web analytics

Hearing Rektorat: Sebuah Ruang Dialog untuk Keluh Kesah Mahasiswa UGM Aduan Tentang Layanan dan Fasilitas Mahasiswa, Penanganan Kekerasan Seksual, hingga Polemik SSPI dalam Hearing Rektorat

Universitas Gadjah Mada (UGM) melantik rektor baru untuk masa jabatan tahun 2022-2027 pada Jumat (7/5), bertempat di Balai Senat UGM. Untuk mengawali kepemimpinan rektor baru, dibutuhkan sebuah komitmen untuk meningkatkan kualitas, keadilan, serta penyelesaian permasalahan terkait isu-isu strategis khususnya terkait kemahasiswaan yang ada di Universitas Gadjah Mada. Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah ruang antara mahasiswa dengan jajaran rektorat untuk berdialog mengenai isu-isu kemahasiswaan yang tengah terjadi di lingkungan UGM. Pada Selasa (13/12), dilaksanakan Hearing Rektorat, yang bertempat di Ruang Multimedia 1 Lantai 3 Kantor Pusat UGM. 

 

Kegiatan Hearing Rektorat kali itu dibuka oleh Sindung Tjahyadi, selaku Direktur Direktorat Kemahasiswaan dan turut dihadiri oleh  Arie Sujito, selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni, Sekretaris Direktorat Kemahasiswaan Hempri Suyatna, Direktorat Perencanaan, Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat, dan Direktorat Kemahasiswaan Subdirektorat OFM. 

 

Setidaknya terdapat enam lingkup isu yang dibahas, yaitu: 1) program dan sistem pembangunan kesehatan mental; 2) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual; 3) pengelolaan dan pelayanan fasilitas kemahasiswaan di UGM; 4) asuransi kesehatan mahasiswa sebagai wujud jaminan pemeliharaan kesehatan dari UGM; 5) Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM); 6) Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI).

 

Kurangnya Layanan Kesehatan Mental

Perwakilan dari Forum Advokasi UGM (Formad) menjelaskan terkait kurangnya layanan kesehatan mental yang memenuhi kebutuhan mahasiswa UGM. Hal tersebut ditunjukkan dengan minimnya jumlah psikolog di Gadjah Mada Medical Center (GMC), yang saat ini hanya berjumlah lima orang untuk menangani seluruh mahasiswa UGM. Karena padatnya antrian dan jadwal layanan konseling psikologis di GMC, banyak mahasiswa yang mengalami permasalahan mental, mulai dari stres akademik, keinginan untuk bunuh diri, hingga konflik dalam diri, yang belum terbantu dan tertangani

 

Terkait hal tersebut Formad memberikan beberapa rekomendasi yang dapat menjadi pertimbangan bagi para pemangku kebijakan UGM dalam menangani permasalahan ini, diantaranya adalah melakukan usaha preventif dan promotif melalui psikoedukasi berupa mata kuliah mengenai kesehatan mental, mengadakan sistem screening kesehatan mental, serta penambahan jumlah psikolog di GMC.

 

Dr. Arie Sujito menjelaskan bahwa UGM sedang melakukan upaya pembenahan tentang isu kesehatan mental. 

 

“Stres akademik dan bunuh diri, UGM sedang komit tentang itu,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Arie setuju dengan usulan untuk menambahkan psikolog di GMC dan adanya pelibatan mahasiswa dalam penanganan kasus kesehatan mental.

 

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

 

Formad juga menyampaikan isu yang cukup menjadi perhatian di UGM, yakni mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). 

 

Berdasarkan realitas tentang PPKS di lingkungan UGM, Formad menilai  aturan tentang PPKS di lingkungan UGM belum sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud 30/2021).

 

Feri, salah satu mahasiswa yang turut serta dalam forum tersebut menegaskan bahwa dalam penanganan kekerasan seksual, Satgas sebaiknya menyelaraskan peraturan rektor dengan pedoman dalam peraturan menteri sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam PPKS. Sepakat dengan hal tersebut, perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM menambahkan perihal kewajiban Satgas, termasuk jajaran rektorat, untuk mengikuti Permendikbud 30/2021 agar tercipta link and match dengan seluruh ormawa di UGM dalam upaya PPKS.

 

Menurut Formad, perlu ada ekosistem pelayanan PPKS yang komprehensif dan terintegrasi sehingga terdapat keseragaman Standar Operational Procedure (SOP) yang berlaku di setiap fakultas dan sekolah di UGM.

 

Terkait hal tersebut, Formad juga memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya: kampus dapat berkolaborasi dengan organisasi mahasiswa setiap fakultas dan sekolah, mengevaluasi secara menyeluruh dan memindahkan fungsi Brand Ambassador Health Promoting University (HPU) sebagai first aid responder, serta mendesak Satuan Tugas PPKS untuk memangkas birokrasi penanganan kasus kekerasan seksual untuk mewujudkan sistem yang berpihak kepada korban dan efisien.

 

Menanggapi hal ini, Arie Sujito mendukung pelibatan mahasiswa dalam penanganan kasus kekerasan seksual dan mengapresiasi mahasiswa yang mau terlibat serta peduli terhadap isu ini. Selanjutnya, perihal pemangkasan birokrasi penanganan kekerasan seksual Arie menerangkan bahwa perlu dilakukan pelacakan terlebih dahulu tentang proses yang dimaksud rumit tersebut. 

 

“Perlu dilacak proses yang rumit yang dimaksudkan yaitu seperti apa karena ada prosedur tersendiri dalam menghadapi suatu kasus, tanggapnya.”

 

Pengelolaan dan Pelayanan Fasilitas Kemahasiswaan di UGM

 

Selanjutnya, Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa (Forkom) UGM membahas mengenai isu kurangnya pengelolaan dan pelayanan fasilitas kemahasiswaan di UGM. Adapun fasilitas kemahasiswaan yang disoroti adalah Gelanggang Olah Raga (GOR) dan Stadion Pancasila. Terkait dengan pelayanan, perwakilan Forum Komunikasi UGM menilai SDM fasilitas kemahasiswaan masih kurang, alur peminjaman belum tersosialisasi dengan baik, record peminjaman belum terdigitalisasi, dan fasilitas kemahasiswaan belum tepat guna, misalnya GOR untuk latihan tetapi hingga saat ini masih banyak teman-teman UKM olahraga yang tidak mendapat tempat untuk latihan. Kemudian terkait dengan pengelolaan, menurut mereka tidak ada kejelasan mengenai pengelolaan GOR Pancasila hingga saat ini, birokrasi yang berbelit, dan minimnya keterlibatan mahasiswa. 

 

Menindaklanjuti permasalahan di atas, Forkom memberikan beberapa rekomendasi seperti memperjelas pengelolaan GOR Pancasila, memperbaiki pelayanan fasilitas kemahasiswaan (fleksibilitas waktu, alur, digitalisasi), serta menerapkan skema part-timer dan student union. 

 

Menanggapi hal tersebut, Arie menyampaikan akan melakukan diskusi dengan Forkom dan mahasiswa terkait pelibatan mahasiswa dalam pengelolaan fasilitas mahasiswa. Adapun mengenai record peminjaman, Arie menjelaskan bahwa alur peminjaman akan terdigitalisasi pada Februari 2023. 

 

Hempri menambahkan bahwa UGM tengah menyusun sistem digitalisasi disertai memasifkan sosialisasi terkait prosedur yang baru.

 

Asuransi Kesehatan Mahasiswa sebagai Wujud Jaminan Pemeliharaan Kesehatan UGM

Dalam kegiatan hearing rektorat yang diselenggarakan pada Selasa (13/12) kemarin, perwakilan mahasiswa dari Forkom juga menyuarakan aspirasi mereka terkait asuransi kesehatan yang dapat diterima oleh mahasiswa, terutama bagi mereka yang menjadi delegasi UGM pada perlombaan atau pertandingan yang memiliki risiko cedera tinggi. Forkom menyoroti bahwa selama ini, asuransi yang ditanggung oleh pihak kampus baru sebatas pada wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta padahal kegiatan mahasiswa tidak terbatas di wilayah DIY saja. Di samping itu, berdasarkan borang yang diisi oleh beberapa mahasiswa terkait, mayoritas dari mereka menyayangkan penyebaran informasi terkait asuransi mahasiswa yang kurang masif, tidak update dan detail, serta akses SK yang sulit. Seharusnya, sebagai salah satu PTN-BH, pihak Forkom berharap agar informasi-informasi terkait asuransi kesehatan mahasiswa ini dapat diakses semudah mungkin melalui website.

Sebagai tanggapan, Arie menerima dengan baik masukan yang disuarakan oleh perwakilan Forkom. Beliau menyebutkan bahwa sejauh ini, pihak kampus telah menjalin kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan, tetapi hanya berfokus pada permasalahan KKN-PPM saja yang mana asuransi ini nantinya akan meng-cover terhadap mahasiswa selama tiga bulan, yakni lima belas hari sebelum keberangkatan, dua bulan di lokasi KKN, serta lima belas hari setelah KKN selesai.Ari Mengatakan bahwa akan segera mengusahakan asuransi untuk para delegasi UGM di pertandingan atau perlombaan terutama yang memiliki risiko cedera tinggi.

 

Kawasan Kerohanian sebagai Pengejawantahan Pancasila

Kawasan Kerohanian UGM merupakan fasilitas yang digunakan untuk mewadahi kegiatan rohani civitas akademika dari berbagai agama sebagai wujud toleransi dan implementasi Pancasila. Peletakan batu pertama dari pembangunan kawasan kerohanian ini telah dilaksanakan sejak Mei tahun 2022 saat  Panut Mulyono,  Masih menjabat sebagai rektor UGM. Akan tetapi, hingga hari ini, bagaimana kelanjutan pembangunan kawasan kerohanian UGM setelah peletakan batu pertama itu belum memiliki kejelasan. 

Padahal, pada saat hearing rektorat pertama, Ova berjanji akan melanjutkan proses pembangunan kawasan kerohanian tersebut. Maka dari itu, perwakilan mahasiswa meminta kejelasan terkait progres pembangunan sampai transparansi dana yang digunakan melalui laporan rutin satu kali dalam tiga bulan. Sehingga dibutuhkan kolaborasi antara mahasiswa dan petinggi kampus agar proses pembangunan kawasan kerohanian ini dapat terus dikawal. Perwakilan mahasiswa juga merekomendasikan kepada pihak kampus apabila nanti proses pembangunan telah selesai, proses pengelolaan kawasan tersebut harus melibatkan UKM kerohanian.

Arie menanggapi bahwasanya mengapa proses pembangunan kawasan kerohanian UGM terkesan macet karena sebagai sebuah fasilitas yang nantinya akan mewadahi kegiatan rohani semua civitas akademika UGM, diperlukan adanya penghimpunan dan pengumpulan dana melalui berbagai pihak, salah satunya melalui lelang tender yang memerlukan perencanaan yang matang. Direktorat Perencanaan turut menambahkan bahwa proses pembangunan yang terkesan lama ini karena dalam proses perencanaan memerlukan koordinasi dan pelibatan semua agama. Direktorat Perencanaan juga menyatakan bahwa untuk saat ini proses lelang tender telah selesai dan pada Februari proses pembangunan diharapkan dapat segera dilaksanakan.

 

Unit Layanan Disabilitas yang Kurang Maksimal

Pada hearing rektorat kali ini pula, Forum Komunikasi Mahasiswa juga mengutarakan aspirasi merea terkait Unit Layanan Disabilitas yang dirasa masih belum maksimal. Ini melihat masih banyaknya sarana dan prasarana di UGM yang belum ramah terhadap teman disabilitas, tidak adanya pendampingan terhadap para penyandang difabel dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, serta peraturan rektor yang mengatur secara jelas tentang ULD. Padahal, banyak undang-undang yang telah menyebutkan bahwa sebagai lembaga pendidikan tinggi, universitas wajib memfasilitasi para penyandang disabilitas dengan baik. Apabila tidak, maka ada sanksi yang harus diterima salah satunya izin menyelenggarakan pendidikan. Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan menyatakan bahwa memang benar untuk saat ini UGM masih belum maksimal dalam memberikan sarana dan prasarana kepada teman-teman disabilitas. Oleh karena itu, selain mengandalkan jajaran petinggi kampus, WR juga menyatakan bahwa diperlukan kerja sama antara UKM Disabilitas serta pihak-pihak kampus agar tercipta awareness untuk dijadikan patokan bagi pihak rektorat.

 

Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat

Selanjutnya, mengenai pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM). Perwakilan mahasiswa dari BEM KM UGM, dalam aspirasinya, menyebutkan beberapa poin penting terkait pelaksanaan KKN-PPM UGM, mulai dari akan dibawa ke mana paradigma KKN UGM sampai peran DPL ketika pelaksanaan KKN.

Dalam hearing kali ini, urgensi yang disampaikan perwakilan mahasiswa ini menyoroti tentang relevansi pelaksanaan KKN di masa kini. Bagi mereka, model KKN yang diterapkan UGM terlalu statis sehingga diperlukan perubahan yang sifatnya lebih luwes seperti kampus-kampus lain seperti UI di mana kredit semester untuk KKN dapat diganti dengan program Magang Merdeka. Berdasarkan borang yang dibagikan, mahasiswa KKN angkatan 2022 juga menyoroti tentang dana KKN dari pihak kampus yang dirasa begitu kurang untuk menjalankan program kerja selama dua bulan sehingga mayoritas dari mereka harus menggunakan banyak uang pribadi untuk menutupi kekurangan dana dari kampus.

Selain itu, perwakilan mahasiswa turut menyuarakan proses birokrasi serta administrasi KKN yang masih membingungkan. Adanya laporan ganda yang harus disetor padahal tujuan dan intensinya sama pada waktu pelaksanaan KKN itu membuat banyak mahasiswa yang tidak fokus terhadap program kerja mereka, tetapi justru sibuk membuat laporan KKN. Oleh karena itu, pihak mahasiswa menginginkan adanya evaluasi terkait permasalahan-permasalahan dalam KKN-PPM yang disebut sebagai jiwanya UGM ini. Perlu adanya peninjauan ulang terkait waktu pengiriman laporan kegiatan sehingga fokus mahasiswa tidak terbagi-bagi.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan menyebutkan bahwa sampai kapan pun, KKN-PPM akan selalu relevan dengan perkembangan zaman, apabila pertanyaan ini disandingkan dengan konteks UGM. Justru, KKN ini nantinya tidak akan terbatas pada dua bulan saja, tetapi bisa lebih dengan konsentrasi pada wilayah-wilayah di sekitar UGM seperti Terban, Condongcatur, dan Pogung yang masyarakatnya berinteraksi setiap hari dengan mahasiswa UGM. Hal ini menjadi wujud tanggung jawab kampus terhadap masyarakat sekitar. Terkait pendanaan yang dirasa kurang, Djarot Heru Santoso selaku Sekretaris Direktur Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat menyebutkan bahwa perlu adanya pendekatan lebih jauh lebih mengapa dana itu dapat kurang. Memang murni untuk program kerja atau justru karena biaya hidup turut dimasukkan ke dalam borang.

 

Penerapan SSPI bagi Mahasiswa Baru Tahun 2022 Jalur Mandiri

Terakhir, perwakilan mahasiswa yang diwakili oleh Adkesma BEM KM UGM, mengkritisi penerapan SK Rektor Nomor 617/UN1.P/KPT/HUKOR/2022 tentang pemberlakuan Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI) yang dirasa terlalu terburu-buru dan cacat secara formil. Tidak adanya sosialisasi secara masif terlebih dahulu kepada calon mahasiswa baru membuat banyak pihak menjadi gagap dengan perubahan aturan yang tiba-tiba ini padahal sebelumnya, UGM dan UI menjadi salah satu kampus yang tidak menerapkan sistem uang pangkal bagi mahasiswa dari jalur mana pun. Dasar hukum untuk menerapkan Surat Keputusan Rektor terkait SSPI ini pun dianggap cacat secara formil karena yang digunakan adalah Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 sedangkan kenyataannya peraturan menteri tersebut telah diganti dengan  Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kendala teknis dalam pengisian jumlah SSPI pun turut menjadi perhatian. Salah satunya adalah beberapa mahasiswa baru dari program studi atau fakultas tertentu tidak dapat memilih angka 0 sebagai pilihan jumlah SSPI yang sanggup mereka bayarkan. Alhasil, mereka harus memilih dalam angka yang besar. Apabila akan mengurus pun, harus melalui serangkaian prosedur yang terkesan dipersulit.

Sebagai tanggapan, Ferry selaku perwakilan dari Kantor Hukum dan Organisasi UGM menyebutkan bahwa mereka mengakui telah terjadi kesalahan yaitu ketidakcermatan dalam menetapkan SK Rektor terkait SSPI ini. Maka dari itu, SK ini hanya berlaku satu kali pada 2022/2023 dan akan dilakukan pengkajian ulang.

Dalam hal ini, WR tidak berani menjamin terkabulnya isu nomor enam karena bukan dalam wewenangnya lagi. Namun, beliau berjanji akan menjembatani mahasiswa dan rektor UGM, Ova Emilia, agar aspirasi-aspirasi serta isu yang disampaikan dapat terlaksana dengan baik.

Reporter: Novi Galuh Suryaningsih & Hestina Anggry Prasasti

Penulis: Novi Galuh Suryaningsih & Hestina Anggry Prasasti

Penyunting: Fatih Erika 

Leave a Reply

Your email address will not be published.