web analytics
Koalisi AG-AP: Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH, Indikasi Proses Hukum Bermasalah?

Koalisi AG-AP: Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH, Indikasi Proses Hukum Bermasalah?

Beberapa waktu belakangan ini, kita digemparkan oleh berbagai peristiwa yang menyita perhatian masyarakat luas dan memiliki implikasi yang cukup kompleks. Mulai dari kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua hingga kasus penganiayaan David Ozora. Dalam kasus penganiayaan terhadap David Ozora, menuai berbagai pro kontra khususnya terhadap salah satu pelaku turut serta melakukan yakni AGH (15). Dimana, pada hari Senin (10/04) terhadap AGH telah dijatuhkan vonis oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yakni hukuman penjara selama 3 tahun 6 bulan karena terbukti melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan perencanaan terlebih dahulu. Bahkan, terhadap kasus yang sama juga telah memperoleh putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan putusan yakni menguatkan putusan PN Jakarta Selatan.

Terdapat pihak yang menilai bahwa putusan tersebut tidak setimpal dengan perbuatan AGH yang dicap sebagai ‘biang kerok’ atas kasus yang menyebabkan korban David koma hingga 40 hari. Di lain sisi, terdapat pihak/kalangan yang menilai sebaliknya. Mereka menilai bahwa vonis tersebut tidak berkeadilan bagi pihak AGH, terlebih dengan statusnya sebagai ‘anak yang berkonflik dengan hukum’ yang sudah seharusnya dalam proses peradilan (hukum) perkara memperoleh keadilan dan perlindungan hukum dengan kekhususan-kekhususan yang ada.

Pada, Rabu (10/05), Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak (Koalisi AG-AP) yang terdiri dari Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS), menyelenggarakan Konferensi Pers dengan tajuk “Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH” secara daring. Adapun dalam konferensi pers tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengabaian fakta-fakta persidangan yang kemudian menekan kedudukan AGH.  

Pertama, terkait status AGH, sebagai pihak turut serta melakukan. “AGH hanya berperan menelpon, 3 kualifikasi untuk dinyatakan sebagai turut serta melakukan tidak terpenuhi,” ujar Lucky Endrawati, seorang akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Menurut Lucky, penetapan status AGH tersebut adalah keliru karena tidak memenuhi kualifikasi yang ada, salah satunya yakni mensyaratkan adanya kesatuan niat untuk menuntaskan perbuatan. Hal ini berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, CCTV, dan sumber lain yang menurut Lucky menunjukkan bahwa niat AGH benar-benar hanya ingin mengembalikan kartu pelajar kepada D serta tidak mengetahui niat MDS untuk melakukan pemukulan.

Kedua, dalam putusan perkara AGH, tidak mencantumkan dan mempertimbangkan Hasil Pemeriksaan Psikologi Forensik terhadap AGH serta tidak mempertimbangkan Hasil Laporan Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Dimana dalam Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak dipertimbangkannya laporan penelitian kemasyarakatan dalam putusan hakim berimplikasi pada batalnya putusan demi hukum, terang Lucky. Bahkan, menurut Ratna Batara Munti, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jawa Barat, penting bagi Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mempertimbangkan kerentanan perempuan. Ia menilai bahwa hakim hanya mempertimbangkan fakta dari JPU yang diperkuat serta dipengaruhi oleh narasi publik dengan stereotip bahwa ‘AGH adalah perempuan tidak baik’. Ia juga menegaskan bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, khususnya dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 agar hakim mempertimbangkan relasi kesetaraan gender, relasi kuasa, dan non-diskriminasi yang menurutnya luput dalam proses hukum perkara.

Ketiga, adanya pengabaian terhadap fakta terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap AGH berdasarkan pada Pasal 76D, Pasal 81 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 4 ayat (2) huruf c jo Pasal 15 huruf g UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang pada intinya menyebutkan bahwa perbuatan persetubuhan orang dewasa terhadap Anak adalah tindak pidana. “Konstruksi hukum kita menyatakan bahwa semua hubungan seksual terhadap anak dibawah 18 tahun merupakan kekerasan seksual, tidak mengecualikan adanya hubungan sama suka,” ujar Salma Safitri. Namun, sayangnya justru dinilai hakim sebagai bukti yang sebaliknya justru menunjukkan tidak adanya trauma, karena telah dilakukan 5 kali tanpa melihat adanya relasi kuasa, ujar Ratna. Belakangan ini, pihak AGH telah melaporkan adanya dugaan tindak pidana kekerasan seksual kepada pihak kepolisian.

Adapun, rekomendasi yang diberikan Koalisi AG-AP dalam kasus ini, diantaranya yakni, pertama, agar dalam tahapan Kasasi di MA, mempertimbangkan kerentanan anak AGH dan adanya potensi manipulasi anak oleh orang dewasa yang mengacu pada alat bukti baru seperti Hasil Pemeriksaan Psikologis Forensik Anak AGH, Laporan Penelitian Kemasyarakatan, dan fakta di persidangan. Kedua, mendorong masyarakat umum dan lembaga negara, seperti Komisi Yudisial dan Dewan Pers untuk merespon masalah-masalah yang muncul dari kasus ini, yakni proses hukum di pengadilan yang bermasalah dan pemberitaan di media yang tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Ketiga, agar Dewan Pers segera membuat pedoman dalam penulisan atau peliputan berita atau kasus yang melibatkan perempuan dan anak, dan pemberitaan kekerasan seksual, serta memberikan perhatian khusus terhadap anak perempuan yang memiliki kerentanan ganda (usia dan gender).

Penulis: Yogi

Reporter: Yogi

Penyunting: Erika

Leave a Reply

Your email address will not be published.