web analytics
Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia: Dua Saudara Kembar yang Terpisah oleh Politik?

Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia: Dua Saudara Kembar yang Terpisah oleh Politik?

Beberapa waktu lalu, Perdana Menteri Malaysia, Sri Ismail Sabri Yaakob mengusulkan agar Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua di ASEAN.

Seperti yang dilansir CNN Indonesia, Perdana Menteri Malaysia itu mengatakan pada Rabu (23/3), “Lebih dari 300 juta populasi ASEAN menggunakan Bahasa Melayu dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Melayu memiliki pembicara terbanyak ketujuh di dunia.” Sontak hal ini membuat perdebatan “Bahasa Indonesia vs Bahasa Melayu” menggema lagi. 

Bagi Indonesia, pernyataan PM Malaysia tersebut tidak tepat. Sebab, sebagian besar yang dikatakan merupakan penutur Bahasa Melayu tersebut berada di Indonesia. Bangsa Indonesia sudah memiliki bahasa persatuannya sendiri yang bernama Bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa Melayu di Indonesia dianggap sebagai salah satu bahasa daerah, sejajar dengan bahasa daerah lainnya seperti Bahasa Jawa, Bugis, dll. Keberatan tersebut kemudian dipertegas dengan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Menristekdikti), Nadiem Makarim yang menyatakan bahwa seharusnya Bahasa Indonesia lah yang lebih cocok dijadikan bahasa resmi kedua di ASEAN.

Bahasa yang Terpisahkan Politik

Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu sejatinya memang tidak bisa dipisahkan. Akan tetapi, oleh nasionalisme, yang merupakan akibat dari kolonialisme di masa lalu menjadikan kedua bahasa tersebut terpisah. Artinya, politik lah yang memisahkan dua “saudara kembar” ini. Dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia memiliki kedaulatan untuk mengatur urusan negaranya, termasuk soal bahasa. 

Bahasa Melayu sudah lama menjadi lingua franca (bahasa perhubungan) di Kepulauan Nusantara yang sangat sibuk oleh lalu lintas pelayaran. Kedatangan kolonial Belanda pun tidak sampai bisa menggantikan peran bahasa Melayu di daerah jajahannya. Bahkan, sudah pernah dibuat suatu usaha untuk membakukan ejaan bahasa melayu yang sebelumnya ditulis dengan Huruf Arab (jawi) ke dalam huruf latin melalui ejaan Van Opuhuijsen. Hal ini bertahan hingga Indonesia merdeka. Selain itu, bahasa Melayu, menurut Benedict Anderson, sederhana dan cukup fleksibel untuk berkembang menjadi bahasa politik modern. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila para pendiri bangsa ini menjadikan bahasa Melayu sebagai akar dari bahasa Indonesia untuk dijadikan bahasa persatuan pada sumpah pemuda kedua tahun 1928.

Ki Hajar Dewantara dalam makalahnya yang disampaikan pada Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 yang berjudul “Bahasa Indonesia di Dalam Perguruan,” menyampaikan bahwa “Yang dinamakan bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu … dasarnya berasal dari Melayu Riau.” Hal ini dipertegas lagi dalam salah satu keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 yang menyatakan, “Bahwa asal bahasa Indonesia ialah Bahasa Melayu, dasar Bahasa Indonesia ialah Bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang.” 

Status Sama, Nasib Berbeda

Status Bahasa Indonesia dengan Bahasa Melayu sebetulnya sama, yakni keduanya merupakan bahasa resmi atau kebangsaan di masing-masing negara. Namun, agaknya nasib keduanya cukup bertolak belakang. Bahasa Indonesia disebut-sebut merupakan salah satu bahasa persatuan tersukses yang mampu menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang multi etnis dan bahasa. Sedangkan Bahasa Melayu, meskipun didaulat sebagai bahasa nasional di Malaysia, perannya sebagai bahasa pemersatu bagi seluruh rakyat Malaysia masih menjadi perdebatan. Banyak kalangan menilai kalau Bahasa Melayu sejatinya gagal menyatukan rakyat Malaysia yang multietnis itu. 

Keberadaan sekolah vernakular (sekolah golongan) ditengarai jadi salah satu penyebab kefasihan bertutur bahasa Melayu rakyat Malaysia non-Melayu rendah. Sekolah vernakular dibedakan berdasarkan golongan ras penduduk sehingga bahasa pengantarnya pun mengikuti. Akibatnya, Mayoritas masyarakat Malaysia yang beretnis non melayu seperti Cina dan India lebih nyaman menggunakan bahasa ibu mereka dalam percakapan sehari-hari. Syarat kemahiran berbahasa Melayu di tingkat sekolah nyatanya masih belum mampu mendongkrak penggunaan bahasa Melayu. Berbagai upaya pun dilakukan misalnya dengan mencanangkan sistem sekolah satu aliran.

Determinasi dan Tantangan

Indonesia memang boleh berbangga diri. Penerimaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan statusnya dalam masyarakat sudah jelas. Indonesia juga sudah mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang mengatur status dan penggunaan Bahasa Indonesia dalam berbagai aspek bernegara, termasuk kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam dokumen resmi negara dan pengantar pendidikan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bahkan memiliki slogan, “Utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.”

Akan tetapi, sudah terwujudkah cita-cita tersebut? Nyatanya, tantangan berbahasa tidak hanya secara unik dialami Malaysia. Terlebih lagi, bahasa bukanlah suatu yang statis, tetapi selalu berkembang seiring dengan perkembangan manusia sebagai penuturnya. Pergeseran pandangan muda-mudi terhadap bahasa juga terjadi di Indonesia. Penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris dianggap lebih “bergengsi” dan kerap dikaitkan dengan status sosial yang lebih tinggi. Hal  ini bisa saja menuju ke arah yang destruktif ketika bahasa diposisikan sebatas sebagai alat komunikasi. Misalnya, kita melihat fenomena “keminggris” yang terjadi di kedua negara terutama di kota-kota besar yang akses pendidikannya sudah cukup baik. Maraknya pencampuran kata-kata asing ke dalam Bahasa Indonesia tanpa dibarengi dengan pemahaman konteks penggunaannya, malah berpotensi merusak kaidah bahasa yang telah susah payah dibangun selama ini. Selain itu, hal tersebut juga dapat menutup peluang perkembangan Bahasa Indonesia ketika orang-orang sudah merasa nyaman dengan istilah asing tertentu yang padahal sudah ada padanan katanya.

Pada dasarnya proses adopsi atau serap menyerap kata atau bahasa bukanlah sesuatu yang aneh. Serap menyerap tentu dua arah bukan satu arah, artinya saling mempengaruhi. Bahasa Indonesia juga berevolusi. Pada awalnya KBBI hanya berhasil memuat sebanyak 62.000 lema. Namun, saat ini sudah terdapat 127.000 lema dan akan terus bertambah. Yapi Tambayong bahkan menulis buku yang berjudul 9 dari 10 kata bahasa Indonesia adalah asing. Namun, hal ini seharusnya dilihat sebagai pertumbuhan positif bahwa bahasa Indonesia dapat berkembang dan senantiasa relevan terhadap zaman. Bukannya malah menganggap Bahasa Indonesia miskin kosa-kata kemudian mengesampingkannya. Bahkan Bahasa Inggris pun, dalam sejarahnya turut menyerap bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Perancis dan Bahasa Latin dalam porsi yang cukup signifikan. 

Benci tapi Cinta

Sudah menjadi rahasia umum kalau konten hiburan, mulai dari musik, sinetron, film, hingga novel yang berasal dari Indonesia juga diminati rakyat Malaysia. Pun sebaliknya, tayangan animasi Malaysia juga digemari rakyat Indonesia, sebut saja Upin-Ipin dan Boboiboy. Sebabnya, tentu tiada lain karena antara Indonesia dan Malaysia bisa saling memahami bahasa masing-masing yang alasannya bisa kita refleksikan melalui uraian di awal tulisan ini. Hal ini dalam istilah kebahasaan dikenal sebagai bahasa yang mutually intelligible atau memiliki keterkaitan yang erat sehingga bisa dimengerti masing-masing penuturnya. Banyak bahasa lain di dunia yang memiliki kondisi serupa misalnya Bahasa Spanyol dengan Portugis.

Kedua negara ini pernah mengalami hubungan yang pasang-surut di masa lalu. Konfrontasi Indonesia kepada Malaysia mungkin salah satu contoh yang tepat. Hingga sekarang pun kita masih sering mendengar ungkapan “ganyang Malaysia” dilontarkan ketika kedua negara ini bertemu dalam pertandingan sepakbola atau ketika sedang ribut masalah “klaim budaya”. Begitu pula sebaliknya, istilah yang bagi rakyat Indonesia bernada peyoratif (merendahkan) seperti “indon” juga sering kita lihat. Namun demikian, sejatinya kedua negara ini berbagi kesamaan dalam banyak sekali hal. Memang, terkadang kita lebih fokus pada perbedaan daripada “merayakan” kesamaan yang dimiliki sebagai ajang memperkuat hubungan, termasuk soal bahasa. Kerja sama dan kompromi dari kedua negara sangat dibutuhkan kalau ingin memperkasakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu di kancah internasional. 

Penutup

Semangat dan usaha Indonesia untuk menginternasionalkan Bahasa Indonesia tidak diragukan lagi. Berbagai pusat pembelajaran Bahasa Indonesia Penutur Asing (BIPA) sudah tersebar di 47 negara. Namun demikian, usaha tersebut juga harus didukung oleh seluruh warga negara Indonesia dalam memartabatkan penggunaan Bahasa Indonesia. Jangan sampai usaha tersebut “dikotori” dengan pandang yang ultra nasionalistik. Pada akhirnya, antara orang-orang Indonesia dan Malaysia masih bisa saling memahami perkataan masing-masing. Kesungguhan kedua negara untuk mencari jalan tengah sangat dibutuhkan kalau menginginkan agar Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu semakin dilirik dunia.

Penulis: Alvin Danu Prananta

Penyunting: Fatih Erika Rahmah

Gambar: icons8

One thought on “Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia: Dua Saudara Kembar yang Terpisah oleh Politik?

Leave a Reply

Your email address will not be published.