web analytics
“PENDIDIKAN KOK MAHAL, KITA HARUS APA?” DISKUSI PUBLIK BEM KM UNY X APATIS X LPM EKSPRESI

“PENDIDIKAN KOK MAHAL, KITA HARUS APA?” DISKUSI PUBLIK BEM KM UNY X APATIS X LPM EKSPRESI

Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (BEM KM UNY) berkolaborasi dengan Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi melaksanakan diskusi bertajuk “Pendidikan kok Mahal, Kita Harus apa?” yang bertempat di Aula Student Center UNY pada Kamis (7/3).

Diskusi ini dilaksanakan sebagai bentuk kecaman kepada pemerintah atas biaya pendidikan yang semakin mahal, khususnya biaya kuliah pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ganta selaku moderator diskusi berujar, “di akhir diskusi ini harapannya berakhir sebagai gugatan (kepada pemerintah).”

Ganta menjelaskan adanya fenomena ngutang untuk membayar kuliah merupakan akibat dari sikap acuhnya pemerintah terhadap dinamika biaya pendidikan. Peristiwa yang kemudian kembali dibahas adalah sistem Pinjaman Online (Pinjol) yang diterapkan sebagai salah satu metode pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Kita akan sampai pada suatu masa dimana kita akan ngutang untuk membayar biaya kuliah, dan kita telah sampai pada masa itu,” ucap Ganta. 

Farras selaku Ketua BEM KM UNY merupakan salah satu dari banyaknya korban akibat ketidakadilan kampus dalam memungut UKT. “Diterima bulan Agustus 2021, melakukan pengisian data riil ketika ayah meninggal, (pada saat itu) dikenakan tetapan UKT sebesar 4,2 juta dengan kondisi tidak ada pemasukan dan ibu tidak bekerja,” jelas Farras.

Faras menambahkan bahwa pengenaan biaya UKT yang sebesar itu dirasa tidak masuk akal. Keadaan keuangan keluarga pada saat itu ditambah pandemi Covid-19 yang melanda membuat penetapan biaya UKT yang ditetapkan kepada Farras dirasa tidak adil.

Farras kemudian mengemukakan tentang sistematika sanggah UKT di UNY yang dirasa ada (tapi) seperti nggak ada. “Ketika nggak dapat informasi atau relasi untuk menghubungi pihak kampus terkait pembiayaan UKT (maka) tidak bisa apa-apa,” ujar Farras.

Farras mengatakan bahwa distribusi informasi sistem sanggah UKT di UNY masih kurang masif penyebarannya ke kalangan mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa yang tidak mengetahui informasi terkait sistem sanggah UKT yang berakhir dengan harus membayar UKT secara penuh walaupun kondisi finansialnya tidak memungkinkan.

“Teman saya ada yang jual ternak, teman satu fakultas saya, sudah hari terakhir tidak ada kejelasan perpanjangan waktu UKT,” ucap Farras. Farras menjelaskan bahwa langkah yang diambil oleh universitas dalam pemberian informasi terkait perpanjangan periode pembayaran UKT tidak tepat. Hal ini dibuktikan dengan pihak kampus yang baru memberikan informasi perpanjangan UKT pada malam hari di akhir periode pembayaran UKT. 

Alur penyelesaian case by case turut menjadi pembahasan pada diskusi tersebut. Dilansir dari Ekspresi.com, sistem case by case merupakan layanan yang digunakan untuk melihat dampak dari suatu masalah terhadap masalah yang lain. Berarti, sistem UKT seharusnya fleksibel atau dapat menyesuaikan dengan kondisi mahasiswa terkini.

“Mas, ini tolong jangan terlalu disebarluaskan karena akan merepotkan kita,” ujar pihak keuangan UNY yang dikutip Farras saat diwawancara Mahkamah berkenaan dengan sistem case by case.

Sistem angsuran yang diterapkan di UNY pun tidak luput dari pembahasan diskusi. Menurut Farras, sistem angsuran yang ada dirasa plin-plan karena tidak sedikit mahasiswa yang tidak bisa mengajukan biaya angsuran saat jeda waktu antara penutupan pengumpulan berkas dan pembayaran. Dikatakan plin-plan karena ketika sudah mepet masa pengajuan angsuran ditutup atau masa antara pengumpulan berkas dan pembayaran, sistem angsuran dibuka lagi. Pihak kampus seakan ingin membuat mahasiswa panik dan segera membayar.

Dari berbagai permasalahan yang telah disebutkan Farras terkait sistem UKT di UNY, Ganta menyoroti fasilitas kampus yang dirasa tidak sebanding dengan UKT yang telah dibayarkan oleh mahasiswa.

“Masa sabun di toilet (aja) nggak ada, terus kita harus pakai apa?” ujar Ganta.

Aldiano, panitia diskusi, memaparkan penelitiannya terkait UKT yang telah diterapkan sejak tahun 2013 hingga saat ini. 

“Pertama kali UKT diterapkan, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) (melakukan) seminar UKT  dengan wakil rektor 1 dan wakil rektor 2 serta bidang kemahasiswaan, apakah kebijakan UKT relevan atau tidak,” ujar Aldino. 

Rahmat Wahab, rektor pada saat sistem UKT pertama diterapkan, menjelaskan bahwa UKT bukan hanya permasalahan mahasiswa saja tetapi juga merupakan permasalahan rektorat karena kampus tidak diberikan kebebasan dan mengalami tekanan karena kebingungan saat menarik biaya dari mahasiswa. 

Aldino menambahkan bahwa pemberitaan internal LPM Ekspresi mengungkap ada 97% mahasiswa UNY pengisi angket yang keberatan membayar biaya UKT. Berita tersebut dirilis berbarengan dengan pemberitaan tentang Riska, Mahasiswi UNY yang berjuang membiayai kuliahnya hingga meninggal dunia akibat hipertensi.

Panji, penulis buku ‘Kuliah kok Mahal’ menjelaskan bahwa UKT merupakan bentuk tunggal dari biaya kuliah yang ditarik oleh kampus di setiap kegiatan yang berjalan. “Karena dulu bayarnya terpisah-pisah makanya dijadikan satu sebagai UKT,” ujar Panji.

Panji turut menyoroti Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) bahwa pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi diselenggarakan secara cuma-cuma melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap. Adanya frasa pendidikan tinggi yang diselenggarakan secaracuma-cuma melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap, mengartikan bahwa seharusnya pemerintah telah memiliki program tahunan yang secara bertahap akan membawa pendidikan tinggi ke tahap pendidikan gratis. 

“Seharusnya sudah dibuat timeline kegiatan pemerintah (mengenai pembiayaan gratis pendidikan tinggi) 2025-2030, 2030-2035, 2035-2040, hingga masa emas Indonesia 2040-2045,” ujar Panji.

Dalam wawancaranya dengan Mahkamah, Aldino mengemukakan bahwa ada suatu metode yang disebut sebagai Citizen Lawsuit (CLS). Metode tersebut merupakan alternatif pengajuan gugatan dengan menggugat pemerintah agar melaksanakan kebijakan sistem pendidikan gratis sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.  

Reporter: Muhammad Yahya, Ahwa Tajiro, Muhammad Annas

Penulis: Muhammad Annas

Penyunting: Putri Pertiwi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *