web analytics
LITTLE WOMAN (2019): EVERY WOMAN’S DREAM IS VALID

LITTLE WOMAN (2019): EVERY WOMAN’S DREAM IS VALID

Perempuan, dalam mencapai cita-cita yang sesuai dengan pilihan hidup mereka, masing-masing memiliki perjuangannya, apalagi di tengah kondisi masyarakat patriarkis. 

Selalu saja ada tuntutan mengenai bagaimana perempuan harus bersikap. Perempuan seharusnya menikah. Perempuan seharusnya menjadi ibu rumah tangga. Perempuan tidak boleh menolak laki-laki yang telah melamarnya. Perempuan harus begini, perempuan tidak boleh begitu.

Ah, sudahlah! Terlalu banyak ekspektasi oleh masyarakat yang dibebankan kepada perempuan. Mungkin akan memerlukan satu buku penuh untuk menuliskan semuanya.

Well, begitu pula dengan yang dialami oleh keempat bersaudara March, yaitu Meg, Jo, Beth, dan Amy, dalam Little Women. Disutradarai oleh Greta Gerwig, film Little Women yang dirilis pada tahun 2019 ini merupakan adaptasi dari novel klasik dengan judul yang sama karya Louisa May Alcott. Film ini bukanlah adaptasi pertama dari novel tersebut, tetapi Gerwig berhasil memberikan kesan yang berbeda dari film-film sebelumnya. Ia menyajikan film tersebut dengan alur maju mundur sehingga memberi kesan penasaran bagi para penonton, terutama mereka yang belum pernah membaca novelnya atau menonton film-film adaptasi yang lain.

Cerita mengenai gadis-gadis March tersebut berlatar di Massachusetts pada abad ke-19. Mereka hidup dalam kesederhanaan, tetapi saling mengasihi satu sama lain, bersama ibu mereka, Marmee, dan Hannah, seorang pelayan yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga. Sementara itu, sang ayah berada di medan perang.

Di era tersebut, sistem masyarakat yang patriarkis membuat perempuan sulit untuk menghasilkan uang sendiri. Maka dari itu, gadis-gadis March seolah dituntut oleh stigma tersebut untuk menikahi pria kaya raya demi mengentaskan diri dari kemiskinan.

Namun, para gadis March pun masing-masing memiliki keinginannya sendiri. Meg ahli dalam teater dan menyukai romansa. Jo bergelut di sastra. Beth yang lihai memainkan piano. Amy dan impiannya menjadi pelukis hebat. Gerwig juga menyorot hubungan persaudaraan mereka yang hangat di tengah perjuangan mereka dalam mencapai cita-cita, hingga film ini kerap dijadikan sebagai comfort movie bagi peminatnya.

Selain keluarga March, tokoh lain yang juga berperan penting adalah Laurie, cucu dari Mr. Laurence, seorang bangsawan yang tinggal di dekat rumah keluarga March. Ia adalah seorang anak laki-laki dengan karakter yang penuh semangat, tetapi juga bandel. Jo pertama kali mengenalnya ketika bertemu di sebuah pesta dansa. Mereka berdua menjadi akrab dengan cepat karena memiliki kemiripan dan energi keduanya cocok satu sama lain.

Keakraban itu kelak berujung pada Laurie yang memiliki ketertarikan terhadap Jo secara romantis. Laki-laki itu memutuskan untuk melamarnya. Lamaran Laurie, yang dibalas dengan penolakan oleh Jo, menjadi salah satu scene yang paling disorot dalam cerita oleh para penonton, berkat bakat para pemainnya dalam akting hingga mampu membuat para penonton ikut menjadi emosional. Sebagian penonton berpendapat bahwa penolakan itu sudah tepat karena hubungan Jo dan Laurie lebih cocok sebagai saudara, sedangkan sebagian penonton lain mengharapkan keduanya berakhir dalam hubungan romantis.

Namun, resensi ini tidak ditulis untuk membahas konflik antara Laurie dan Jo atau mendebatkan siapa yang paling bersalah di antara keduanya. Tulisan ini dibuat untuk menunjukkan bagaimana para gadis March, yang berasal dari kelas sosial menengah, memperjuangkan pilihan hidup mereka di tengah kondisi masyarakat patriarkis.

 

Jo dan Kebebasan yang Didambakannya

Terlahir dengan nama Josephine, putri kedua dalam keluarga March lebih menyukai panggilan singkat ‘Jo’. Jo digambarkan sebagai perempuan yang paling menonjolkan sisi tomboynya di antara para saudaranya. Ia memiliki ambisi besar untuk menjadi seorang penulis.

Jo March adalah seorang perempuan dengan sifat mandiri. Ia bekerja menjadi companion untuk Aunt March, saudara dari ayahnya. Jo dan bibinya tidak terlihat menyukai satu sama lain. Aunt March selalu menekankan kepada Jo bahwa perempuan tidak mungkin dapat meraih kesuksesan sendiri, apalagi jika terlahir di keluarga miskin. Untuk keluar dari kemiskinan tersebut, mereka harus menikahi laki-laki yang kaya raya. Itu adalah satu-satunya cara untuk mereka. Atau jika tidak ingin menikah, maka perempuan harus sudah kaya raya sendiri, seperti dirinya. Itu pendapat Aunt March, yang meskipun dia juga seorang perempuan dan tidak menikah, tetapi justru turut mengamini stigma mengenai perempuan.

Jo tidak berpikiran demikian. Ia menginginkan kebebasan. Maka dari itu, Jo tidak rela untuk menukarnya dengan pernikahan. Ia mendambakan kehidupan yang independen, tanpa harus mengharap bantuan dari suami yang berasal kelas sosial tinggi. 

Jo tetap berpegang teguh pada pendiriannya, termasuk ketika Laurie melamar. Keduanya berdebat satu sama lain. Mati-matian, Laurie memberi tahu Jo bahwa ia benar-benar mencintai perempuan itu. “I’ve loved you ever since I’ve known you, Jo. I couldn’t help it. And I tried to show you and you wouldn’t let me, which is fine but I must make you here now and give me an answer because I cannot go on like this any longer.” 

Jo, yang juga tak mau kalah dalam berdebat, meyakinkan Laurie bahwa mereka berdua tidak akan pernah cocok untuk satu sama lain dalam pernikahan. Mereka akan sering bertengkar. Jo membenci elegant society, sedangkan Laurie jelas berada di kelas sosial di atasnya. Selain itu, Jo juga sangat mencintai kebebasannya. Perempuan itu berpikiran tidak akan pernah menikah. Jo menganggap pernikahan hanya akan merenggut kebebasannya. “I don’t believe I will ever marry. I’m happy as I am. And I love my liberty too well to be in any hurry to give it up.

Setelah itu, Jo pergi ke New York untuk mewujudkan impiannya menjadi penulis. Ia juga bekerja menjadi pengajar untuk menafkahi keluarganya. Jo di New York juga bertemu dengan Friedrich Bhaer, seorang profesor bahasa dan imigran dari Jerman, yang kelak akan memiliki peran penting juga bagi Jo.

Mendekati akhir cerita, Jo semakin sering mengalami konflik batin. Apalagi pasca kematian Beth, dia kembali menetap di rumah dan menjadi kesepian. Ia mulai bimbang mengenai keinginannya untuk tidak menikah karena menyadari bahwa ia mulai menginginkan seorang pasangan untuk menemaninya.

Women, they have minds, and they have souls, as well as just hearts. And they’ve got ambition, and they’ve got talent, as well as just beauty. I’m so sick of people saying that love is just all a woman is fit for. But I’m so lonely.” 

Berdasarkan percakapannya dengan sang ibu, dapat disimpulkan bahwa bukan pernikahan yang menjadi masalah bagi Jo, melainkan stigma mengenai perempuan. Jo hanya tidak ingin kehilangan kebebasan untuk mengejar mimpi-mimpinya setelah ia menikah.

Di tengah kebimbangannya, Jo sempat mempertimbangkan kembali keputusannya yang telah menolak Laurie. Ia bahkan menulis surat untuk Laurie dan meletakkannya di kotak pos. Akan tetapi, surat itu ia ambil kembali sebelum sang penerima membacanya. Hal itu karena Laurie ternyata telah menikah dengan Amy. Jo terkejut ketika mengetahui fakta tersebut, tetapi ia tidak marah kepada keduanya. “Life is too short to be angry at one’s sisters.”

Cara Jo mengatasi emosinya merupakan sebuah character development. Jo di usia muda selalu menyerang Amy jika ia marah kepadanya, tetapi setelah dewasa, ia dapat bersikap lebih tenang. Selain itu, kemungkinan perempuan itu memang tidak menginginkan Laurie. Alasan mengapa Laurie kembali terlintas di pikirannya adalah karena ia merasa kesepian dan bimbang.

Jo kala itu tidak mengharapkan apapun dari Friedrich Bhaer. Sebelum meninggalkan New York, ia sempat terlibat perdebatan dengan profesor itu. Lebih tepatnya, Jo tersinggung atas kritik mengenai tulisannya oleh Mr. Bhaer hingga emosi perempuan itu meledak-ledak. Jo menyadari ia telah merusak hubungan mereka.

Namun, kemudian, Friedrich Bhaer datang ke kediaman March. Keberadaannya diterima dengan baik oleh seluruh anggota keluarga. Tidak seperti Laurie yang dahulu cenderung ‘memaksakan’ keinginannya untuk menikahi Jo, Mr. Bhaer bersikap jauh lebih tenang. Ia membiarkan Jo untuk memutuskan pilihannya sendiri. Pada akhirnya, Jo menikah dengan profesor dari Jerman itu.

Setelah menikah, Jo tidak begitu saja melepas impiannya untuk berkarir sebagai penulis. Ia berhasil menerbitkan novelnya yang berjudul ‘Little Women’. Novel itu bercerita kehidupannya sendiri serta saudara-saudaranya. Jo juga membuka sekolah bagi anak-anak di rumah yang diperolehnya dari warisan oleh Aunt March yang telah meninggal.

Meski terdapat penonton yang menganggap keputusan Jo untuk menikah membuatnya menjadi inkonsisten, tetapi Jo sebenarnya berhasil menunjukkan bahwa setelah menikah pun ia tak kehilangan kebebasan untuk mencapai impiannya. Dari pernikahannya dengan Mr. Bhaer, dapat terlihat bahwa perempuan pun bisa mewujudkan cita-citanya setelah menikah. 

Namun, terdapat satu bagian yang kontras dengan kebebasan yang Jo inginkan, yaitu ketika Jo memutuskan untuk mengubah ending novelnya demi menuruti pasar sehingga ia bisa mendapatkan uang. Pada awalnya, Jo menginginkan sang karakter utama untuk tidak menikah dengan siapapun hingga akhir cerita. Akan tetapi, editornya mengkritik bahwa novel tersebut tidak akan laku di pasaran jika karakter utamanya berakhir melajang. Jo akhirnya mengalah karena dia memang membutuhkan uang.

I suppose marriage has always been an economic proposition. Even in fiction.” Jo berkata miris, sebelum menyetujui untuk mengubah akhir cerita novelnya. 

 

Meg, Sang Sulung yang Feminim

Meg digambarkan sebagai perempuan dengan penampilan paling ayu di antara gadis-gadis March. Ia menyukai hal-hal yang romantis dan mewah. Menurut Jo, Meg berbakat dalam bidang akting, tetapi sang sulung itu tidak menginginkan berkarir. Diam-diam, Meg ingin menikahi laki-laki kaya raya karena sudah muak dengan kemiskinan. 

Namun, saat dewasa, Meg melepaskan keinginannya tersebut. Alih-alih menikahi pria kaya raya, Meg menikah dengan John Brooke, seorang tutor bahasa yang mengajar Laurie. Aunt March jelas tidak menyukai keputusannya itu. Pada hari pernikahan, ia mengatakan bahwa Meg telah menghancurkan hidupnya dengan menikahi laki-laki miskin, sama seperti yang dilakukan oleh Marmee ketika menikahi ayahnya. Meg hanya menanggapinya dengan candaan. 

Perempuan itu sadar bahwa ia berhak menentukan pilihannya. Bagi orang lain, keputusan Meg bisa jadi tidak menguntungkan secara finansial. Akan tetapi, Meg tidak lagi menjadikan pernikahannya sebagai sebuah strategi ekonomi. Meg memilih menikah dengan laki-laki yang diinginkannya dan ia pun mengetahui konsekuensi atas pilihannya.

Just because my dream is different from yours, doesn’t mean they’re unimportant. I want  a home and a family and I’m willing to work and struggle, but I want to do it with John.” 

Kalimat tersebut diucapkan oleh Meg kepada Jo yang juga menyayangkan keputusan Meg karena ia tidak ingin ditinggalkan oleh kakak sulunya. Ia berharap Meg tidak menikah sama sekali. Jo berusaha mencoba membujuk Meg untuk membatalkan pernikahannya. Pernikahan akan membosankan untuk Meg dan ia harus mengejar karirnya menjadi seorang artis.

Meg sama sekali tidak marah kepada adiknya, meski pilihannya telah dianggap remeh. Dengan sabar, Meg memberi pengertian bahwa ia sepenuhnya bahagia dengan keputusannya. Pernikahan dengan John Brooke dan menjadi seorang ibu rumah tangga adalah murni keinginannya sendiri.

Dari pernikahannya, Meg memiliki sepasang anak kembar yang diberi nama Daisy dan Demi. Ia sempat mengalami kesulitan dalam rumah tangganya, terutama secara ekonomi, bahkan hingga berdebat dengan suaminya dan menimbulkan kesalahpahaman hanya karena sebuah gaun. Akan tetapi, di luar itu semua, Meg bahagia dengan keputusannya. Meg membuktikan bahwa ia, seorang perempuan, berhak memiliki pilihan hidupnya sendiri dan membuat keputusan berdasarkan apa yang ia inginkan.

 

Amy yang Artistik dan ‘Realistis’

Amy March digambarkan sebagai putri bungsu yang percaya diri. Ia tidak pernah malu-malu untuk mengatakan cita-citanya untuk pergi ke Paris dan menjadi seorang pelukis terkenal. Ketika masih muda, dia sering bertengkar dengan Jo, baik hanya perdebatan sehari-hari ala saudara, maupun pertengkaran yang serius. Amy pernah membakar tulisan Jo sebagai bentuk balas dendam karena ia tidak diperbolehkan untuk ikut serta menonton teater. Atas sikap kekanak-kanakannya, banyak yang membenci karakter Amy. Akan tetapi, di film adaptasi ini, Gerwig berhasil menunjukkan lebih banyak dari sudut pandang Amy.

Setelah menjadi dewasa, karakternya yang kekanak-kanakan pun tidak banyak ditonjolkan. Amy di masa dewasa adalah seorang perempuan yang ambisius. Ia mengetahui apa yang ia inginkan dan apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkannya. Tidak seperti Jo yang memberontak atau Meg yang memilih keinginannya sendiri, Amy cenderung ‘memanfaatkan’ sistem yang telah dibentuk masyarakat. Amy berusaha membuat dirinya menjadi cocok dengan lingkungan masyarakat kelas atas.

Amy ikut serta dengan bibinya dalam perjalanan ke Eropa. Di Paris, ia belajar menjadi seorang pelukis yang hebat. Aunt March menggadang-gadangkan si bungsu itu sebagai pencari nafkah untuk keluarga March. Artinya adalah Amy harus menikah dengan seorang laki-laki kaya raya, sesuai dengan pendapat Aunt March bahwa perempuan hanya bisa mengentaskan diri dari garis kemiskinan dengan cara tersebut. Selama di Eropa, Amy menjadi dekat dengan Fred Vaughn. Amy menuruti perkataan Aunt March, menjadikan pernikahan sebagai sebuah strategi ekonomi.

Namun, rencana yang telah disusun serapi mungkin itu menjadi gagal ketika ia bertemu Laurie. Laki-laki itu berkata bahwa terasa aneh bagi dia untuk mengetahui seorang putri March melakukan pernikahan demi mendapatkan kehidupan finansial yang baik.

Ah, Laurie. Ia laki-laki, ditambah dari kelas sosial atas, jelas merupakan pihak yang selalu diuntungkan. Mana mungkin Laurie memahami kesulitan Amy sebagai seorang perempuan dari keluarga menengah?

  Well, I’m not a poet, I’m just a woman. And as a woman, I have no way to make money, not enough to earn a living and support my family. Even if I had my own money, which I don’t, it would belong to my husband the minute we were married. If we had children, they would belong to him, not me. They would be his property. So don’t sit there and tell me that marriage isn’t an economic proposition, because it is. It may not be for you, but it most certainly is for me.”

Dialog tersebut menunjukkan bahwa Amy pun juga merupakan perempuan yang menjadi korban dari sistem masyarakat yang patriarkis.

Amy juga memberi tahun Laurie bahwa ia memutuskan untuk tidak meneruskan impiannya menjadi pelukis karena merasa tidak berbakat. “Talent isn’t genius, and no amount of energy can make it so. I want to be great, or nothing. I won’t be a common-place dauber, so I don’t intend to try anymore.

Di pertemuan selanjutnya, Laurie dengan tiba-tiba memohon kepada Amy supaya tidak menikah dengan Fred Vaughn. Amy dibuat kesal oleh sikap Laurie yang semena-mena. Mungkin terdapat penonton yang tidak menyadari hal ini, tetapi sebenarnya, Amy telah memendam perasaan Laurie sejak lama, bahkan ketika ia tahu bahwa Laurie hanya menginginkan Jo sebelumnya. Amy mengabaikan perasaannya terhadap Laurie dan mengejar cita-cita di Paris. Akan tetapi, saat rencana Amy sedang berjalan, Laurie justru membuatnya bimbang.

Ketika Fred Vaughn melamar, Amy akhirnya memutuskan untuk menolak. Ia menyadari bahwa ia memang tidak pernah mencintai laki-laki itu. Tentu saja sebenarnya hal itu tidak harus dia lakukan jika hanya demi mengikuti kritik dari Laurie yang semena-mena, tetapi toh keputusan Amy itu memang didasari oleh keinginannya. Ia juga berkata kepada Laurie bahwa ia tidak mengharapkan apapun darinya. Keputusan Amy murni ia lakukan karena perempuan itu tidak menginginkan pernikahan dengannya.

Pada akhir cerita, Amy menikah dengan Laurie. Bukan karena Amy berusaha mendapatkan harta Laurie, tetapi karena mereka berdua sama-sama menginginkan satu sama lain.

 

Beth, Musisi yang Pendiam

Beth, putri ketiga, adalah seorang yang pendiam dan pemalu. Ia berbakat dalam memainkan piano. Akan tetapi, tidak seperti gadis-gadis March yang lain, Beth tidak pernah berkeinginan untuk menjadi seorang musisi yang terkenal. Beth lebih suka tinggal di rumah. Satu-satunya yang dia inginkan adalah berkumpul dengan keluarganya. 

Beth merupakan sosok yang manis. Meski ia sendiri tidak punya ambisi, Beth selalu mendukung impian para saudaranya. Saat para gadis March yang lain mengeluh mengenai kemiskinan, Beth adalah satu-satunya yang bersyukur atas ayah dan ibu yang mereka punya. Beth juga berperan sebagai seorang saudara yang selalu tenang. 

Keahlian Beth dalam memainkan piano menarik perhatian Mr. Laurence. Sosok Beth mengingatkan laki-laki tua itu terhadap mendiang anak perempuannya yang berbakat bermain piano semasa hidupnya. Mr. Laurence kemudian menghadiahkannya sebuah piano hingga Beth sangat berterima kasih kepadanya.

Beth juga mewarisi sifat dermawan yang diturunkan dari ibunya. Marmee mengajarkan para putrinya untuk selalu membantu orang lain yang kesusahan, termasuk keluarga Hummel yang tinggal tak jauh dari kediaman March. Ketika Marmee tidak di rumah, hanya Beth satu-satunya yang terus memberikan bantuan kepada keluarga Hummel karena para saudaranya sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Sayangnya, Beth kemudian terjangkit demam Scarlet karena tertular oleh salah satu anak dari keluarga Hummel. Kesehatan Beth mulai memburuk. Beth hanya bisa terbaring di kasur untuk beberapa lama. Meski sempat sembuh dari demamnya, kondisi jantung Beth kemudian melemah kembali.

Semakin hari, Beth juga merasa bahwa kematiannya kian mendekat. Hal itu ia sampaikan kepada Jo ketika kakaknya pulang dari New York. Beth memohon kepada Jo supaya terus menulis saat ia pergi meninggalkannya nanti. Beth mengatakan hal itu tanpa rasa sedih atau marah sedikitpun, melainkan ia sepenuhnya siap menerima kematiannya.

Kematian Beth merupakan sebuah peristiwa yang memilukan. Jo yang memutuskan tinggal di rumah merasa kesepian tanpa Beth. Rumah tempat kediaman keluarga March menjadi terasa berbeda setelah ia pergi. Hal itu dirasakan oleh Mr. Laurence yang turut berduka.

Amy pulang kembali ke rumah setelah mendengar kabar mengenai kepergian saudaranya. “Beth was the best of us,” ucap Amy dengan sedih kepada Laurie. Kalimat itu, meskipun singkat, sukses menggambarkan bagaimana mengagumkan sosok Beth bagi saudaranya.

Banyak yang mengaitkan karakter Beth dengan the angel in the house, merujuk pada puisi karya Coventry Patmore yang juga lahir di abad ke-19, era yang sama dengan ketika Alcott menerbitkan novel Little Women. Puisi tersebut pada dasarnya menceritakan mengenai sosok ibu rumah tangga yang ‘ideal’, yakni mereka yang mengabdi terhadap suami, menyediakan kebutuhan rumah tangga, dan tidak punya pendapat atau kebutuhan untuk diri mereka sendiri. Meski puisi tersebut pun menuai kritik karena lahir dari konstruksi patriarki. Tokoh Beth sendiri di film tidak pernah mengungkapkan keinginan apapun, termasuk pernikahan.

Meskipun Little Women berlatar waktu pada abad ke-19, tidak dipungkiri bahwa pada titik tertentu, masyarakat hari ini pun masih bersifat patriarkis.

Resensi ini ditulis dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa perempuan pun bisa memiliki cita-cita sesuai dengan pilihan mereka, sama dengan para gadis March. Perempuan boleh menginginkan pernikahan. Perempuan boleh mengejar karir. Perempuan juga boleh melakukan keduanya.

Apapun itu, selama hal tersebut memang mereka inginkan, perempuan bisa menentukan pilihan hidupnya. Perempuan mempunyai hak untuk membuat keputusan dan bertanggung jawab terhadap pilihan hidup mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak seharusnya stigma yang ada dalam masyarakat patriarkis membatasi dan bahkan membunuh cita-cita para perempuan.

 

Penulis: Wening

Penyunting: Hestina

Leave a Reply

Your email address will not be published.