BPPM Mahkamah, Yogyakarta— “Rakyat bersatu! Tak bisa dikalahkan!” teriakan lantang menggema dari ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi saat menggelar aksi demonstrasi di depan gedung DPRD DIY, Kamis (8/2). Aksi yang dimulai pukul 14.30 WIB dari parkiran Abu Bakar Ali ini menuntut pemulihan hak PKL Malioboro yang merasa tersingkir akibat penataan kawasan.
“Selasar untuk rakyat!” teriak para demonstran, menolak kebijakan relokasi yang dianggap menghancurkan mata pencaharian mereka. Para pedagang mempertanyakan kebijakan yang mengatasnamakan Sumbu Filosofi Yogyakarta dan warisan budaya. “Untuk apa mementingkan sumbu filosofi warisan budaya jika keberadaannya justru menggusur dan merugikan rakyat?” teriak salah seorang demonstran dengan penuh emosi.
DPRD yang Hengkang dari Tanggung Jawab
Massa aksi menuntut terwujudnya tata kota yang demokratis dan partisipatif, sembari menolak keras konsep warisan dunia yang justru menggusur rakyat kecil. Aksi ini merupakan puncak kekecewaan setelah surat-menyurat dengan DPRD tidak membuahkan hasil. Sebelumnya, DPRD memang telah menjanjikan rapat pada 31 Januari, tetapi rencana tersebut sempat diundur beberapa kali. Mulanya rapat dijadwalkan ulang pada 3 Februari dan kembali batal dipenuhi. Kini, DPRD bahkan belum memberikan jawaban apapun.
Di tengah aksi, para pedagang menyuarakan penolakan renovasi dan menuntut hak untuk kembali ke selasar. “Kami semua menjadi miskin! Dagangan tidak laku! Kami ingin kembali ke selasar!” teriak massa aksi kepada pejabat DPRD yang berada di dalam gedung. Sayang, pihak DPRD telah mengkonfirmasi tidak akan menemui massa aksi.
Mengingat enam belas pedagang belum mendapatkan hak atas lapaknya, para PKL tergerak untuk menuntut transparansi dalam proses relokasi. Selain itu, para PKL juga aktif menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang mengatasnamakan sumbu filosofi, yang justru memaksa PKL tersingkir ke tempat yang tidak diinginkan.
Memutus Penghidupan PKL
Keresahan PKL Malioboro pun semakin menjadi karena masalah ini sampai merenggut nyawa beberapa teman mereka.
“Setiap bulan 2–3 orang itu innalillahi [meninggal dunia-red] karena memang dampaknya luar biasa. Kemudian, juga banyak dari teman-teman PKL yang terlilit utang di bank-bank itu (sehingga-red) dikejar-kejar oleh pihak bank untuk segera membayar. Ada juga yang mengenaskan, teman kami, anaknya yang sedang kuliah sampai putus kuliah,” jelas Supriyati, salah seorang anggota Paguyuban Tri Dharma PKL Malioboro.
Tak lupa, evaluasi dan pengawasan yang ketat dari pemerintah juga diharapkan oleh para PKL. Berdasarkan keterangan narasumber, masih banyak ditemukan lapak siluman, lapak bonus untuk pengurus organisasi atau paguyuban yang didapatkan dengan cara tidak benar. Hal ini menyebabkan sebanyak enam belas pedagang belum mendapatkan lapak, padahal validasi faktual telah diadakan pada 2023 dan sudah dikeluarkan surat rekomendasi Panitia Khusus (Pansus).
Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro masih sangat berharap mereka dapat kembali ke selasar karena dari sana kesejahteraan mereka akan kembali. Relokasi demi Sumbu Filosofi mulanya dianggap mendatangkan kesejahteraan justru berakhir sebaliknya. Oleh sebab itu, Perwakilan Paguyuban Tri Dharma PKL Malioboro menyampaikan bahwa massa aksi menaruh keyakinan bahwa, lewat unjuk rasa ini, akan diperoleh jawaban pasti dari pemerintah daerah atau pemerintah kota.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak DPRD DIY terkait tuntutan para PKL. Sementara, massa aksi masih bertahan di depan gedung dewan, berharap suara mereka didengar. “Ini bukan hanya soal lapak, tapi soal hidup dan mati kami. Kami akan terus berjuang sampai hak kami dipulihkan,” tegas Supriyati, sembari memimpin demonstran yang kembali meneriakkan “Selasar untuk rakyat!” dengan lantang.
Penulis: Natasa, Naomie
Penyunting: Jonathan Sihotang
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah