BPPM Mahkamah, Yogyakarta — Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Hukum UGM dan Pendidican menggelar diskusi bertajuk Kampus Kelola Tambang: Menambah Dana atau Mencelakai Tridharma pada hari Sabtu (7/2). Diskusi ini menyoroti pengesahan Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba), khususnya Pasal 51 A yang memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Dalam panel forum, turut diundang pula dua tokoh yang dekat dengan isu pemberian izin tambang sebagai narasumber: Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman sekaligus perwakilan dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), serta Rizky Abiyoga sebagai perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Diskusi dimulai pada pukul 18.30 WIB dan dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Adinda Atmim, selaku pembawa acara, membuka diskusi dengan berdoa. Kemudian diskusi dilanjutkan dengan dipandu oleh moderator Al Syifa Rachman. Sebagai pengantar, Al Syifa menceritakan kilas balik pembahasan RUU Minerba yang sangat mendadak dan berlangsung cepat. Proses yang terburu-buru ini menimbulkan pertanyaan mengenai alasan di balik pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi. Alibi yang digunakan DPR adalah “supaya dapat menambah dana bagi universitas”. Menanggapi keputusan tersebut, kritik berdatangan dari berbagai lapisan masyarakat, akademisi, hingga aktivis lingkungan.
Penundukan Kampus
Herdiansyah Hamzah, dalam materi yang disampaikannya, mengungkapkan pandangan mengenai motif di balik pengesahan RUU Minerba yang berkaitan dengan pemberian konsesi tambang kepada kampus. Ia menilai bahwa hal itu merupakan bentuk sogokan atau operasi penundukan kampus. “Konsesi tambang serupa sebagai sogokan atau operasi penundukan kepada kampus,” ungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman tersebut.
Herdiansyah bercerita bahwa upaya penundukan kampus ini bukan yang pertama kali terjadi. Operasi penundukan kampus sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak era Orde Lama dan Orde Baru. Proses penundukan itu masih terjadi di masa sekarang, salah satu metode yang digunakan dengan memberikan sogokan kepada kampus. Pemberian konsesi tambang merupakan bentuk dari sogokan tersebut.
“Kampus adalah mesin propaganda yang produktif bagi kekuasaan. Menundukkan kampus membuat pekerjaan rezim berkurang setengahnya,” terang Herdiansyah memberi penjelasan mengenai alasan pemerintah berupaya menundukkan kampus.
Perwakilan KIKA tersebut kembali mengingatkan tujuan dari kampus secara normatif menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012. Terdapat sekurangnya tiga hal yang merupakan tujuan kampus, yaitu menjadi alat untuk membangun watak peradaban supaya dapat tumbuh dengan baik, sebagai pelaksana Tri Dharma, serta berbasis humaniora yang memiliki pemahaman tentang alam, manusia, dan kebudayaan. Mengelola tambang adalah hal yang kontradiktif dengan tujuan kampus secara normatif.
Ada tiga argumen yang diungkapkan Herdiansyah sebagai alasan kampus menolak konsesi tambang. Pertama, izin mengelola tambang adalah cara rezim menyogok dan menyuap yang tujuan utamanya membungkam kampus. Kedua, dengan menerima konsesi tambang, kampus akan kehilangan fungsi sebagai pengembang peradaban karena bukan lagi sebagai tempat menumbuhkan daya kritis dan rasa kemanusiaan. Ketiga, jangan sampai kampus justru ikut berkontribusi menciptakan penderitaan bagi masyarakat dengan mengelola tambang. Sektor ekstraktif, salah satunya tambang, hanya meninggalkan penderitaan bagi masyarakat sekitar berupa bencana banjir, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dan perampasan ruang hidup masyarakat adat.
“Kampus akan kehilangan kewarasan, akal sehat, dan menggadaikan prinsipnya sebagai juru bicara rezim atau kekuasaan [jika menerima konsesi tambang-red],” ungkap Herdiansyah sebagai penutup materinya.
Dari Akademia ke Kapital
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan materi dari Rizky Abiyoga. Perwakilan dari WALHI tersebut menampilkan presentasi PowerPoint yang berjudul Dari Akademia ke Kapital: Penundukan Kampus dalam Cengkeraman Ekstraktivisme Tambang oleh Rezim kepada peserta diskusi. Rizky mengawali materi yang disampaikan dengan mengutip istilah “era kapitalosen” yang digunakan oleh Jason W. Moore. Istilah ini merujuk pada era geologis saat kapital dan kapitalisme memiliki pengaruh untuk menentukan bumi.
Rizky juga menyoroti bagaimana negara-negara pinggiran di dunia lebih banyak terdampak oleh industri ekstraktif daripada negara-negara inti. Rizky mencirikan negara pinggiran sebagai negara dengan tenaga kerja miskin yang kurang terampil, sektor industri bermodal kecil, dan maraknya ekstraksi sumber daya alam. Sedangkan, negara inti memiliki ciri yang berkebalikan dari negara pinggiran.
Sebagai contoh, Rizky menampilkan data realisasi produk dan penjualan batubara di Indonesia tahun 2023 yang mencapai 770,82 juta ton. Ekspor batubara ke negara semi inti, seperti China, dan negara di Asia Tenggara mencapai 379 juta ton atau sekitar 45% dari total produk batubara. Artinya, hanya 55% produk batubara yang dikelola secara nasional. Padahal, masyarakat sekitar tambang batubara-lah yang harus menanggung dampak dari penambangan batubara.
Rizky sempat menyinggung tentang kewajiban perusahaan untuk melakukan reklamasi pascapenambangan, tetapi sering tidak dilaksanakan. Buktinya, banyak lubang tambang yang dibiarkan begitu saja sehingga memakan korban jiwa dari masyarakat. Selain itu, Rizky juga membahas kotornya industri ekstraktif yang dalam prosesnya memiliki banyak celah untuk melakukan tindakan korupsi.
“Apakah kampus akan terlibat dan menjadi pelaku juga dalam praktik ini?” tanya Rizky sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pemberian konsesi tambang kepada kampus.
Mencuci Dosa Pertambangan
Setelah penyampaian materi oleh kedua narasumber, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Berbagai pertanyaan dilontarkan oleh peserta diskusi seputar kebijakan tata kelola tambang di Indonesia. Salah satunya mengenai Pasal 162 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dapat menjerat masyarakat saat melakukan perlawanan karena dianggap menghalang-halangi kegiatan usaha pertambangan.
Salah satu audiens juga berpendapat bahwa pemberian konsesi tambang kepada kampus dapat menjadi kesempatan baik untuk mewujudkan dunia tambang yang ideal karena kampus memiliki pengetahuan lebih daripada lembaga yang murni bisnis. Audiens tersebut mendorong kampus untuk mempraktikkan kegiatan penambangan yang benar daripada hanya sekadar melempar kritik.
Herdiansyah menanggapi hal tersebut dengan kekhawatiran bahwa kampus hanya akan menjadi alat legitimasi kejahatan, mengingat sektor pertambangan tidak menyisakan apapun kecuali dampak yang harus diderita oleh masyarakat sekitar. “Kampus diarahkan untuk menjadi alat mencuci dosa,” ungkapnya.
Herdiansyah juga menambahkan bahwa kampus seharusnya menolak pemberian konsesi tambang apabila masih memiliki insting kemanusiaan pada sekitar. “Kalau kampus masih mengaktifkan daya pikir, insting kemanusiaan, bagaimana [cara-red] mempertahankan lingkungan hidup, harusnya kampus menolak.”
Setelah sesi tanya jawab berlangsung, Al Syifa membacakan kesimpulan dari diskusi yang telah dilaksanakan. Diskusi ditutup dengan dipandu oleh pembawa acara dan satu per satu peserta diskusi meninggalkan ruang rapat Zoom Meeting.
Penulis: Mirza Zakiya, Nadhira Armaliya
Penyunting: Jonathan Sihotang
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah