web analytics
LELAKI, MISOGINI, DAN HEGEMONINYA DI MASYARAKAT
Sumber: Hana Ju (Behace)

LELAKI, MISOGINI, DAN HEGEMONINYA DI MASYARAKAT

Media sosial dapat menjelma menjadi tempat paling menyeramkan bagi setiap wanita. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, media sosial dapat berubah menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi memberi ruang bagi perempuan untuk berbagi pengalaman, menyuarakan ketidakadilan, dan menemukan dukungan di dalam komunitas yang jauh lebih luas, sedangkan di sisi lain, media sosial juga menjelma menjadi kerak neraka karena diisi oleh iblis-iblis tanpa nurani yang dengan mudah menyebarkan misoginistik secara agresif dan masif.

Misogini, yang berasal dari bahasa Yunani, merupakan bentukan dari kata miso yang berarti benci dan gyne yang berarti perempuan. Misogini merupakan sebuah konsep dan gagasan kebencian serta teknik terapan, yang di dalam masyarakat seksis dan bervisi laki-laki, ditujukan untuk menempatkan perempuan tepat di bawah telapak laki-laki. Perempuan tidak dapat bergerak bebas, tidak memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri, dan dianggap sebagai biang atas segala permasalahan yang terjadi di dunia.

Dalam masyarakat yang bervisi laki-laki, penyebaran misogini melalui platform-platform media sosial semakin terlihat mengerikan. Warganet–yang sayangnya dalam kasus ini didominasi oleh laki-laki dan masyarakat misoginistik–secara telanjang dan terang-terangan menggerakkan jari mereka di atas papan tik gawai atau komputernya hanya untuk menyebarkan kebencian dan menjadikan perempuan sebagai kambing hitam atas segala permasalahan yang mungkin juga terjadi akibat ulah laki-laki sendiri.

Sebagai contoh, di tengah maraknya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, perendahan terhadap korban justru menjadi ekspresi yang paling ditonjolkan oleh publik. Seolah-olah, apabila lelaki membelalakkan mata mereka sambil mendenguskan napas penuh syahwat, perempuan dan tubuh-tubuhnyalah yang harus dipersalahkan dan wajib dimintai pertanggungjawaban. Bila mereka–para lelaki yang tak mampu menjaga kemurnian syahwatnya–sampai memperkosa, perempuan dan pakaiannyalah yang lagi-lagi harus disalahkan. Apabila seorang lelaki yang telah beranak dan beristri suatu hari menelantarkan keluarganya sampai mati kelaparan, perempuan lagi yang salah karena tidak memiliki kecakapan untuk mempertahankan kehidupannya.

Lebih jauh, dalam kasus perselingkuhan, pihak wanita sering menjadi samsak kemarahan dan kebencian para pengguna social media. Istilah pelakor digunakan untuk mempersenjatai ketidaksukaan mereka terhadap pihak perempuan sehingga dapat dengan mudah menyudutkan, melampiaskan dendam, dan mendudukkan perempuan sebagai satu-satunya pihak yang bersalah di dalam hubungan romantis yang telah terjalin. Laki-laki diibaratkan sebagai benda mati yang tidak dapat melakukan apa pun, sedangkan perempuan yang diajak berselingkuh adalah perampok yang bertanggung jawab penuh atas hilangnya benda mati tersebut. Dalam kasus lain, tidak jarang pula wanita yang berstatus sebagai istri sah juga turut dipersalahkan atas tindakan immoral dan brengsek pasanganya. Dia dituding tidak mampu membahagiakan lelaki peselingkuh, tidak pandai merawat diri sampai akhirnya laki-lakinya bosan, dan sekelumit pembenaran lain yang sayangnya dilanggengkan oleh masyarakat kita.

Dalam masyarakat yang cenderung misogini, perempuan merupakan pusat dari segala permasalahan. Perempuan tidak pernah dipandang benar dan berharga, seolah-olah kedudukannya di dunia hanyalah berfungsi sebagai kanca wingking semata yang harkat dan martabatnya diukur dari ada atau tidaknya selaput dara. Perempuan dijadikan sebagai bahan objektivikasi dan pemuas imajinasi liar nan tak rasional yang berkembang biak di kepala lelaki. Tubuh perempuan harus begini, warnanya harus seperti ini, dan bentuknya tidak boleh kalau tidak begini. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa di dunia ini ada faktor-faktor di luar kendali manusia yang secara alami menyebabkan perempuan memiliki anatomi tubuh yang berbeda daripada perempuan pada umumnya dan itu bukan sebuah masalah.

Secara kontradiktif dan kedengaran tidak adil, laki-laki yang berkali-kali berganti pasangan, meniduri banyak perempuan, menjadi perebut bini orang, justru dianggap biasa-biasa saja dalam tatanan masyarakat misogini dan patriarki. Sifat dasar laki-laki yang memang bandel dan susah dinasihati konon menjadi pembenaran atas tindak-tanduk mereka yang juga sama tidak bermoralnya. Masyarakat membuat kotak-kotak tidak kasat mata dalam menentukan sifat manusia. Dan sayangnya, kotak-kotak yang masyarakat buat, memperpanjang garis kerentanan perempuan.

Sekarang, segala sesuatunya terdengar benar. Bahwa selama ini kita hidup di dunia di mana perempuan selalu dipandang sebagai individu yang serba kurang dan salah, sedangkan laki-laki ditempatkan sebagai manusia super sempurna dan kebal dosa. Laki-laki dapat tertawa gembira, sedangkan di bawah telapaknya ada perempuan yang meraung-raung karena dipaksa menjaga kemurnian “syahwat” mereka.

Penulis: Hestina Anggry Prasasti

Penyunting: Annas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *