web analytics
GEMERLAP KALIMAYA DI PUNCAK BIANGLALA

GEMERLAP KALIMAYA DI PUNCAK BIANGLALA

Hidup ini seperti gemerlap cahaya warna-warni permata kalimaya. Sesekali muncul kilauan
warna yang mengundang tawa maupun yang membawa luka. Warna-warna itu datang
bergantian dan terus berputar layaknya bianglala. Aneka warna itulah yang nantinya membawa
kita untuk memahami hidup sebagai sesuatu yang sangat berharga.

Rey sudah tiba di depan rumah Santi setelah menempuh perjalanan setengah jam dari
rumahnya. Hari ini mereka akan pergi ke pasar malam yang cukup ramai tiap akhir tahun.
Sekarang pukul lima sore, sementara butuh waktu satu jam menuju ke sana. Setelah menelepon
Santi beberapa kali, akhirnya Rey dapat melihatnya sedang melongok dari celah jendela.
Tak lama, Santi telah berada di luar gerbang dengan mengenakan helm di kepalanya.
Sesudah keduanya sama-sama siap, Rey segera menaikkan laju sepeda motornya dengan cepat.
“Aku sangat tak sabar untuk naik kora-kora, komidi putar, dan bianglala!” ucap Santi.
“Kita akan segera ke sana satu per satu.” sahut Rey sambil mengendarai sepeda motornya
dengan sangat lihai.
“Untung saja aku telah memesan tiket berbagai wahana itu tiga hari sebelumnya. Kalau
tidak, tentu kita akan kehabisan!”
“Kamu memang diberkati inisiatif yang sangat baik!” jawab Rey dengan cukup hemat
sebab ia sedang berkonsentrasi mengemudi.
“Aku tak sabar untuk kembali mengingat kenangan indah di sana.” sahut Santi dengan
pelan karena Rey harus fokus menghadapi rangkaian kemacetan menjelang Sabtu malam.
Di sepanjang perjalanan, Santi sedikit membahas soal tugas-tugas perkuliahan hingga
kegemasan tingkah laku kucingnya. Obrolan mereka yang tak terasa begitu cepat harus terjeda
sebentar oleh baliho yang terpajang di pinggir jalan. Dalam baliho itu tertulis, “Selamat Datang
di Pasar Malam Akhir Tahun!”

***

Santi terlihat senang sekali setelah memasuki gerbang pasar malam. Ia segera menarik
tangan Rey untuk berkeliling melihat-lihat berbagai stan yang bertebaran ditemani kelap-kelip
lampu terang. Tak lama, Santi segera melihat sebuah kedai berdekorasi merah muda yang
menjual beraneka macam permen. Ia meminta Rey untuk mentraktirnya permen kapas yang
ukurannya paling besar untuk mereka makan berdua.

“Apakah kamu tahu bahwa permen kapas ini sangat berkesan untukku?” tanya Santi
setelah mereka berdua duduk di kursi yang disediakan oleh si pemilik kedai, “Setahun yang lalu,
sewaktu aku masih bersama dengan Frans, aku pernah makan permen kapas berdua dengannya di
pasar malam ini.”
Rey terdiam sebentar. Sekilas ia menatap sebuah cincin berwarna keemasan dengan
sebuah batu bening berkilauan yang dipakai di jari manis Santi. Sambil menyusun tanggapan
yang tepat, Rey tiba-tiba teringat kejadian yang paling menyakitkan bagi sahabatnya itu.
Tiga tahun lalu, Santi sempat berkenalan dengan seorang pria Jerman saat ia berlibur ke
Bali. Waktu itu, Santi masih duduk di bangku semester akhir pendidikan sarjana, sementara pria
Jerman ini bekerja di salah satu bar terkenal di tengah kota. Sejak perkenalan pertama itu, Santi
dan Frans –pria Jerman itu– menjadi semakin dekat. Dari kedekatan hubungan itu, Santi belajar
banyak soal bahasa Jerman berbarengan dengan Frans yang juga menggali banyak hal tentang
budaya Indonesia.
Setelah satu tahun saling mengenal, mereka memutuskan untuk berpacaran. Dua bulan
setelah menjadi pacar Santi, Frans pindah ke kota tempat Santi tinggal dan bekerja di salah satu
bar di sana. Santi sendiri kemudian menjadi sering menenami Frans meramu bermacam-macam
minuman untuk para pelanggannya di bar. Sepuluh bulan kemudian, atau tepatnya di akhir tahun
lalu, mereka berdua pergi ke pasar malam yang hanya diselenggarakan setiap satu tahun sekali
ini. Hari itu menjadi hari terakhir Santi menemui Frans dan menjadi awal mula kesendirian Santi.
Rey yang kembali sadar dari lamunannya mencoba mengalihkan pembicaraan,
“Bagaimana jika sehabis ini kita naik komidi putar?”
“Tentu.” jawab Santi sambil memasukkan suapan terakhir permen kapas ke mulutnya.
Rey mendatangi pintu masuk komidi putar dan memberikan dua karcis yang telah
dipesan Santi sebelumnya kepada penjaga loket. Mereka duduk tak berjauhan di kuda-kudaan
masing-masing. Beberapa menit kemudian mereka mulai berputar mengelilingi poros bidang
datar dengan kecepatan sedang. Kebetulan wahana ini tak begitu ramai ketika mereka
menaikinya sehingga keduanya masih dapat mengobrol tanpa harus meningkatkan volume suara.
“Kami dahulu naik ini.” lanjut Santi sambil menahan tangis, “Frans dan aku pernah mengobrol
soal masa depan di atas komidi putar ini setahun lalu.”
Rey agak jengkel karena Santi masih saja mengingat kenangan-kenangan pahitnya
bersama Frans di momen yang seharusnya ia nikmati. Dua hari yang lalu, mereka telah
bersepakat akan pergi ke pasar malam untuk bersenang-senang dan melepas rasa penat tanpa
harus mengungkit permasalahan apa pun.

Begitu mereka telah selesai berputar dengan tiruan kuda-kuda cantik yang penuh warna,
Rey mengajak Santi untuk menuju wahana kora-kora. Santi yang berkali-kali dibujuk oleh Rey
tetap menolak untuk mendekati wahana itu. Ia takut dirinya akan ombang-ambing dan
terpelanting sepuluh meter ke atas langit karena ayunan kora-kora. Rey sedikit tertawa dan
meledek ketakutan Santi yang berlebihan tersebut.
Akhirnya, mereka memutuskan ke kedai es krim dan melanjutkan perjalanan ke arena
bermain yang menawarkan berbagai hadiah menarik untuk pengunjung. Rey tertarik untuk
mencoba permainan panahan dengan harapan dapat memberikan sesuatu kepada sahabatnya.
Sayangnya, ia hanya berhasil memanah dengan jitu ke lingkaran merah sebanyak empat kali dari
lima kesempatan yang dimilikinya. Jadi, ia hanya dapat membawa pulang sebuah boneka panda
berukuran sedang.
Santi yang berjalan membawa boneka panda menggemaskan itu kembali berceloteh,
“Apakah kamu tahu bahwa Frans pernah memberikan aku sebuah boneka beruang coklat yang
merupakan hadiah dari permainan melempar bola di pasar malam ini?”
Rey agak kesal karena tahu bahwa Santi masih memikirkan Frans sepanjang perjalanan
mereka. Namun, Rey berpikir sekarang bukan waktunya untuk memberikan Santi ceramah. Ia
kembali mengalihkan pembicaraan.
“Sekarang udah larut. Bagaimana jika kita tutup dengan naik bianglala?” tanya
Rey. “Tentu.” sambung Santi, “ Aku sangat menyukainya.”
Sekarang pukul sembilan malam dan bianglala menjadi wahana terakhir yang mereka
kunjungi. Bianglala dengan ukuran raksasa ini hanya padat dikunjungi pengunjung dari pukul
lima hingga pukul delapan, sehingga mereka tak perlu lagi khawatir soal antrean panjang.
Terlihat senyum sumringah Santi beberapa saat sebelum duduk bersebelahan dengan Rey
di salah satu bilik bianglala. Tiga menit setelah mereka menyandarkan diri ke kursi dan
memerhatikan operator wahana memberi aba-aba, bianglala mulai berputar dan mereka mulai
terangkat naik ke angkasa sehingga dapat terlihat indahnya pasar malam di tengah kota.
Santi yang kembali kambuh mulai membicarakan lagi kenangannya bersama Frans,
“Setahun yang lalu, tepat di tempat ini dan di hari yang sama, aku dan Frans mengobrol untuk
terakhir kalinya. Tiga hari setelah kami mengunjungi pasar malam ini, ia pulang ke Jerman
secara mendadak dan tanpa kabar sama sekali. Aku tak bisa menghubunginya sama sekali. Lalu,
setelah satu bulan ia menghilang, salah satu sahabatnya memberitahuku bahwa Frans telah

menikah dengan seorang wanita berkebangsaan Swiss. Ternyata mereka berdua telah berpacaran
sejak berkenalan enam tahun lalu dalam acara pertemuan para bartender di Paris.”
Rey menanggapi dengan raut muka cukup sedih, “Mengapa kamu harus memikirkan
terus-menerus seseorang yang telah melupakanmu?”
“Aku sempat berpikir kalau Frans cukup istimewa. Di pasar malam ini, di atas bianglala,
ia memberikanku sebuah cincin dengan batu permata kalimaya yang menjadi mata utamanya. Ia
yang pernah berjanji akan selalu menemani dalam sekejap mata langsung meninggalkanku
sendiri.” ungkap Santi sambil menunjukkan cincin itu di jari manisnya.
Rey kembali meneruskan, sementara bianglala yang terus berputar akan segera mencapai
titik puncak, “Kamu tak perlu menyakiti dirimu dengan mengenang segala macam memori yang
mengundang luka. Kita tak bisa melupakan sesuatu dengan cara mengingatnya terus-menerus.
Apakah kamu sadar bahwa memori terbentuk karena adanya pengulangan? Kamu merasakan
semua luka itu karena kehilangan sebuah kebiasaan –yakni kebiasaanmu untuk selalu bersama
dengan Frans. Kalau kamu pernah terbiasa hidup dengan segala bentuk perhatian dari Frans,
maka kamu tentu juga dapat terbiasa hidup tanpa dirinya. Ingatlah bahwa dahulu kamu pernah
merasa baik-baik saja sebelum berpacaran dengan siapapun!”
Rey cukup lega bisa memberi sedikit pandangan setelah telah lama ia tahan. Kini mereka
berada di puncak tertinggi dan bianglala yang mereka naiki berhenti sejenak selama lima menit.
Mereka melanjutkan obrolan sambil memandangi indahnya kilauan cahaya warna-warni seluruh
isi kota yang tampak seperti gemerlap kalimaya.
“Menurutmu apa yang harus aku lakukan?” ungkap Santi.
“Singkirkan semua memori yang membuatmu terluka.” sambung Rey, “Semakin kita
terus-menerus mengingat sesuatu, semakin melekat pula ingatan itu dalam pikiran kita.”
Santi membantah, “Kamu tak pernah mengerti hubungan bahwa kami dahulu begitu
istimewa! Bagaimana bisa aku begitu saja melupakannya!”
Tiba-tiba Santi meneteskan air mata. Rey segera menggenggam kedua telapak tangan
sahabatnya itu sambil menatap kedua mata Santi yang kini tampak seperti biduri bulan.
“Kita tak bisa mengulang masa lalu,” lanjut Rey, “sebab kita tak akan pernah bisa
menghidupkan kembali segala memori indah yang di dalam kenyataan telah tiada. Terkadang
nostalgia hanya memberikan kita luka dan memanipulasi pikiran kita seolah-olah kita merasa
lebih bahagia di masa lalu.”
“Kamu tak pernah memahami bahwa selama kami berpacaran, aku dan Frans telah
mengalami begitu banyak kenangan yang indah!” sahut Santi dengan tegas.

“Kamu tak bisa mengidealisasikan suatu hubungan apapun. Setiap hubungan selalu
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.” lanjut Rey sambil tersenyum, “Kamu
juga tak bisa memaksakan sesuatu yang berada di luar kuasamu. Biarkanlah seseorang yang
memang bukan untukmu pergi menjauh. Kamu harus tetap tumbuh dan segera bangkit untuk
menjalani hari ini dan meneruskan masa depan. Tanpa Frans, kamu tak akan kekurangan apa-
apa, sebab kamu hanya bisa mengandalkan dirimu sendiri untuk bahagia.”
Bianglala yang mereka naiki mulai kembali bergerak menurun. Keduanya kini perlahan
mendekati permukaan. Santi terharu. Ia sadar bahwa dirinya harus tetap melanjutkan hidup.
Terkurung dalam masa lalu yang sangat pahit telah membuat Santi menutup diri dari semua
laki- laki yang mendekatinya. Setelah sempat takut menjalani hubungan istimewa dengan laki-
laki manapun karena tak mau kembali merasakan luka. Kini, Santi mulai sadar bahwa ia harus
merelakan sesuatu yang bukan miliknya. Ia ingin membuka diri dan melanjutkan hidup.
Sudah hampir pukul sepuluh malam. Santi sudah bisa tersenyum dan tertawa dengan
lepas. Mereka segera menuju pintu keluar pasar malam untuk pulang sebelum Santi dimarahi
ayahnya karena pulang terlalu larut. Santi memandangi satu per satu penjaga stan yang sedang
sedang membongkar dekorasi stannya –termasuk pula si pemilik kedai permen kapas. Sambil
berjalan, Santi membuka sedikit obrolan.
“Aku pikir sekarang aku sudah bisa sedikit melupakan Frans.” ungkap Santi.
“Semoga kamu merasa lebih baik.” sambung Rey, “Kita tak perlu menyangkal rasa
sakit yang kita alami. Hal yang perlu kita lakukan adalah menerimanya dan merelakannya.
Kita cukup menyimpan ingatan itu sebagai kenangan manis sekaligus pelajaran berharga.”
“Kamu benar. Akan kusimpan cincin kalimaya pemberian Frans ini dengan sangat baik
sebagai artefak yang memberi banyak pelajaran.” jawab Santi sambil mengusap-usap cincin
itu.
“Hal apa yang kamu peroleh dari percakapan kita hari ini?” tanya Rey sambil tertawa.
Santi meneruskan, “Hidup ini seperti kilauan warna-warni yang menghiasi kalimaya.
Ada merah, biru, kuning, dan berbagi varian gabungan ketiga warna primer itu yang menyatu
di dalamnya. Di kehidupan ini, perasaan senang, sedih, kecewa, takut, marah, dan sebagainya
yang kita rasakan nampak seperti warna-warni kalimaya. Setiap kalimaya yang memiliki
kombinasi warna paling kompleks akan mendapatkan harga selangit dari para kolektor batu
permata. Begitu pula dengan kita. Kepribadian kita akan semakin bernilai seiring dengan

datangnya berbagai macam pengalaman yang terus-menerus menguatkan.”

Karangan yang lahir pada Desember 2020 ini merupakan persembahan pengarang untuk kawan lama
yang sempat merasakan patah hati.

Pengarang: Savero Aristia Wienanto
Dikurasi oleh: Regina Ayu Amara Devi

Leave a Reply

Your email address will not be published.