BPPM Mahkamah, Yogyakarta – Jalanan dipenuhi oleh berbagai elemen masyarakat yang turun ke jalan dalam aksi Jogja Memanggil pada Kamis (20/2). Massa memadati kawasan Malioboro untuk menyuarakan kekecewaan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Sejak pagi, warna hitam mendominasi Parkiran Abu Bakar Ali, tempat massa berkumpul sebelum melakukan aksi. Tanpa mengenakan identitas apa pun, masyarakat bersatu dalam semangat perjuangan meski diterpa panas terik. Hingga pukul 11.23 WIB, jumlah peserta aksi terus bertambah. Sekitar tengah hari, massa mulai bergerak menyusuri Jalan Malioboro, diiringi orasi, pembacaan puisi, serta nyanyian-nyanyian bernuansa perjuangan.
Selang dua puluh menit setelah longmars dimulai, massa tiba di depan Kantor DPRD Provinsi DIY. Seorang peserta aksi meneriakkan seruan, “Pangkas rambut saja, jangan pangkas anggaran!” yang disusul dengan orasi bergantian dari peserta lainnya. Selama orasi berlangsung, selebaran berisi sepuluh tuntutan dibagikan kepada peserta aksi, relawan, dan media. Tuntutan tersebut mencakup isu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, kelangkaan gas dan solar, konflik agraria, Undang-Undang Cipta Kerja, dwifungsi dan militerisasi di ranah sipil, kegagalan reformasi, pemangkasan anggaran pendidikan dan kesehatan, serta penyelesaian kasus hak asasi manusia (HAM).
Salah seorang peserta aksi, Ismanov, menegaskan bahwa aksi ini menjadi bentuk perlawanan masyarakat sehingga tidak berfokus pada sejumlah tuntutan spesifik. “Jogja Memanggil tidak akan menyampaikan tuntutan apapun hari ini karena Jogja Memanggil memiliki poin perlawanan,” ujarnya. Tiga poin tersebut juga dirincikan dalam orasi Ismanov:
- turunkan Prabowo-Gibran, yang dinilai sebagai biang kesengsaraan rakyat;
- bubarkan Kabinet Merah Putih, termasuk tokoh seperti Bahlil yang dianggap merusak demokrasi dan lingkungan;
- membangun demokrasi kerakyatan, sebagaimana yang disampaikan Bung Hatta, saat rakyat benar-benar berdaulat, sesuatu yang, hingga kini, dinilai masih jauh dari kenyataan.
Bukan hanya mahasiswa, aksi ini juga diikuti berbagai elemen masyarakat lainnya. Tak terkecuali pedagang kaki lima (PKL) di Malioboro yang menuntut hak untuk kembali ke selasar—yang sebelumnya telah disuarakan dalam aksi pada Kamis (8/2). Selain itu, ibu-ibu yang tergabung dalam Persatuan Mak-Mak Indonesia (PMMI) turut serta menyuarakan keluhan mereka terkait kelangkaan gas yang berdampak pada kehidupan masyarakat. “Dulu oke gas, oke gas, sekarang gasnya mana? Gas sekarang itu sulit. Kasihan itu para emak-emak. Mereka kesulitan mencari gas. Mereka yang pedagang pun kesulitan,” ujar Ina, salah satu peserta aksi. “Saya berharap Pak Bahlil mengembalikan gas pada rakyat. Jangan dipersulit,” tambahnya.
Massa kemudian melanjutkan aksi hingga mencapai pintu gerbang Gedung Agung Yogyakarta, tempat puncak orasi berlangsung. Spanduk-spanduk bertebaran, sementara poster-poster kertas ditempelkan di pintu gerbang sebagai bentuk protes.
Di depan Istana Kepresidenan Yogyakarta, massa kembali menyuarakan perlawanan mereka dengan menyanyikan lagu “Bayar Bayar Bayar”, sebagai bentuk solidaritas terhadap band Sukatani yang mengalami pemberedelan oleh polisi (20/2). Nyanyian tersebut menggema di antara lautan massa, memperkuat pesan bahwa rakyat tidak akan tinggal diam terhadap upaya pembungkaman dan ketidakadilan.
Seorang mahasiswa peserta aksi menyatakan harapannya agar aksi ini dapat memperbaiki fenomena yang sedang berlangsung dalam skala ketatanegaraan. “Jika pemerintah tidak memperbaiki dan justru menyepelekan suara rakyat, maka hal ini akan menjadi bom waktu. kerusuhan tahun 1998 dapat terulang kembali,” ujarnya. Mahasiswa lainnya menambahkan, “Pemerintah seperti ini harus turun. Jika benar-benar ingin memperbaiki sesuatu yang rusak di negeri ini, harus mulai dari akar, rakyat semuanya harus turut serta berdampingan [untuk-red] mewujudkan Indonesia Emas 2045. Jangan hanya itu omon-omon saja.”
Sebagai simbol kekecewaan yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah, bendera Merah Putih dikibarkan setengah tiang di sepanjang Jalan Malioboro. Aksi ini menjadi bentuk berkabung masyarakat atas regulasi yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan berpotensi menimbulkan dampak negatif.
Aksi berakhir pada pukul 17.30 WIB dengan massa membubarkan diri setelah pembacaan pernyataan dari tim kajian dan melakukan aksi simbolis berupa pelemparan cat merah di depan gerbang Istana Kepresidenan Yogyakarta yang dijaga ketat oleh barisan polisi. Warna merah yang menghiasi gerbang tersebut menjadi lambang perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap mencederai keadilan sosial.
Aksi Jogja Memanggil di Yogyakarta menunjukkan besarnya kekecewaan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat. Dengan berbagai elemen masyarakat yang bersatu, dari mahasiswa, pedagang kaki lima, hingga ibu-ibu, suara perlawanan semakin nyaring terdengar. Meskipun aksi berakhir pada sore hari, pesan yang disampaikan akan selamanya berdengung: rakyat tidak akan tinggal diam menghadapi ketidakadilan.
Penulis: Adventina Narda, Natasa, Novianti Kusuma Dewi
Penyunting: Jonathan Sihotang
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah