Babak Pertama: Gemuruh di Depan Gedung Istana
Yogyakarta, BPPM Mahkamah – Mahasiswa dari berbagai Universitas di Yogyakarta, LSM, buruh, PKL, dan berbagai elemen dari masyarakat kembali tumpah ruah turun ke jalan untuk menggelar aksi pada Selasa (27/8) yang lalu. Diawali dengan berkumpulnya massa di Parkiran Abu Bakar Ali pada pukul 10.00 WIB dilanjutkan dengan long march hingga sampai di depan gedung istana kepresidenan Yogyakarta atau Gedung Agung.
Dalam pantauan kami, Sepanjang digelarnya aksi, situasi kondisi terlihat cukup tertib. Massa tidak berbuat kerusuhan dan aparat yang hadir tidak melakukan tindakan represif. Massa aksi mengerumuni replika tiang gantung dan Guillotine bertuliskan ‘Rezim Mati Disini’ yang disandingkan dengan boneka bertopeng Jokowi di depan Gedung Agung sebagai simbol diadilinya jokowi oleh rakyat. Selanjutnya, Aksi diwarnai dengan berbagai orasi yang silih berganti disuarakan oleh massa aksi yang hadir. Salah satu massa aksi yang berorasi adalah Sana Ullaili selaku ketua Solidaritas Perempuan Kinasih (SP Kinasih) yang menyinggung dibungkamnya berbagai organisasi masyarakat (Ormas) dalam mengawasi pemerintahan Jokowi dengan konsesi tambang. Ia menilai konsensi tersebut adalah langkah Jokowi dalam mempertahankan rezimnya.
“Jokowi harus kita lawan, lawan jokowi, ganyang Rezim Jokowi!” seru Sana Ullaili dalam orasinya yang dibalas dengan teriakan “Lawan!” dan “ganyang!” oleh kerumunan massa
“Hari ini kita tidak hanya sekadar meneriakkan pesta demokrasi yang berdarah-darah, tetapi kita menerikkan masa depan Indonesia agar bebas dari para oligarki pertambangan, oligarki sumber daya alam, para pecundang demokrasi.” lanjut Sana Ullaili
Tidak berhenti sampai disitu, mahasiswa dari Fakultas Hukum UGM yakni Yahya turut berorasi dengan berapi-api di tengah kerumunan massa.
“Birahi akan kuasa telah membuat mereka buta, Oligarki menggurita mencekik kita semua!” teriaknya di depan massa aksi dan aparat kepolisian.
Yahya menyebut bahwa praktek Autocratic Legalism marak terjadi dalam pemerintahan Indonesia. Yahya juga menjelaskan secara puitis tentang situasi kondisi hukum dan demokrasi sepanjang pemerintahan Jokowi yang diinilainya hanya dibuat ‘mainan’ belaka. Selain itu, Ia menyerukan agar masyarakat tidak tinggal diam dalam situasi kondisi tersebut.
“Maka hari ini teman-teman kita luapkan kemarahan di jalanan, kita luapkan kemarahan dengan makian, tunjukkan bahwa rakyat tidak bisa turut diam!” tegas yahya dalam orasinya.
Orasi kemudian dilanjutkan oleh salah satu mahasiswa FH UGM lainnya yakni Ursula yang menerangkan kepada massa mengenai kondisi Indonesia. Menurutnya Indonesia akan tetap dalam kemelut apabila para pejabatnya masih haus akan kekuasaan.
“Negara kita sedang digerogoti narkoba, narkoba itu adalah kekuasaan!” terang Ursula dalam Orasinya.
Ursula menutup orasinya dengan mengajak kepada massa aksi yang hadir agar tetap konsisten menyuarakan dan memperjuangkan hak hak rakyat yang Ia nilai telah dirampas oleh Rezim Jokowi.
“Mari kita jaga semangat agar asa terus hidup,” ajak ursula kepada massa aksi.
Babak Kedua: Malas Membaca Jadi Polisi
Berbeda dengan aksi yang dilakukan di hari sebelumnya, unjuk rasa bertajuk “Mimbar Demokrasi” yang diadakan pada Rabu (28/8) bertepatan dengan peresmian Gedung Kesehatan Ibu dan Anak Rumah Sakit Dr. Sardjito oleh Joko Widodo—subyek utama protes masyarakat. Bagai disiram bensin, pengunjuk rasa menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya, bukan hanya membahas tuntutan elektoral dan kekuasaan, masyarakat juga menyuarakan agar Joko Widodo mundur dari jabatan.
Untuk alasan ketertiban selama kegiatan demonstrasi, pengawalan polisi juga diperketat. Bukan hanya memantau, barisan pengamanan terlihat membuat blokade yang mengepung kawanan pengunjuk rasa. Akibatnya, amuk massa, yang disampaikan lewat orasi dan pembacaan puisi, juga menyasar aparat.
Salah satu ekspresi kekecewaan massa terhadap aparat disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat yang kerap disapa dengan Gus Roy. Dalam orasinya, Ia memberi peringatan kepada Rezim Jokowi agar tidak membuat Indonesia menjadi Bangladesh kedua akibat bentrok mahasiswa dengan polisi, “Tidak ada rakyat yang mau dengan kekerasan. Aparat jangan jadi keparat.”
Selain itu, Gus Roy juga mengutip Dom Hélder Câmara, seorang mantan uskup agung Olinda dan Recife sekaligus tokoh sosialis Amerika Latin, “Kalau ada kekerasan rakyat (itu) karena aparatur negara. Mereka (rakyat) menuntut hak rakyat. Aparat jadi anjing geladak untuk menyerang rakyat.”
Orasi tersebut disambut baik dengan adagium-adagium perlawan oleh pengunjuk rasa. Massa terdengar mendengungkan “rajin membaca jadi pintar, malas membaca jadi polisi”. Serta, kutipan dari Gus Dur bahwa hanya ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.
“Lir ilir lir ilir. Negara e kocar kacir. Rakyat e ora dipikir. Jokowi soyo kentir. Direwangi demonstrasi di kancani pak polisi sek penting dino iki tuntutan e dipenuhi,” demikian nyanyian yang didengungkan oleh pengunjuk rasa sebagai penutup, disusul dengan kegiatan salat bersama.
Babak Ketiga: Suara Panggilan dari Gejayan
“Ketika suara tidak didengar, ketika hak rakyat sudah diambil, hanya satu kata, LAWAN!.” teriak massa aksi. Masyarakat menyatukan kembali suara mereka dalam aksi unjuk rasa yang diselenggarakan oleh aliansi Jogja Memanggil pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Pukul 13.00, massa aksi memadati UII Cik Ditiro / UIN Sunan Kalijaga. Massa aksi bergerak menuju pertigaan gejayan untuk melakukan mimbar demokrasi. Tuntutan utama dari aksi ini masih seputar mengadili atas pembunuhan demokrasi yang dilakukan oleh rezim jokowi. Selain itu, massa aksi juga mengangkat isu lain seperti kasus korupsi timah 271T, Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang kian melejit dan pelanggaran HAM berat.
Walaupun aksi di gejayan kali ini tidak seramai aksi sebelumnya namun massa aksi terlihat cukup antusias dalam menyampaikan maupun mendengarkan orasi yang dibawakan berbagai perwakilan mahasiswa, komunitas, dan berbagai kelompok masyarakat lain yang turut meramaikan aksi di gejayan.
Orator dari salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri mengatakan, “Saya disini berdiri menyampaikan keresahan yang katanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nyatanya dewan penipu rakyat. Kita teman-teman mahasiswa jogja mau kuliah sulit, UKT melejit. Kita harus mengembalikan Indonesia yang demokrasi”.
Selain itu, Ridwan selaku mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dalam wawancaranya berharap agar pemangku kebijakan lebih memperhatikan bidang pendidikan, berkaca dari pendidikan di luar negeri yang sudah dapat dinikmati secara gratis. Ridwan juga berpesan agar di saat pendidikan semakin mahal seharusnya suara kita terhadap pemangku kebijakan bisa lebih kencang lagi.
Penulis: Jonathan Toga Sitohang, Ganeshara Jilan Emeri, Radea Basukarna Prawira Yudha
Penyunting: Albert Suprayogi
Peliput: Muhammad Faisal, Natasa, Annisa Alfi, dan Tim Liputan BPPM Mahkamah