Demokratisasi adalah sebuah hal yang menjadikan sebuah kampus dapat dinilai berjalan secara baik atau tidak karena implementasi prinsip demokrasi seperti keterbukaan, partisipasi, kesetaraan, akuntabilitas, kolektif kolegial dapat terlihat. UGM sebagai PTN BH memiliki sebuah organ yang berfungsi menetapkan kebijakan umum UGM, yaitu Majelis Wali Amanat (MWA). Pembentukan MWA sendiri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000 tentang Penetapan UGM sebagai Badan Hukum Milik Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang Statuta UGM.
Anggota MWA setidaknya telah memenuhi prinsip partisipasi aktif dalam hak yang sama untuk ikut serta dalam diskusi dan menyatakan pendapat, serta masukan untuk membangun UGM lebih baik. Keanggotaan MWA berasal dari unsur Menteri Pendidikan, Sri Sultan Hamengku Buwono, Rektor, Unsur Wakil Tokoh Masyarakat, Unsur Wakil Alumni, Unsur Wakil Dosen Guru Besar, Unsur Dosen Bukan Guru Besar, Unsur Wakil Tenaga Kependidikan, dan Unsur Wakil Mahasiswa.
Meskipun keanggotaan MWA berasal dari berbagai unsur, tetapi hal tersebut belum dapat menjamin partisipasi yang setara. Hal ini tercermin dari proporsi suara dalam pemilihan Rektor UGM. Menteri Pendidikan dan Kebudayan sendiri memiliki proporsi suara 35 % (tiga puluh lima persen) dari total seluruh suara MWA UGM, sedangkan dari mahasiswa hanya terdapat 1 (satu) orang yang mewakili sekitar 61 (enam puluh satu) ribu mahasiswa dari program Sarjana, Sarjana Terapan, dan Program Pascasarjana.
Reprsentasi 1 (satu) orang inilah yang kemudian menyebabkan permasalahan di organ MWA. Permasalahan tersebut diantaranya ketidaktransparan, ketidakadilan suara dalam pengambilan keputusan, dan lunturnya kepercayaan serta dukungan publik akibat kepentingan hanya dipegang oleh 1 (satu) orang. Dengan hanya terdapat 1 (orang) perwakilan mahasiswa di MWA, menimbulkan ketidakadilan representasi dari sisi jumlah mahasiswa, resiko bias dalam mewakili kepentingan mahasiswa, kesulitan menyerap dan menyampaikan aspirasi mahasiswa, dan potensi kurangnya akuntabilitas unsur mahasiswa di MWA kepada mahasiswa UGM secara luas.
Terlebih, peran perwakilan mahasiwa menjadi penting untuk memastikan kebijakan umum dan rencana strategis kampus selanjutnya telah memiliki keberpihakan dan menciptakan keadilan bagi mahasiswa sebagai konstituen terbesarnya. Namun, dengan fungsi yang sebesar itu, kehadiran unsur mahasiswa di MWA tidak terlalu dirasakan, tidak berdampak secara langsung maupun tidak familiar dengan Rektor, Wakil Rektor, atau Dekan. Hal ini disebabkan peran yang dimilikinya lebih struktural dan jangka panjang seperti kebijakan strategis, kedudukannya di kebijakan tertinggi, lalu seringkali berfokus kepada isu non-akademik.
Dengan kondisi tersebut dan di konteks yang terjadi di UGM, eksistensi MWA UM juga sulit untuk diakses dan diketahui karena tidak adanya publikasi dan transparansi atas kegiatan yang akan dan sudah dilakukan oleh unsur mahasiswa. Hal ini terlihat dari sulitnya menemukan aktivitas MWA UM dalam artikel berita lokal kampus atau nasional, pengelolaan informasi yang tidak dibagikan melalui media sosial atau sebuah website, lalu hubungan yang terbangun di organisasi kemahasiswaan tidak berjalan secara baik.
Media sosial saat ini menjadi sebuah identitas resmi organisasi atau kegiatan mahasiswa yang berfungsi sebagai arus informasi dan interaksi guna meruntuhkan batasan ruang dan waktu. Dengan sebuah gawai, internet, dan media sosial, mahasiswa mampu mengakses semua informasi yang diinginkan. Namun, media sosial MWA UM UGM sebagai katalisator yang menghubungkan dengan mahasiswa secara luas tidak berjalan. Di media sosial instagram, aktivitas terakhir sejak 4 September 2023 saat terpilihnya PAW MWA UM UGM 2023/2024, lalu website https://ummwa.web.ugm.ac.id/ aktivitas terakhir sejak pengunggahan video profil MWA UM dan Badan Kelengkapan MWA 2021 /2022, aktivitas terakhir Facebook MWA UM sejak tanggal 15 Agustus 2022, dan aktivitas terakhir X (Twitter) tanggal 18 Februari 2023.
Sebenarnya penggunaan media sosial di organisasi atau kegiatan mahasiswa tidak perlu terlalu fokus pada jumlah akun media sosial (kuantitas), tetapi berfokus kepada keefektifan untuk membuat satu pintu jalur informasi ke publik (kualitas). Di sebuah website, sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk menyimpan berbagai produk kebijakan, tulisan, atau laporan kegiatan. Hal ini dapat terlihat dari https://data.km.itb.ac.id/ yang berisi pusat arsip dan katalog lembaga KM ITB yang dapat dijadikan referensi.
Dalam konteks hubungan dengan organisasi kemahasiswaan di UGM, MWA UM memiliki tantangan dan masalah, yaitu di sistem Keluarga Mahasiswa UGM (KM UGM) yang tidak menjadi wadah untuk menampung seluruh kepentingan mahasiswa dan hanya bersifat sebagai alat kelengkapan struktural dan non formal. Hal ini berbeda jika melihat UI dan ITB dengan sistem formal dan legal dapat merepresentasikan kepentingan mahasiswanya. Di UGM sendiri, dengan ketidakformalannya menyebabkan tidak mampu menjadi representasi kepentingan mahasiswa, sehingga MWA UM pun tidak terikat masuk di dalamnya, sedangkan di UI dan ITB, unsur mahasiswa di MWA menjadi salah satu anggota forum bersama dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam naskah kajian Anggalih Bayu (2018), status dan logika unsur mahasiswa di MWA UGM hanya menjadi salah satu organ MWA dan tidak mempunyai struktur kelembagaan organisasi sendiri, sedangkan di UI dan ITB, unsur mahasiswa di MWA menjadi lembaga kemahasiswaan yang memiliki birokrasi representatif dalam wujud lembaga tersebut.
Persoalan ini turut menyebabkan dalam mekanisme pemilihan dan penetapan unsur mahasiswa di MWA berbeda, yaitu di UGM melalui panitia ad hoc yang diangkat oleh Senat Akademik, Ditmawa UGM, Panitia 9 dari 3 unsur organisasi, sedangkan di UI dan ITB melalui pemilihan raya mahasiswa. Maka, unsur mahasiswa di UI dan ITB dipilih dan ditetapkan berdasarkan keputusan seluruh mahasiswa. Namun di UGM, hal ini sangat berbeda lantaran pemilihan dan penetapannya dilakukan oleh kampus dengan mengambil 3 organisasi yang dirasa mempunyai kewenangan representasi.
Status MWA UM dan mekanisme yang digunakan untuk memilih dan menetapkan MWA UM di UGM menimbulkan masalah, lantaran KM UGM tidak dapat digunakan sebagai wadah untuk menampung seluruh kepentingan mahasiswa, dan MWA UM tidak terikat kepada KM UGM. Lalu dalam mekanisme pemilihan 3 unsur organisasi yang berasal dari BEM KM UGM, Forkom UKM UGM, HMP UGM menjadi masalah yang menimbulkan ketidakjelasan perihal jenis dan posisi 3 organisasi tersebut berdasarkan Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2017 . Hal ini lantaran ketiga organisasi berbentuk UKM Sekber Khusus dan 2 dari 3 organisasi, yaitu BEM KM UGM dan HMP UGM tidak memiliki kewenangan mewakili suara mahasiswa S1 dan D4, S2, serta S3. Dalam peraturan rektor, komunitas menjadi organisasi mahasiswa selain UKM, tetapi eksistensinya justru tidak dilibatkan dalam Panitia 9.
Di proses proses pemilihan bakal calon MWA UM, komunitas tidak diberikan suara dan tidak dianggap sebagai bentuk organisasi kemahasiswaan di lapangan. Berdasarkan PPT sosialisasi Penjaringan Bakal Calon Pengganti Antar Waktu Anggota Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (12/06) , pemegang hak suara berasal dari 1 lembaga otonom SV, 18 lembaga otonom fakultas, 54 UKM, dan HMP UGM. Hal ini tentu sebuah bentuk diskriminasi penghilangan hak suara mahasiswa di wadah komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses kebijakan strategis melalui perwakilan mahasiswa di MWA.
Kondisi diskriminasi, sulitnya akses informasi, dan tidak aktifnya media sosial seharusnya tidak terjadi di dalam organ representasi MWA. Hal ini karena, MWA UM sebagai perpanjangan tangan dan kepentingan mahasiswa harus menjunjung tinggi keterbukaan dan transparansi informasi, memberikan akses partisipasi secara aktif, dan menjunjung tinggi kesetaraan. Unsur mahasiswa MWA diibaratkan seperti hantu, yaitu ada tetapi tidak terlihat, dan apabila seseorang ingin melihat dan merasakannya harus memiliki kemampuan tertentu. Pengandaian ini seperti MWA UM tidak dapat dilihat atau dirasakan, tetapi keberadaanya tetap ada, serta bagi yang ingin berhubungan dan berpartisipasi kepada MWA UM harus memenuhi persyaratan tertentu, di konteks ini mahasiswa secara umum dan komunitas mahasiswa tidak memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pemilihan MWA UM UGM karena yang mampu mengakses adalah 74 organisasi kemahasiswaan.
Selain persoalan akomodasi suara dan kepentingan mahasiswa melalui MWA UM, demokratisasi sukar ditemui lantaran mahasiswa di MWA hanya berjumlah 1 (satu) orang yang menimbulkan resiko dimiliki oleh individu atau kelompok yang dipilih secara tidak transparan, suara hanya mewailiki kelompok tertentu, dan kepemimpinan dilakukan secara otoriter akibat tidak ada pihak mahasiswa lain yang mengimbangi. Kasus ini dapat diamati ketika PAW MWA UM UGM periode 2023/2024 yang memiliki hubungan keluarga dengan Kepala K5L UGM periode 2017-2027 (sebelumnya PK4L), yaitu hubungan anak dan orang tua kandung. Tentu kasus ini beresiko memunculkan isu nepotisme karena tidak didasarkan kepada meritokrasi. Hal ini diperkuat dengan ketidakaktifan informasi melalui media sosial atau media lain oleh MWA UM periode tersebut yang memunculkan persepsi inkompetensi dari kalangan mahasiswa secara umum.
Kasus ini bukan pertama kali terjadi, karena pasca Aksi 2 Mei 2016 terjadi screening aktor kunci aksi untuk para pendaftar bakal calon MWA UM UGM yang mengakibatkan aktor kunci aksi, yaitu Umar Abdul Aziz dan Joko Susilo tidak lolos seleksi dari UGM. Screening aktor dilakukan oleh UGM untuk memilih mahasiswa yang bergabung menjadi MWA UM UGM dapat diajak untuk “duduk” bersama dan tidak terlalu vokal ketika menyandang status unsur perwakilan mahasiswa di organ MWA UGM sebagai perpanjangan tangan kepentingan mahasiswa.
Selain screening aktor gerakan, pasca Aksi 2 Mei 2016, UGM menempatkan Kombes Pol Drs. Arif Nurcahyo, S.Psi. menjadi kepala satuan keamanan kampus (sekarang bernama K5L) selama 2 periode Rektor UGM, yaitu periode 2017-2022 dan 2022-202 7. UGM melakukan ini untuk memitigasi dan mengamati berbagai aktivitas mahasiswa di dalam konteks penyusunan, konsolidasi, dan aksi mahasiswa. Relasi kuasa di pusaran unsur polisi, kampus, dan screening aktor mahasiswa vokal terbukti cukup mampu untuk menekan pergerakan mahasiswa pasca Aksi 2 Mei 2016 yang di dalam kurun waktu sampai tahun 2024 belum ada lagi mobilisasi dan aksi sebesar Aksi 2 Mei 2016. Hal ini juga ditambah dengan unsur mahasiswa MWA UGM periode 2023/2024 memiliki hubungan dengan kepala satuan keamanan kampus. Kombinasi ini semakin mengunci dan memitigasi mobilisasi pergerakan mahasiswa.
Penulis: Sigit Bagas Prabowo
Penyunting: Fitria Amesti