“Tuhan Maha Baik, melalui kuasa-Nya telah menjawab penyingkapan misteri terselubung kasus buruh di lingkungan PT Freeport Indonesia sejak 2017,” bunyi dokumen rilis pers yang dikirim oleh Mang Tri, perwakilan kolektif mogok kerja di Jakarta, kepada BPPM Mahkamah, Selasa (11/2/2025). Dalam dokumen delapan lembar itu, Mang Tri merincikan kasus gratifikasi di lingkungan PT Freeport serta peminggiran yang dialami oleh pekerja sebagai imbas perebutan divestasi saham 51% antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
Dari Freeport ke Disnaker Papua
Gratifikasi yang dilaporkan oleh dokumen rilis pers dari Mang Tri sebenarnya bukan pemberitaan pertama. Sejumlah media lokal Papua telah memublikasikan aksi mogok yang dilakukan oleh 8.300 pekerja PT Freeport Indonesia. Dalam aksi mogok ini, Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, menjadi kuasa hukum bagi 8.300 pekerja PT Freeport Indonesia. Gobay menyebutkan adanya aliran dana gratifikasi dari PT Freeport ke Disnaker dan menaruh curiga bahwa dana tersebut berkaitan langsung dengan mogok kerja yang dilakukan ribuan pekerja sejak 1 Mei 2017. Menurutnya, aksi mogok kerja dipicu oleh kebijakan furlough yang terbit sebagai dampak sengketa saham antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia. Padahal, kebijakan furlough tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Furlough merupakan kebijakan ketenagakerjaan Amerika Serikat yang diadopsi manajemen PT Freeport Indonesia tanpa adanya dasar hukum nasional yang jelas.
Kasus gratifikasi ini menjadi semakin rumit dengan adanya bukti berupa permohonan gugatan fiktif positif berisikan ketidakpuasan atas tindakan Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Papua yang tidak menerbitkan Nota Pemeriksaan II, bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Menurut sumber dalam rilis pers, sidang gugatan fiktif positif di PTUN Jayapura ini melibatkan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja dan Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua (Disnaker Provinsi Papua). Sementara, pihak Pemohon diwakili oleh LBH Papua dan Termohon diwakili pengacara Albert Bolang, S.H. Dalam sidang di PTUN Jayapura, kehadiran pengacara PT Freeport Indonesia dalam konflik keternagakerjaan antara pekerja dan Disnaker Provinsi Papua telah menjadi langkah tidak wajar yang mengindikasikan adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan. Merespon krisis yang terjadi, perwakilan kelompok mogok kerja di Jakarta turut mengambil langkah pengaduan maladministrasi ke Ombudsman pusat.
Berdasarkan data yang dibocorkan, PT Freeport Indonesia telah menggelontorkan dana sebesar Rp95.283.600,00 kepada pejabat negara dan ASN, baik untuk kegiatan ketenagakerjaan langsung maupun tidak langsung. Pemberian dana tersebut terbagi menjadi alokasi untuk kelompok Provinsi Papua yang beranggotakan enam personel dan Kabupaten Mimika yang beranggotakan tujuh personel.
Data yang dikirim juga menyebutkan bahwa Kepala Disnaker Provinsi Papua melakukan pertemuan dengan Kementerian Ketenagakerjaan pada tanggal 17—30 Juli 2020 menggunakan biaya akomodasi sebesar Rp22.131.200,00. Pertemuan yang berlangsung dua pekan itu diikuti pula oleh lima personil ASN dengan akomodasi sebesar Rp54.962.400,00 Sementara pengeluaran dana yang tidak berhubungan langsung dengan ketenagakerjaan tercatat pada tanggal 31 Juli—3 Agustus 2020 dengan total Rp4.280.000,00. Di luar itu, masih terdapat dana yang digunakan oleh Staf Disnaker Provinsi Papua sebagai biaya akomodasi dan transportasi untuk mendampingi pertemuan antara Kepala Dinas dan Kementerian Ketenagakerjaan serta dana sejumlah Rp81.376.600,00 untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan lainnya di luar agenda ketenagakerjaan. Terakhir, untuk alokasi di Kabupaten Mimika, digunakan Rp13.910.000,00 sebagai biaya akomodasi pertemuan antara Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Mimika beserta staf ASN dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Laporan audit yang hanya menyertakan jumlah pengeluaran, tanpa rincian mengenai jenis transportasi maupun fasilitas yang dimaksudkan, tentu memantik pertanyaan mengenai transparansi pengelolaan dana. Maladministrasi tersebut menuntun pekerja pada kecurigaan gratifikasi serta pelanggaran Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengenai suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.
Lewat surel yang dikirimkan, pekerja PT Freeport Indonesia juga menyebut bahwa, dengan adanya temuan, para pejabat pemerintahan beserta para ASN di lingkungan kabupaten telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar Pasal 4 Angka 8 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin pegawai Negeri Sipil. Selain itu, para pihak yang terlibat gratifikasi juga telah melanggar Peraturan Bupati Mimika Pasal 3 Nomor 10 Tahun 2016 dan menampilkan krisis independensi yang melanda Disnaker Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika.
Apa yang Baru?
Aksi mogok yang dilakukan oleh 8.300 pekerja PT Freeport Indonesia telah berlangsung selama hampir delapan tahun. Akan tetapi, hingga artikel ini ditulis, keadilan bagi para pekerja masih belum jelas. Dalam menyikapi aksi mogok yang dilakukan pada 2017 silam, PT Freeport Indonesia tidak sekalipun menunjukkan iktikad baik untuk menuntaskan permasalahan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan industrial dan, secara terang-terangan, mengabaikan hak-hak normatif para pekerja. Menurut catatan, PT Freeport Indonesia bahkan tidak mengindahkan isi Nota Pemeriksaan I yang menyatakan bahwa (1) PT Freeport Indonesia wajib menyelesaikan permasalahan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) sesuai muatan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sampai dengan didapatkannya putusan tetap dari Pengadilan Hubungan Industrial; dan (2) selama putusan lembaga PPHI belum ditetapkan, baik Pengusaha maupun Pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sebagaimana ketentuan Pasal 155 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua, tertanggal 16 Desember 2019.
Sikap PT Freeport Indonesia yang tidak menjalankan perintah Nota Pemeriksaan I hingga batas waktu tiga puluh hari pascarilis semestinya ditindaklanjuti lebih lanjut lewat penerbitan Nota Pemeriksaan II, sesuai ketentuan Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 jo. Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan. Sayangnya, Nota Pemeriksaan II tak kunjung dikeluarkan oleh Disnaker Provinsi Papua. Kejanggalan Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Papua dalam mengeluarkan Nota Pemeriksaan akhirnya mendorong LBH Papua untuk mengajukan permohonan fiktif positif ke PTUN Jayapura.
Tidak berhenti sampai di sana, pada tahun 2020, kembali ditemukan dugaan gratifikasi oleh PT Freeport Indonesia yang menyasar Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Dinas PPKUKM) Provinsi Papua mengenai 8.300 pekerja yang dianggap mengundurkan diri 2017 silam. Disinyalir kuat bahwa dana yang masuk kembali digunakan untuk membiayai pertemuan antara Disnaker Provinsi dan Kementerian Ketenagakerjaan, berikut akomodasi lainnya. Menanggapi krisis, LBH Papua turut mendesak KPK untuk menindaklanjuti perkara gratifikasi. Namun, berdasarkan informasi terbaru yang diterima oleh redaksi, lagi-lagi belum ada tanggapan apa pun dari KPK mengenai gratifikasi yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.
Selain itu, LBH Papua juga menyoroti audit inspektorat tertanggal 21 Juni 2021, mengenai rincian gratifikasi yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia kepada terduga tujuh PNS Dinas PPKUKM Provinsi Papua, yang baru diserahkan pada 13 Januari 2025. Momen diserahkannya audit inspektorat kepada LBH Papua di Januari 2025 lalu juga memberi kesempatan bagi isu pemenuhan hak pekerja PT Freeport Indonesia untuk kembali muncul ke permukaan. Pada Kamis (13/2/2025), Fredo Ardo Ansanai, perwakilan dari pekerja yang melakukan aksi mogok telah menyerahkan laporan hasil audit Inspektorat terkait gratifikasi PT Freeport Indonesia kepada sejumlah pejabat Pemprov dan Pemkab yang bertanggung jawab atas penyelesaian antara 8.300 pekerja yang mogok dengan PT Freeport.
Laporan Ini bukan yang pertama kali diajukan oleh perwakilan pekerja mogok. Sejak tahun 2017, terhitung sudah ada tiga aduan yang diberikan kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti. Sebelumnya, laporan juga pernah dibuat secara daring melalui email pada tanggal 9 Oktober 2023. Lalu, dengan bukti-bukti yang sama kembali diajukan melalui laman web LAPOR! di pertengahan tahun 2024. Seperti yang sudah-sudah, kedua laporan tersebut tidak ditindaklanjuti sehingga, pada 13 Februari 2025, perwakilan dari pekerja mogok mengajukan kembali bukti-bukti gratifikasi kepada Kejaksaan Tinggi Papua yang saat ini masih dalam penalaan oleh Kasidik Kejaksaan Tinggi Papua.
Jalan Terjal Menuntut Hak
Pada tanggal 17 Februari 2025, Sonny Zeth Jikwa dan sejumlah perwakilan kolektif mogok kerja di Jakarta telah mendatangi kantor Kementerian Ketenagakerjaan untuk menyampaikan surat pengaduan kepada Menteri Ketenagakerjaan. Harapannya, penyelesaian dapat dilakukan oleh kementerian yang berwenang untuk membimbing dan melakukan supervisi atas pelaksanaan urusan ketenagakerjaan di daerah. Di sisi lain, kolektif mogok kerja juga menuntut utang penjelasan mengenai efektivitas peraturan dan keambiguan proses penegakan hukum kepada Kementerian Ketenagakerjaan.
Kasus gratifikasi yang melibatkan PT Freeport Indonesia dan Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua beserta pejabat pelaksana teknis fungsionalnya telah memperkeruh status quo. Kondisi ini berimplikasi pada dua situasi pelik yang saling berkaitan: gagalnya pemerintah dalam mewakili kepentingan pekerja secara luas dan tindakan aktif negara dalam memperlemah serta meminggirkan pekerja di lingkungan PT Freeport Indonesia.
Masih terpatri jelas di memori para pekerja mengenai dosa-dosa Kementerian Ketenagakerjaan yang turut andil dalam eskalasi kasus pemogokan Pekerja PT Freeport Indonesia, terhitung sebanyak tiga kali dalam periode Mei hingga Juli di tahun 2017 silam. Absennya Kementerian dalam memandu, mengawal, dan mengintervensi permasalahan ketenagakerjaan—terlepas adanya kapasitas dan kapabilitas berlandaskan hukum untuk mengambil tindakan—turut berkontribusi pada berlarut-larutnya masalah tanpa solusi yang jelas, telah menempatkan para pekerja di ambang ketidakpastian; berujung pada konsekuensi-konsekuensi berupa anggapan mangkir, dikualifikasikan sebagai “mengundurkan diri”, serta paksaan untuk mengikuti Program Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela (PPHKS) oleh manajemen PT Freeport Indonesia. Tentu, berbagai konsekuensi ini kian menambah tekanan finansial serta emosional para pekerja dan keluarga mereka.
Pada Januari 2018, surat pengaduan yang diajukan Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT Freeport Indonesia (PUK SPEP SPSI PTFI) kepada Disnaker Kabupaten Mimika terkait kebijakan furlough—terindikasi tindakan pemberangusan serikat (union busting)—oleh manajemen PT Freeport Indonesia juga tidak membuahkan hasil. Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Timika (Disnaker Timika) justru mengelak dari tanggung jawab dengan mengatakan bahwa kewenangan tersebut telah berpindah ke provinsi, berbanding terbalik dari pernyataan terdahulu mengenai komitmen Disnaker Timika untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran. Kini, hampir lima tahun berlalu sejak upaya penyelesaian, jalan keluar tidak kunjung ditemukan. Permasalahan terkait pemogokan pekerja yang sudah terlampau rumit malah diperparah oleh konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang dari para pemangku kekuasaan.
Di samping tuntutan evaluasi pejabat pelaksana teknis bidang ketenagakerjaan, baik di Provinsi Papua maupun Kabupaten Mimika, perwakilan pekerja juga meminta diadakan audit dan peninjauan kembali kinerja Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjaan (Tim P3K) yang dibentuk pada tanggal 9 Maret 2017 oleh Menteri Ketenagakerjaan melalui Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 43 Tahun 2017 sebagai respon dari desakan pekerja, salah satunya melalui Surat No ADV.019/PUK SPKEP SPSI PTFI/II/2017 perihal Keprihatinan dan Permohonan Bantuan Kepada Menteri Tenaga Kerja RI. Dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, Tim P3K gagal menghasilkan perkembangan signifikan atas upaya penyelesaian masalah dan pada akhirnya lepas tanggung jawab dengan kembali mengarahkan proses penyelesaian masalah melalui mekanisme bipartit, tripartit berupa mediasi, hingga Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Terlepas dari konsistensi P3K dalam menampilkan inkompetensi, hingga kini tim tersebut tetap berdiri.
Melalui dokumen yang dikirimkan oleh Mang Tri, ditegaskan pula bahwa pekerja yang menjadi korban dari suatu perjanjian keperdataan yang tidak adil seharusnya memiliki hak untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum, seperti yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Gratifikasi, pembiaran atas laporan dari pekerja, ketidakhadiran Kementerian Ketenagakerjaan, kegagalan tim P3K, furlough dengan dalih efisiensi tanpa dasar hukum yang jelas, dan aksi peminggiran lainnya menunjukkan bahwa perjuangan meraih keadilan masih sangat panjang. Hingga kini, pekerja yang sebelumnya telah berada dalam posisi tawar yang lemah menjadi semakin tidak diuntungkan oleh realita pemangsaan struktural oleh negara maupun perusahaan yang mempraktikkan, mendukung, hingga melegitimasi terjadinya ketidakadilan.
Penulis: Bianca Aurelia, Fahar Khair Widarto, Jessica Arundatu Setiawan, Najla Mazaya Azka, Nasywa Intan, Nayla Sabita Kanaya
Tim Pencari Fakta: Ahwa Tajiro, Fatiha Reva Sofia
Penyunting dan Penanggung Jawab: Jonathan Toga Sihotang
Desain: Rugayya Maulida Husain