Selasa (26/4), melalui zoom meeting telah diadakan dialog publik yang bertajuk “Babak Baru Paska Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)”. Dialog ini digelar oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial. Acara ini berfokus pada pembahasan tentang makna dari disahkannya UU TPKS dan tindak lanjut dari disahkannya UU TPKS. Dialog ini dihadiri oleh beberapa narasumber diantaranya, Ali Khasan (Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan KPPA), Tunggal Pawestri (Direktur Eksekutif Yayasan HIVOS), Aria Indrawati (Ketum PERTUNI), Alegra Wolter (Dokter & Aktivis Kesetaraan Gender), Kartika Jahja (Pekerja seni), Mutiara Ika Pratiwi (Ketua Perempuan Mahardhika), Maidina Rahmawati (Peneliti ICJR), dan Ana Abdillah (Anggota Forum Pengada Layanan).
Dalam membuka diskusi, Ali khasan berpendapat bahwa UU TPKS ini memiliki arti penting bagi masyarakat karena UU ini bersifat lex specialis yang hadir sebagai perspektif hak korban dan UU ini dapat menjadi legal standing yang tegas bagi penegak hukum dan masyarakat. Hadirnya UU TPKS dalam sistem hukum di Indonesia juga berfungsi untuk mengubah mindset terhadap penanganan kekerasan seksual, yaitu bukan hanya berfokus pada menghukum pelaku namun juga pemenuhan hak korban secara komprehensif yang meliputi penanganan, perlindungan, dan pemulihan.
Dari perspektif pekerja seni, Kartika Jahja menyampaikan bahwa hadirnya UU ini melegakan para seniman terutama seniman perempuan. Menurut Tika, seniman perempuan sangat rentan terkena kekerasan seksual akibat stigma buruk terhadap mereka dan adanya normalisasi kekerasan seksual terhadap seniman perempuan yang sering dianggap “properti publik” oleh masyarakat. Lebih lanjut, Tika berpendapat bahwa langkah selanjutnya untuk memerangi kekerasan seksual bagi seniman adalah menggunakan seni sebagai medium kampanye gerakan anti kekerasan seksual.
Narasumber ketiga, Alegra Wolter berpendapat bahwa adanya uu ini menjadi salah satu upaya dalam penanganan kekerasan seksual baik dari faktor personal, relational, society, maupun struktural. Adanya UU ini berfungsi pula untuk melindungi kelompok minoritas, bukan hanya minoritas dalam konteks demografi namun juga minoritas gender, minoritas seksual, dan minoritas dalam konteks orang-orang dengan disabilitas. Menurut Alegra, Langkah selanjutnya untuk memerangi kekerasan seksual adalah dengan raising awareness agar implementasi UU ini dapat berjalan dengan baik dan terjadi sinergi antar sektor.
Narasumber keempat, Aria Indrawati berpendapat dari perspektif kelompok disabilitas bahwa hadirnya UU TPKS merupakan hal yang Aria dan koleganya perjuangkan dari lama, UU ini sangat melindungi kelompok disabilitas dari kekerasan seksual mengingat kelompok disabilitas memiliki kerentanan akibat kekurangannya baik dari segi fisik maupun mental. Menurut Aria, langkah selanjutnya yang harus dijalankan adalah dengan membuat regulasi turunan yang disesuaikan dengan daerah.
Dalam sesi kedua, penyampaian materi lebih ditekankan kepada penjaminan perlindungan hak korban baik dari segi penanganan maupun perlindungan oleh UU TPKS. Secara substantif pengaturan Victim Trust Fund menjadi salah satu terobosan baru dalam UU TPKS sekaligus merupakan angin segar bagi para penyintas kekerasan seksual. Maidina Rahmawati menerangkan Victim Trust Fund adalah sebuah kebaruan yang menjadi langkah progresif untuk menjamin pemulihan korban tidak hanya berupa pemulihan fisik saja, tetapi juga pemulihan psikis, sosial-budaya,dan ekonomi, dengan pendanaan yang berasal dari anggaran negara.
“Dengan adanya mekanisme Victim Trust Fund tidak hanya menjamin adanya metode pelayanan pemulihan korban secara lebih komprehensif tapi juga turut menjamin komitmen negara untuk menyediakan penganggaran dan dana pemulihan bagi korban” pungkasnya
Lebih lanjut, terobosan baru dalam UU TPKS juga ditemukan dalam sistem beracaranya. Melalui pemaparannya Mutiara Ika Pratiwi dan Ana Abdillah sepakat bahwa pengaturan hukum acara yang ada dalam UU TPKS kali ini lebih berperspektif pada korban.
“Hukum acara dalam UU TPKS sangat mencerminkan sekali kehendak kuat negara untuk melindungi korban karena mengintegrasikan hak-hak korban yang sifatnya sangat fundamental seperti informasi, perlindungan dan keamananya, kemudian menjamin korban agar tidak mengalami stereotype dan juga diskriminasi berkaitan dengan kasus yang dihadapi.” ungkap Ana
Selain itu, Ika juga memaparkan adanya perluasan unsur baik dari segi definisi maupun alat bukti telah menjawab rasa takut para korban, khususnya buruh perempuan untuk dapat mengadvokasikan keadilan bagi dirinya.
“Perluasan unsur dalam UU TPKS, seperti adanya pemeriksaan korban yang dapat dilakukan melalui perekaman elektronik, juga menjadi terobosan baru yang menjawab kesulitan-kesulitan korban dalam mengakses keadilan” begitu ungkapnya.
Melalui dialog publik ini, berkali-kali para pembicara menegaskan bahwa UU TPKS tidak hanya menjadi sebuah kemenangan tapi juga babak baru bagi masyarakat Indonesia, khususnya para perempuan dan kaum minoritas lainya. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak korban yang telah diatur secara lebih komprehensif menjadi bentuk upaya negara agar korban dapat kembali ke masyarakat secara utuh tanpa harus merasa terancam ataupun terintimidasi. Di akhir acara, Maidina Rahmawati kembali mengungkapkan, pengawalan terhadap UU TPKS, baik dari segi implementasi UU TPKS dan Peraturan Turunannya, maupun terkait dengan sinergi UU TPKS dengan undang-undang lainnya menjadi prioritas baru yang sangat penting untuk dilakukan.
Penulis :
Ano Prasetio
Aulia Zahra
Penyunting:
Fatih Erika