web analytics
Republik Saset: Menilik Hulu Timbunan Sampah

Republik Saset: Menilik Hulu Timbunan Sampah

Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan diskusi dan nonton bareng series dokumenter bertajuk “Republik Saset – Ekspedisi 3 Sungai” pada Jumat, (24/06) bertempat di Kompleks Perumahan Dosen UGM Bulaksumur, Yogyakarta. Mengundang Dandhy Laksono, Danang Kurnia Awami, dan Viky Arthiando Putra acara tersebut berupaya untuk meningkatkan kesadaran mengenai krisis lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia. 

Dandhy Laksono menyampaikan bahwa latar belakang diproduksinya series dokumenter “Republik Saset” adalah banyak materi mengenai krisis lingkungan yang belum dimuat dalam film “Pulau Plastik”. Film dokumenter garapan Visinema tersebut berisi tentang penelusuran jejak sampah mikroplastik yang mencemari lingkungan hingga membahayakan kesehatan manusia. Mengelaborasi lebih jauh terkait pencemaran mikroplastik, Dandhy mengatakan series dokumenter “Republik Saset” diproduksi dan berisi ekspedisi tiga sungai terbesar di Indonesia, yaitu Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, dan Sungai Citarum. Series dokumenter tersebut menunjukkan dengan jelas parahnya pencemaran sampah saset dan plastik yang mengendap bersama sedimen lumpur di dasar sungai.  

Menurut Dandhy, fakta tersebut tampaknya kontradiktif mengingat perusahaan atau produsen produk saset yang bertingkah seolah “dewa penyelamat” terhadap rakyat kecil. Menurutnya, perusahaan mengatasnamakan rakyat untuk menjustifikasi produksi barang saset secara massal. “Logikanya buruh harian atau orang dengan pendapatan kecil nggak mungkin bisa beli sampo, sabun, kecap dengan kemasan gede. Jadi dibikinlah industri datang sebagai dewa penolong untuk membantu masyarakat membeli dengan kemasan kecil supaya bisa beli dengan uang receh,” ujarnya.

Lebih lanjut lagi, Dandhy menegaskan bahwa produksi produk saset bukanlah demand driver, melainkan supply driven. Dandhy mengingatkan bahwa budaya jual beli Indonesia awalnya menggunakan sistem tukar botol kaca, tetapi seiring berjalannya waktu perusahaan atau produsen justru menciptakan masyarakat yang ketergantungan terhadap produk saset dan plastik. Sayangnya, produksi saset massal tidak dibarengi dengan pengolahan sampah saset yang baik. Jika dibandingkan dengan negara-negara Amerika atau Eropa, sistem Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia belum menjadi solusi yang cukup dan tepat. Timbunan sampah yang dibuang begitu saja di TPA akan menjadi debris mikroplastik saat terkena panas dan hujan yang intensif.  

Menanggapi pernyataan Dandhy, Viky Arthiando memaparkan bahwa debris mikroplastik merupakan akibat dari TPA yang masih menerapkan sistem open dumping dan mengabaikan pengolahan sampah lebih lanjut. Walaupun hadirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah merubah sebagian TPA menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), tetapi dalam praktiknya TPST tersebut masih menerapkan sistem open dumping. Viky juga mengatakan pemerintah tidak serius dalam menangani pengelolaan sampah. Pernyataan tersebut ia sampaikan didasarkan pada data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang menunjukkan bahwa penanganan sampah yang awalnya mencapai 15,3 juta ton pada 2020 menurun menjadi 13,8 juta ton pada 2021. 

Mirisnya, penurunan penanganan sampah terjadi seiring dengan kenaikan volume sampah yang dihasilkan masyarakat. Viky menjelaskan bahwa migrasi dan perubahan kawasan pedesaan menjadi perkotaan merupakan faktor penyebab kenaikan volume sampah secara drastis. Viky menyampaikan, “paling banyak ternyata sampah sekali pakai kemudian sampah rumah tangga dan sebagainya, itu memang kebanyakan dari masyarakat urban.”

“Kemudian, semakin sempitnya pula infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan dalam konteks pengelolaan sampah. Lah ini perubahan-perubahan yang sangat cepat yang berkaitan dengan itu (buruknya sistem pengelolaan sampah),” sambung Viky. 

Penjelasan Viky diamini oleh Danang Kurnia Awami yang menyatakan bahwa saset lekat dengan narasi ekonomis dan efisiensi. Mengutip perkataan Dandhy sebelumnya, saset diproduksi dan ditawarkan perusahaan sebagai “solusi” bagi masyarakat menengah ke bawah agar tetap bisa membeli dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saset juga dipromosikan sebagai produk sekali pakai yang ukurannya compact sehingga mudah dibawa kemanapun. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi Danang menegaskan bahwa efisiensi tersebut hanya berlaku untuk pemroduksi sampah saset. Sementara itu, masyarakat yang rentan terdampak akan dirugikan oleh penumpukan sampah saset yang kian melonjak tiap harinya. 

 

“Dari situ saja sudah terlihat bahwa mereka (perusahaan) mencoba menghilangkan biaya untuk mengatasi (pencemaran) lingkungan kepada orang lain,” tutur Danang saat memaparkan sikap perusahaan yang angkat tangan terhadap pencemaran lingkungan yang dilakukannya. 

Jika melansir pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, tercantum dengan jelas bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pengelolaan sampah termasuk terkait penentuan kebijakan, standar, prosedur, sarana prasarana, hingga penentuan kebijakan penyelesaian perselisihan terkait pengelolaan sampah. Namun, Danang mengatakan bahwa dalam praktiknya, peran tanggung jawab masyarakat lebih ditekankan dibanding peran pemerintah dan perusahaan. Atas kerugian yang dialami akibat pencemaran lingkungan, masyarakat kerap melakukan gugatan kepada Pengadilan Negeri meskipun Danang menegaskan hal tersebut bukanlah satu-satunya solusi untuk memulihkan lingkungan. 

Berkaitan dengan pengelolaan sampah yang kian menumpuk, timbul kekhawatiran di benak Danang mengenai narasi pengolahan sampah menjadi energi. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) mulai digaungkan sebagai solusi mengurangi tumpukan sampah sejak beberapa waktu yang lalu. Kekhawatiran Danang bukan tanpa alasan karena pengolahan sampah menjadi tenaga listrik berpotensi menimbulkan gas metana dalam kuantitas masif, lalu metana ini akan berdampak langsung terhadap perubahan iklim dan kesehatan masyarakat. Pada akhirnya, permasalahan tentang pengolahan sampah harus diatasi dari hulunya alih-alih menyasar hilir. Hal tersebut bisa dimulai antara lain dengan mengurangi produksi dan penggunaan plastik, mempersulit izin perusahaan dalam memproduksi produk plastik dan saset, serta memperbaiki dan memastikan berjalannya sistem pengolahan sampah yang terpadu.

 

Penulis : Putri Pertiwi

Penyunting : Fatih Erika

Leave a Reply

Your email address will not be published.