web analytics
Jebakan Ketidaktahuan
from pinterest by flickr

Jebakan Ketidaktahuan

Jere, seorang anak yang baru duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, sedang menonton televisi. Ia sebenarnya tidak tahu ingin menonton apa. Oleh karena itu, Jere sedari tadi hanya terus mengganti saluran televisi hingga sebuah tayangan berita menarik atensinya. Berita mengenai seseorang yang ditangkap karena memelihara hewan yang ternyata dilindungi.

“Ibu, Ibu!” panggil Jere dengan berteriak dan terkesan tergesa yang jelas membuat ibunya yang sedang memasak itu langsung menghampirinya dengan mimik muka khawatirnya.

“Ada apa, Jer? Mengapa kamu berteriak-teriak seperti itu?” tanya Ibu dengan panik, sedangkan Jere justru menunjuk ke arah layar televisi.

“Lihat itu, Ibu! Mengapa ia bisa ditangkap? Bukankah ia sudah mengatakan bahwa ia tidak tahu jika Landak Jawa itu adalah hewan yang dilindungi. Lantas, mengapa mereka tetap menangkapnya? Mengapa orang yang tidak tahu dianggap seolah-olah tahu? Bukankah itu tidaklah adil, Bu?” protes Jere tak terima. Mukanya memerah, kedua alisnya terlihat seperti akan menyatu, dan bibirnya mengerucut.

Ibu menghela napasnya lalu tersenyum teduh. Ia menundukkan dirinya hingga setara dengan tinggi milik putra semata wayangnya itu. Ia mengetuk pelan dahi Jere sebelum akhirnya berbicara.

“Jer, lihat Ibu! Iya orang itu dianggap tetap bersalah karena dalam hal ini diberlakukan suatu asas yang disebut asas fiksi hukum. Asas ini memang menganggap semua orang mengetahui hukum tak terkecuali petani yang bahkan tak mempunyai riwayat pendidikan dan warga yang tinggal di pedalaman.”

“Lantas, kenapa mereka yang tidak memiliki pengetahuan tentang itu saja bisa ditangkap dengan mudahnya lalu pemerintah dan aparat yang memiliki kewajiban untuk memberikan sosialisasi hukum tersebut justru sulit melakukannya. Bukankah itu tidak setimpal, Bu? Satunya mudah ditangkap karena ketidaktahuannya, sedangkan yang satu sulit membagi pengetahuannya,” terang Jere pada sang Ibu yang ditanggapi Ibu dengan mengelus rambut keriting ikal miliknya.

“Benar katamu, Jer! Sudah seharusnya pemerintah lebih memperhatikan hal ini. Mereka tidak bisa begitu tak acuh terhadap permasalahan ini. Mereka seharusnya dapat memberikan sosialisasi hukum jika mereka sendiri ingin memberlakukan asas ini. Mereka tidak bisa juga sepenuhnya merasa tenang apabila banyak masyarakat yang ditangkap karena mereka tidak pernah tahu ataupun mendengar tentang hukum ini sebelumnya. Ya, walau pada zaman teknologi seperti sekarang semua hal termasuk hukum bisa lebih mudah diakses, tetapi tetap ada sebagian orang yang bahkan tidak mempunyai privilege untuk itu,” jelas Ibu dengan wajah sendunya.

Sebenarnya, Ibu juga turut merenungi hal ini dalam diamnya. Jujur saja sebelumnya ia tak pernah memikirkan hal ini. Ia merasa miris karena justru sang anaklah yang mempertanyakan hal ini. Ia juga merasa sedih memikirkan bagaimana bisa sebuah hukum terkadang justru malah menjadi jebakan ketidaktahuan bagi seseorang. Jebakan ketidaktahuan yang dibuat oleh orang yang justru paling tahu hal ini.

Di tengah penyelaman dalam lautan pikirannya, Jere menarik ujung pakaian milik Ibu sehingga membuat Ibu terpaksa menyudahi penyelamannya. Ibu menaikkan alis seolah bertanya “ada apa?”. Baru saja ingin menjawab, suara perut milik Jere sudah lebih dulu terdengar nyaring hingga membuat tawa keduanya pecah.

“Hahaha… ya sudah ayo kita makan!”

 

Penulis: Naomie Arwinda

Editor: Regina Ayu Amara Devi

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *