Hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, aktivisme digital untuk pembebasan Palestina telah menghadapi tiga kasus penafikan. Pertama pada awal Juni lalu, dilakukan oleh sekelompok anak Sekolah Menengah Pertama yang berkelakar soal darah-dan-daging anak-anak Palestina sambil bersantap di McDonald—waralaba cepat saji yang masuk dalam daftar boikot gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi. Kemudian, disusul dua peristiwa yang terjadi berdekatan: diungkapnya isi sosial media pribadi salah satu peserta ajang Clash of Champions (CoC), yang menyiratkan pengerdilan—bahkan hinaan—terhadap upaya pembebasan Palestina serta Taehyung, anggota boyband BTS, yang mengunggah menu kentang goreng McDonald di laman Instagramnya.
Beberapa penafikan masif tersebut tentu tidak dapat dibandingkan dengan aksi-aksi ketidakpedulian kecil yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, berapa banyak orang yang masih menganggap bahwa relasi kuasa yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina merupakan sebuah perang yang adil, terlebih peperangan antara budaya Kekristenan dan Islam? Atau, berapa banyak jumlah lain yang walaupun sadar akan adanya penindasan, menolak untuk ikut serta dalam aksi Boikot, Divestasi, dan Sanksi, karena merasa insignifikan? Walau tidak dapat disandingkan, banyak dari penolakan tersebut akan berujung pada perdebatan yang sama: seberapa penting bagi kita untuk mendukung Palestina? Dan, apakah kita tidak dapat menyuarakan dukungan yang sama terhadap Israel?
Hanya Tanda dan Bahasa
Derrida, dalam Of Grammatology, menyatakan adagiumnya yang terkenal Il n’y a pas de hors-texte ‘tidak ada sesuatupun di luar teks’. Lewat ungkapannya itu, Derrida menjelaskan bagaimana realitas manusia dibentuk sepenuhnya oleh tanda (sign) dan tiada yang lain. Bagaimana dunia kita terbentuk saat ini, merupakan hasil dari hubungan resiprokal dan jalinan tanda bahasa yang tidak akan pernah usai. Tanda, bahasa, adalah seutuhnya makna yang dapat manusia terima dan sampaikan.
Hidup dalam alam tanda seharusnya memberikan pelajaran yang berharga bagi aktivisme digital: entah semasif apapun, gerakan pembebasan kolektif tidak akan sepenuhnya mencapai tujuan bila tidak terlebih dulu mengatasi masalah terminologis. Pun seruan “kita banyak, kita akan menang”, yang selama ini digaungkan oleh kolektif internasional juga tidak akan sungguh berarti apabila perjuangan masih menerjemahkan realitas melalui term seperti “kita banyak”, yang mengimplikasikan adanya jurang pemisah antara pendukung Palestina dan bukan pendukung Palestina.
Harus menjadi jelas bagi perjuangan kolektif bahwa tidak ada yang namanya pendukung Palestina, sebab setiap manusia yang memiliki budi pasti menentang aksi represif atas sesamanya. Konsekuensi dari dimaktubkannya term pendukung Palestina adalah menghadapi musuh tambahan selain rezim Zionis, yakni mereka yang merasa tidak signifikan dan cukup bertanggung jawab untuk menyerukan pembebasan: yang menyatakan diri sebagai bukan pendukung Palestina. Padahal, tidak ada yang dapat berdiri di tengah-tengah manusia berakal yang berdiri melawan penindasan dengan yang tidak memiliki akal. Mendefinisikan diri sebagai salah satunya adalah mutlak.
Mereka yang Berlindung di Balik Rasa Aman
Beberapa kelompok yang mendefinisikan diri sebagai bukan pendukung Palestina adalah mereka yang (1) tidak merasa memahami konflik dengan cukup baik dan ogah terlibat baik secara politis maupun kemanusiaan, serta (2) merasa terikat oleh warisan iman Yudaisme dari Israel.
Mengubah realitas tanda akan sangat ampuh sejauh gerilya yang dilakukan oleh aktivisme digital adalah untuk menyasar kelompok pertama. Terkhusus, dengan membentuk keyakinan bahwa tidak ada diplomasi yang adil dalam penjajahan: segala bentuk upaya untuk menjangkau rezim Zionis—seperti yang dilakukan oleh lima Nahdliyin baru-baru ini—adalah suatu persekongkolan kolonialisme. Implikasi dari realitas ini adalah hilangnya stigma bahwa yang terjadi antara Israel dan Palestina adalah murni penjajahan dan bukan peperangan.
Sedangkan bagi aktivisme yang menyasar kelompok kedua, perlu dipahami bahwa ikatan kolektif dengan warisan iman Yudaisme juga dapat berimplikasi pada dua bentuk ketidakpedulian yang berbeda: (1) ketidakpedulian yang disebabkan oleh rasa bertanggung jawab untuk membela rezim Zionis dan segala kebudayaannya sebagai sumber deposito iman; serta (2) ketidakpedulian yang didasari oleh absennya rasa tanggung jawab untuk, lebih lanjut, melakukan aksi Boikot, Divestasi, dan Sanksi, karena tidak berada dalam posisi subordinat.
Dalam upaya untuk mengikis ketidakpedulian akibat ikatan dengan kebudayaan, gerakan harus mampu mendekonstruksikan peristiwa: membahasakan penjajahan rezim Zionis atas Palestina sebagai sepenuhnya kejahatan kemanusiaan, bukan konflik antara dua warisan agama abrahamik. Upaya ini sama halnya dengan membangun historiografi perang salib yang terbebas dari embel-embel perang antara Islam dan Kekristenan. Namun, lebih mengutamakan metode jurnalisme, ketimbang disiplin ilmiah. Sedangkan, ketidakpedulian akibat absennya rasa tanggung jawab harus dilawan dengan narasi baru bahwa gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi sepenuhnya dilakukan karena kepantasan dan solidaritas kemanusiaan untuk mengecam penjajahan—bukan sebatas gerakan yang mempertimbangkan dampak (masif-atau-tidak) yang akan dihasilkan.
Selain itu, Palestina juga harus dipandang sebagai sebuah kebudayaan yang utuh dan mandiri. Hanya dengan menyederhanakan—atau yang umum disebut media sebagai penghalusan—dari “Palestina” menjadi “Gaza” media-media arus utama tanpa sadar telah menghambat jalannya gerakan pembebasan Palestina. Mengganti nama suatu bangsa dan kesatuan budaya dari yang terjajah dengan wilayah geografis mereka sama halnya dengan mengamini bahwa yang sedang terjadi antara rezim Zionis dan Palestina hanyalah suatu konflik perebutan wilayah, bukan pembantaian maupun krisis kemanusiaan.
Menciptakan Mitos Baru
Berbeda dengan Derrida yang mengkritik logosentrisme, Barthes membayangkan dunia sebagai alam tanda (signs) dan makna. Semiotika postrukturalnya mencetuskan model analisis signifikansi dua tahap (two order of signification). Signifikansi pertama berada pada keterbatasannya untuk melihat hubungan antara petanda dan penanda dalam bentuk nyata, sementara signifikansi kedua, atau mitos, menerjemahkan realitas tanda yang sudah terikat dengan suatu pengetahuan kolektif.
Tujuan akhir dari upaya pembentukan ulang realitas melalui bahasa adalah untuk menciptakan suatu mitos baru dalam sistem penandaan dua tahap: menciptakan keyakinan dan sebuah gambaran luas akan brutalisme, kejijikan, dan aksi antikemanusiaan hanya dengan dilantunkannya term “zionis” serta memberikan signifikansi bagi mereka yang terjajah. Menanamkan memori kolektif perihal Palestina sebagai sebuah kesatuan kebudayaan sekaligus bangsa yang berdaulat. Dalam realitas baru ini, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina adalah satu-satunya yang masuk akal untuk dilakukan manusia berakal, sedangkan aksi Boikot, Divestasi, dan Sanksi adalah sepenuhnya dilakukan sebagai wujud solidaritas kemanusiaan yang dapat kita tunaikan. Setelah itu, barulah gerakan kolektif dapat membusungkan dada dan, dengan bangga, menyerukan “kita banyak, kita akan menang”.
Penulis: Jonathan Toga Sihotang
Penyunting: Annas
Referensi
Barthes, R. (2009). Mythologies (A. Lavers & S. Reynolds, Trans.). Vintage.
Baudrillard, J. (2020). Impossible Exchange (C. Turner, Trans.). Verso.
Chomsky, N., & Pappé, I. (2015). On Palestine. Penguin Books.
Derrida, J. (1998). Of grammatology. Johns Hopkins University Press.