Quarter life crisis merupakan suatu terminologi yang banyak diketahui oleh para pemuda, bahkan tidak sedikit yang sedang mengalami fase ini. Atwood dan Scholtz mengatakan bahwa quarter life crisis merupakan sebuah fase perkembangan psikologis yang ada di usia 18-29 tahun yang dapat dikatakan juga sebagai masa transisi antara fase remaja ke fase dewasa. Quarter life crisis dapat didefinisikan sebagai suatu respon terhadap ketidakpastian yang muncul karena adanya tantangan realitas yang jauh dari impian.
Sama seperti remaja yang mengalami fase quarter life crisis. dua puluh lima tahun pasca reformasi 1998, Indonesia mengalami kondisi yang sama karena hukum, konstitusi, dan keadilan Indonesia di masa sekarang mengalami tantangan karena keadaannya yang jauh dari harapan
reformasi. Indikasi tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Pertama, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Penerapan pasal tersebut merupakan antitesis dari negara yang mendasarkan dirinya pada kekuasaan (machstaat) dimana kehidupan bernegara itu diatur dan
ditegakkan sebagaimana keinginan penguasa, perkembangannya negara yang mendasarkan pada kekuasaan cenderung abusif dan sewenang-wenang sehingga harus ada pembatasan pada kekuasaan tersebut. Teori supreme of law mendalilkan bahwa kekuasaan harus dibatasi dan pembatasnya itu adalah hukum, seluruh tingkah laku penguasa tidaklah boleh sewenang-wenang dan harus sesuai dengan hukum. Namun demikian kondisi hukum saat ini jauh dari harapan, hukum saat ini diotak-atik sedemikian rupa untuk mempertahankan kekuasaan.
Kedua, reformasi menghasilkan perubahan sistem pemerintahan Indonesia melalui amandemen UUD 1945 yang sebelumnya berbentuk parlementer dimana ada lembaga negara tertinggi diubah menjadi sistem presidensial. Keinginan mengubah sistem pemerintahan menjadi berbentuk presidensial adalah untuk mengadakan kembali check and balances antara lembaga negara (secara khusus lembaga parlemen dengan lembaga eksekutif) yang pada masa orde baru hilang. Namun begitu, kondisi parlemen saat ini dipaksa untuk tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dengan cara menggemukkan koalisi yang dijalankan dengan bagi-bagi kursi kekuasaan atau jabatan strategis lainnya. Anggapan para anggota parlemen bahwa dirinya merupakan bagian dari pemerintah membuat mereka tidak bisa lagi menjalankan fungsi pengawasan dengan baik dan hanya mengikuti keinginan penguasa.
Dua indikasi di atas saja sudah cukup merefleksikan bahwa kita sedang mengalami fase quarter law crisis karena arah demokrasi, hukum, dan keadilan yang menjadi semangat reformasi di Indonesia mendapatkan tantangan besar. Hal tersebut haruslah dilawan hal ini dikarenakan diotak-atiknya hukum demi kepentingan penguasa dan pengkooptasian lembaga parlemen menjadi karpet merah bagi politik dinasti dimana penguasa bisa berkehendak sesukanya karena hukum yang memperbolehkan demikian.
Tentu saja perjuangan dan perlawanan dalam menghadapi fase quarter life crisis maupun quarter law crisis tidaklah mudah. Dalam fase tersebut ada sebagian pemuda yang senang bahkan antusias dalam menghadapi tantangan dengan mempersiapkan diri karena apa yang dialami akan menjadi pengalaman baru untuk dilalui bagi individu, namun begitu tidak sedikit juga pemuda yang merasakan kecemasan, kesepian, hingga menghukum diri karena merasa tidak mampu melewati fase ini. Namun begitu, sejatinya bagi kita para pemuda yang telah memiliki privilege untuk mengenyam pendidikan dan memiliki kemudahan akses haruslah menyadari bahwa fase quarter law crisis ini tidak hanya tentang memperdulikan diri sendiri, tapi tentang perduli terhadap orang lain yang tidak memiliki kemudahan seperti kita dalam mengakses pendidikan. Memahami tantangan, mencari jalan keluar, dan berkolaborasi mencapai jalan keluar tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus diemban oleh pemuda dan mahasiswa, seperti yang pernah diungkapkan oleh Soe Hok Gie “Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi”.
Penulis: Muhammad Hilman Al Hanif