan Tweede Kamer (Parlemen Belanda). Namun, terlepas dari itu semua, Hatta merupakan sosok yang bersahaja dan hormat kepada orang yang berseberangan pandangan politiknya sekalipun. Sayangnya, buku ini memang tidak bercerita mengenai konflik dan hubungan Hatta dengan Soekarno selama masa Orde Lama.

Masa-Masa Terindah yang Penuh Tantangan

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, harumnya aroma kemerdekaan sudah mulai tercium. Berbagai gejolak dan semangat untuk merdeka sepenuhnya semakin menggebu-gebu. Tak terkecuali bagi Hatta. Ia terlibat langsung dalam berbagai hal ihwal terkait persiapan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari penyusunan teks proklamasi, Undang-Undang Dasar, konsep dasar negara, bentuk negara dan pemerintahan, dan lain-lain. Banyak sekali pemikirannya yang menjadi pondasi berdirinya negara ini. Pasca proklamasi kemerdekaan, ia juga aktif dalam memperjuangkan status kedaulatan Indonesia di mata negara-negara dunia.

Puncak kebahagiaannya adalah ketika Pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia yang menandai berakhirnya penjajahan serta tuntasnya membuka gerbang kemerdekaan. Di akhir halaman buku ini, Hatta juga turut melampirkan foto pernikahannya dengan istrinya, Rachmi Rahim pada 18 November 1945. Ia menepati sumpahnya, yaitu tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Dua hal tersebut menjadi akhir cerita dalam buku ini.

Kelebihan

Kelebihan dari buku ini yang penulis tandai adalah kecermatan Bung Hatta dalam menulis dan menguraikan peristiwa. Setiap subbab juga diberi judul yang secara lugas menggambarkan peristiwa yang ingin diceritakan. Hal ini membuat pembaca dapat dengan mudah mencari hal-hal atau peristiwa yang diinginkan.

Kekurangan

Sedikit kekurangan dari buku ini adalah penggunaan cukup banyak istilah-istilah dalam sistem kekerabatan adat Minangkabau. Hal ini membuat Penulis kebingungan untuk mengingat tokoh-tokoh yang berinteraksi atau diceritakan oleh Bung Hatta. Selain itu, pembagian buku ke dalam tiga jilid menurut penulis tidak terlalu tepat, malah terkesan merepotkan untuk disimpan. Padahal masih sangat mungkin untuk dibuat ke dalam satu kesatuan buku saja.

Kesimpulan

Buku ini sangat bagus dibaca oleh siapapun yang ingin mengenal Bung Hatta lebih dalam. Buku ini menggambarkan kepada pembaca kejadian-kejadian yang dialami Bung Hatta lewat sudut pandangnya sendiri. Namun, sayang beribu sayang. Hatta tidak melanjutkan autobiografinya setelah tahun 1949, tepatnya ketika Pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan secara penuh kepada Indonesia yang waktu itu bernama Republik Indonesia Serikat. Padahal kita tahu pasca peristiwa itu masih ada banyak sekali kejadian penting yang seharusnya dapat kita ketahui melalui sudut pandangnya. 

Penulis : Alvin Danu Prananta

Kurator : Afriza Nur Widyantari

Leave a Reply

Your email address will not be published.