Diundangkannya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi (Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang SSBOPT) pada 19 Januari 2024 yang lalu ternyata menciptakan gejolak di tengah masyarakat Indonesia, khususnya pada pelajar maupun mahasiswa. Melonjaknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) secara drastis menjadi penyebab utamanya. Peristiwa tersebut menjadi pemicu munculnya gelombang perlawanan dari berbagai elemen masyarakat yang pada akhirnya memaksa Mendikburistek Nadiem Makarim mengeluarkan pernyataan mengenai pembatalan kenaikan UKT dan IPI pada tahun akademik 2024/2025.
“Kami kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT di tahun ini,” ujar Nadiem usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Senin, 27 Mei 2024.
Pernyataan tersebut juga ditindaklanjuti dengan adanya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Nomor 0511/E/PR.07.04/2024. Akan tetapi, drama kenaikan UKT dan IPI ternyata belum mencapai kata paripurna. Hal ini berkaca dari Surat Edaran tersebut hanya membatalkan kenaikan UKT dan IPI pada tahun akademik 2024/2025. Timbul kekhawatiran baru berupa kenaikan UKT dan IPI yang akan terjadi di tahun-tahun setelahnya. Kekhawatiran tersebut semakin nyata dirasa dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menjelaskan bahwa naiknya UKT di tahun depan masih memungkinkan.
Oleh karena ancaman kenaikan UKT dan IPI masih bernafas dengan leluasa, akhirnya empat orang Mahasiswa FH UGM terdorong untuk segera mengambil langkah pencegahan. Langkah tersebut diwujudkan dengan mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil Permendikbud 2/2024 tentang SSBOPT ke Mahkamah Agung (MA). Keempat mahasiswa tersebut adalah Al Syifa Rachman, Adam Surya Ananta, M. Machshush Bil ‘Izzi, dan Fitria Amesti Wulandari.
Keempat mahasiswa tersebut dalam pernyataan pers yang digelar pada 6 Juni 2024 lalu, mengharapkan agar MA menyatakan Pasal 4 huruf b, Pasal 5 ayat (3) Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 tentang tentang SSBOPT pada PTN di Lingkungan Kemendikbud bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, dengan adanya pengajuan banding tersebut, keempat mahasiswa tersebut berharap agar MA berkenan untuk memerintahkan Kemendikbud agar mencabut atau sekurang-kurangnya merevisi Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2024 tentang SSBOPT tersebut.
Salah satu dari keempat mahasiswa yang telah disebutkan, yakni Al Syifa Rachman atau yang kerap disapa Al menjelaskan bahwa banyaknya mahasiswa baru yang merasa kesulitan atas biaya kuliah adalah alasannya beserta ketiga rekannya mengajukan uji materiil Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 ke MA. selain itu, Al juga menerangkan bahwa keluarga kelas menengah juga akan terdampak dengan adanya kenaikan UKT dan IPI tersebut.
“Kami melihat berita-berita dari teman-teman media bahwa ternyata masih banyak mahasiswa baru yang merasa kesulitan terkendala (biaya) kuliah, kami juga sedang mengawal isu biaya pendidikan tinggi sehingga kami mengetahui adanya laporan terkait mahasiswa baru yang terkendala,” ucap Al.
“Kami juga berasal dari keluarga menengah, sehingga kami juga memikirkan bagaimana nasib keluarga menengah jika mereka mau berkuliah,” tegas Al.
Masuk lebih dalam ke pembahasan, Al turut menyoroti penerapan UKT dewasa ini yang tidak lagi mempertimbangkan unsur ekonomi mahasiswa atau pihak yang membiayainya. Menurutnya, hal tersebut akan sangat berpengaruh dalam penentuan UKT bagi mahasiswa. Lebih lanjut, Al juga mengkritisi terkait dasar penetapan IPI yang menurutnya bertentangan dengan UU Dikti
“Teruntuk IPI juga yang batas maksimal 4 kali Biaya Kuliah Tunggal (BKT), pertanyaan saya adalah apa dasarnya? Dengan adanya hal itu, akhirnya universitas akan mematok IPI mendekati maksimal, sehingga tidak sejalan dengan asas keterjangkauan sebagaimana diatur dalam UU Dikti,” ujar Al.
Kemudian, Al menjelaskan bahwa ia dan ketiga rekannya sudah memenuhi syarat syarat formil pengajuan uji materiil ke MA dengan menyiapkan beberapa berkas, seperti Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024, Surat Keterangan (SK) rektor dari beberapa universitas yang mengalami lonjakan UKT maupun IPI, artikel yang membahas kesulitan mahasiswa baru yang mengalami kesulitan, serta data terkait pengajuan keringan mahasiswa yang banyak ditolak. Al mewakili ketiga rekannya berharap pengajuan uji materiil tersebut segera diproses oleh majelis hakim demi kepastian hukum serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Selain itu, Al juga mengaku keikutsertaannya dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) turut menjadi faktor pemicu dalam pengajuan uji materiil Permendikbud ke MA. Al menilai bahwa Isu biaya pendidikan adalah isu yang melekat dengan HMI sehingga ketika terjadi kejanggalan mengenai biaya pendidikan Al dan rekan rekannya dapat cepat mengambil langkah yang tepat untuk mengawal isu biaya pendidikan tersebut.
“Tentu setiap masyarakat berperan dalam pengawalan isu (pendidikan) ini, tapi kami mencari langkah yang belum dilakukan dan bisa kami lakukan, yaitu dengan uji materiil ke MA,” jelas Al.
Terakhir, Al juga membeberkan langkah yang akan ditempuh bersama rekan-rekan HMI-nya. Al mengaku pihaknya akan mencoba segala cara yang dapat dilakukan, seperti memantau perkembangan terhadap permohonan yang diajukan ke MA serta melakukan pengawalan media sosial dalam bentuk tulisan maupun propaganda.
“Sebab isu (naiknya biaya pendidikan) ini adalah isu yang penting, semua masyarakat saya yakin sepakat bahwa biaya pendidikan jangan tinggi-tinggi,” tegas Al.
Author: Muhammad Annas Nabil Fauzan, Radea Basukarna Prawira Yudha
Reporter: Fitria Amesti, Yusuf Aryotedjo
Editor: Putri Pertiwi