BPPM Mahkamah, Yogyakarta — “Fiksi sejarah kepentingannya bukan buat masa lalu. Jika itu [baru-red] diterbitkan sekarang, berarti ada yang tidak beres. Artinya, ada yang belum selesai, [ada yang-red] belum terungkap di masa lalu. Jika itu tidak diungkap, kehidupan kita sekarang berbeda,” ungkap Soe Tjen Marching (21/4) ketika menjawab pertanyaan mengapa buku fiksi sejarah, seperti Dari Dalam Kubur, baru ditulis di era sekarang. Alasannya cukup jelas: sejarah dengan sengaja meminggirkan peristiwa tertentu agar tidak diketahui orang banyak.
Tepat pukul 19.30 WIB puluhan orang memadati Warung Sastra Yogyakarta untuk menyaksikan Malam Buku #65 yang diadakan oleh Warung Sastra dan Marjin Kiri. Kegiatan ini merupakan salah satu diskusi dalam tur buku Dari Dalam Kubur bersama Soe Tjen Marching yang diadakan di empat kota berbeda. Diskusi bergulir dengan membahas fakta historis dari tragedi kelam yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya perempuan, pada tahun 1965. Soe Tjen Marching bersama Ramayda Akmal, Dosen Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan dipandu oleh moderator Erika Rizky, hadir untuk membedah aspek sejarah dan alasan penulisan buku dalam rangka menghadirkan kembali fakta yang selama ini terpinggirkan dalam sejarah.
Lebih Nyata dari Kisah Paling Nyata
Pada awal diskusi, Soe Tjen Marching (Soe Tjen) menjelaskan alasannya menulis buku berjudul Dari Dalam Kubur. Soe Tjen bercerita bahwa, mulanya, ia ingin menuliskan kisah seorang korban pemerkosaan pada Pembantaian 1965. Namun, tulisan itu tidak ia lanjutkan karena tidak mendapat izin dari korban. Korban merasa takut dan terganggu jika pengalaman yang dialaminya itu tersebar. Mencari cara lain, Soe Tjen mencoba menuliskan pengalaman korban dalam sebuah cerita fiksi. Cara itu disambut baik oleh korban dan, akhirnya, dirilis dalam novel Dari Dalam Kubur.
“Kisah ini lebih nyata dari kisah yang nyata,” ungkap Soe Tjen, menyebutkan kalimat yang ditulisnya dalam pengantar Dari Dalam Kubur. Lewat frasa pendek itu, Soe Tjen menjelaskan bahwa di suatu pemerintahan otoriter yang mengakibatkan korban takut untuk berbicara, fiksi dapat menjadi cara untuk mengungkapkan kebenaran. Fiksi menjadi suara dan nurani yang nyata di saat pemerintah membatasi tulisan tentang fakta dalam sejarah.
“Tidak ada yang tahu pasti jumlah korban genosida 65. Segitu tidak pentingnya nyawa manusia. Padahal satu nyawa saja penting,” ungkap Soe Tjen Marching.
Kekuatan Cerita Fiksi
“Itulah fiksi kekuatannya bisa luar biasa. Bisa membuat gonjang-ganjing pemerintah. Mereka [pemerintah-red] takut dengan fiksi, sastra, dan seni pun takut, tapi, mereka [pemerintah-red] juga merendahkan,” ujar Soe Tjen.
Soe Tjen menjelaskan bahwa fiksi memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mengungkap fakta yang disembunyikan. Ia mencontohkan Max Havelaar, novel yang mengungkap praktik kejam pemerintah Hindia Belanda kepada pribumi pada masa tanam paksa. Melalui Max Havelaar, Pemerintahan Hindia Belanda bisa diguncangkan, ditekan oleh reaksi dari masyarakat Belanda, dan didorong untuk melakukan perubahan sosial politik di tanah jajahan.
“Novel ini [Dari Dalam Kubur-red] hadir sebagai fiksi. Dia tidak bisa digugat. Tapi kita tau dia ada di sana, dia benar adanya. Kita bisa baca dan kita tidak perlu mempertanyakan lagi,” ucap Soe Tjen. Sebelumnya, Soe Tjen memang menyinggung perihal detail Pembantaian 1965. Ia menyampaikan kekecewaannya terhadap ketidak berhargaan nyawa manusia pada peristiwa Pembantaian 1965, bahkan tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah orang yang terbunuh. Soe Tjen juga menjelaskan bahwa yang menjadi korban tidak hanya mereka yang harus meregang nyawa, tetapi juga mereka yang mengalami trauma. Seorang anak yang melihat orang tuanya menjadi tidak berfungsi karena Pembantaian 1965, atau bahkan sebaliknya, juga merupakan korban. Akibatnya, diskrepansi antara jumlah keseluruhan korban dari peristiwa Pembantaian 1965 dengan yang disebut sebagai “korban jiwa” mutlak terjadi: korban Pembantaian 1965 tentu berkali-kali lipat jumlahnya ketimbang angka korban jiwa. Kenyataan inilah yang juga diceritakan oleh Soe Tjen Marching melalui buku Dari Dalam Kubur.
Pemerintah Takut Seni
Soe Tjen, dalam elaborasinya akan kekuatan cerita fiksi, menekankan pentingnya sastra dan seni. Ia percaya bahwa seni dan sastra mampu mengajak orang-orang untuk berpikir kritis, “Dalam seni, kita diajak untuk berpikir kritis.” Namun, masih banyak orang yang merendahkan seni akibat indoktrinasi dan manipulasi pemerintah. Selama ini, bidang seni dan sastra selalu dianggap sebagai bidang yang kurang prestise jika dibandingkan dengan matematika, kedokteran, teknologi, dan bidang praktis lainnya. Padahal, secara tidak langsung, upaya pemerintah untuk merendahkan seni justru menandakan adanya sesuatu yang luar biasa menakutkan pada seni dan sastra.
Hal ini tercermin, salah satunya, dari fokus Nadiem Makarim saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam mengembangkan kualitas pendidikan, yaitu menciptakan lulusan yang siap pakai. Menanggapi bahasan soal pendidikan yang berfokus untuk mencetak tenaga kerja, Ramayda turut melontarkan kritik, “Kalian kuliah tidak untuk berpikir kritis, tapi siap pakai. Kalian dididik untuk menjadi budak yang baik.”
Persembahan dari Dalam Kubur
Ramayda Akmal menjelaskan betapa berharganya Dari Dalam Kubur. Ia mengungkapkan bahwa Dari Dalam Kubur, sebagai sebuah novel, dapat dibaca dari banyak sisi dan sangat dekat dengan berbagai individu. Cerita dari seorang individu dapat membuka pintu informasi yang besar tentang hal lain yang belum banyak diketahui. “Kita seperti tertutup dari informasi, hanya mengetahui dari garis besar [informasi-red]. Garisnya salah lagi,” kritik Ramayda.
Dosen Sastra Indonesia itu mengandaikan Dari Dalam Kubur sebagai alur batang berpikir yang saling terkait satu sama lain, merunut Pembantaian 1965 yang mulanya lamat-lamat terdengar dan disampaikan dengan berbisik dari berbagai versi yang kabur.
Ramayda juga memberikan apresiasi terhadap aspek personal yang melekat pada Dari Dalam Kubur. Saat menulis Dari Dalam Kubur, Soe Tjen memang dihadapkan dengan suatu tantangan yang berkaitan dengan trauma dan pengalaman pribadinya. Apa yang disebut-sebut sebagai “tantangan” itu dituturkan oleh Soe Tjen saat salah seorang audiens bertanya mengenai kesulitan yang dihadapi saat menulis Dari Dalam Kubur: bagi Soe Tjen, trauma adalah suatu pembisuan. “Waktu saya mau menulis, itu kosong, nggak keluar sama sekali,” ceritanya.
Ada paradoks yang terdapat dalam trauma, sebuah ilusi bahwa guncangan yang terjadi telah hilang, seakan-akan dihilangkan, tetapi efeknya justru semakin besar. “Trauma itu, semakin kita mau memblokir, menghapus, semakin jelas trauma itu menghantui,” ungkap Soe Tjen. Apa yang tersisa dan terus diperjuangkan dari ilusi itu kini telah dituangkan Soe Tjen dengan baik dan rapi, mengungkap bagian sejarah yang selama ini disembunyikan, pada Dari Dalam Kubur.
Penulis: Ahwa Tajiro Yustio, Mirza Zakiya Rahma Shoffa
Penyunting: Jonathan Toga Sihotang
Desain: Rugayya Maulida Husain
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah
