Pada hari Kamis (23/1/2025), DPR RI resmi menyetujui Revisi UU Minerba melalui sidang paripurna. Baleg DPR hanya memerlukan satu hari untuk menyepakati revisi tersebut, yaitu pada Senin (20/1/2025) sebelum disahkan menjadi RUU tiga hari setelahnya.
Terdapat sejumlah poin dalam revisi UU Minerba yang kontroversial dan menjadi atensi publik. Salah satu di antaranya adalah penambahan pasal 51A yang memuat pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi. Selain penambahan pasal tersebut, juga terdapat perubahan pada pasal 75 yang mengkategorikan koperasi, badan usaha kecil dan menengah, badan usaha milik organisasi masyarakat keagamaan, dan badan usaha milik perguruan tinggi sebagai pihak yang dapat memperoleh Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan bahasa yang lebih sederhana, jika revisi UU Minerba nantinya telah disahkan, perguruan tinggi dapat ikut serta mencari keuntungan melalui usaha pertambangan. Revisi UU Minerba ini, menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco, merupakan wujud semangat untuk membantu perguruan tinggi mencari dana.
Melenceng dari Tridharma Perguruan Tinggi
Pada Pasal 1 UU Nomor 12 Tahun 2012, terdapat tiga kewajiban utama perguruan tinggi—biasa disebut dengan Tridharma Perguruan Tinggi. Tiga kewajiban ini masing-masingnya berisi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Jika revisi UU Minerba ini disahkan, perguruan tinggi harus berada dalam posisi yang berlawanan dengan Tridharma-nya. Dalam bahasa Prof Cecep Darmawan ketika memberi komentar terkait tidak idealnya, posisi tersebut,kampus seharusnya tidak mencari uang, tetapi melaksanakan Tridharma. Terlebih, dalam pengelolaan usaha pertambangan, tidak jarang muncul konflik atau dampak buruk terhadap masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Baik itu konflik nyata seperti sengketa lahan tambang dengan masyarakat sekitar atau dampak limbah tambang yang membahayakan kesehatan. Singkatnya, perguruan tinggi akan terang-terangan melanggar Tridharma-nya sendiri bila menerima pengelolaan tambang.
Biaya Pendidikan Makin Murah?
Narasi mengenai penurunan biaya pendidikan bila perguruan tinggi diberi izin untuk mengelola tambang nampaknya akan semakin santer disuarakan dalam upaya pemerintah menghegemoni opini publik. Lantas, benarkah narasi itu? Apabila kita meninjau sejumlah badan usaha milik universitas yang telah ada, masih didapati badan usaha yang beroperasi hanya untuk menutup biaya operasionalnya sendiri—atau bahkan mengalami defisit. Universitas Brawijaya (UB),misalnya. menurut laporan dari Dirut BPU UB, pada tahun 2023, badan usaha kesehatan milik kampus masih mengalami defisit. Selain UB, nasib yang sama juga dialami oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai imbas dari gagalnya pembangunan Gama Plaza. Terlalu dekatnya kawasan Gama Plaza dengan jalan raya justru mengakibatkan UGM harus membayar ganti rugi senilai Rp44,2 miliar kepada pihak kontraktor.
Badan usaha milik universitas belum dapat menunjukkan jejak yang baik dalam mengelola usaha, terlebih dalam skala sebesar pertambangan. Belum lagi bila mempertimbangkan besarnya modal serta lamanya Break Even Point (BEP) dalam pengelolaan tambang. Di luar perkara teknis, sejumlah kampus bahkan masih dihantui dengan bayang-bayang tindak pidana korupsi, kasus yang dialami oleh Universitas Bandung dan Universitas Udayana menjadi dua contoh berarti yang sepatutnya dipertimbangkan. Menjadi semakin jelas bahwa banyaknya ketidakmatangan dalam rencana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi malah berpotensi menimbulkan bom waktu dan menjadi malapetaka.
Demi Perguruan Tinggi
Penolakan atas revisi UU Minerba telah marak bermunculan, bahkan ketika isu revisi pertama kali naik ke publik. Bukan hanya dari pengamat politik dan lingkungan, tokoh-tokoh intelektual kampus juga dibuat angkat suara. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, adalah salah satunya. Ia mengungkapkan bahwa revisi UU Minerba akan merubah haluan kampus. Kampus yang harusnya condong pada pengembangan akademik, akan berubah menjadi condong kepada pengembangan bisnis. Sayangnya, hal berseberangan justru diungkapkan oleh Sumaryanto, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Ia menyatakan siap melaksanakan jika didawuhi. “Kami kan multi, misalnya dari aspek teknologi punya fakultas teknik, dari aspek biologi kimia fisika wonten,” ujar Sumaryanto ketika mengungkapkan kesiapan UNY untuk mengelola usaha pertambangan.
Beragamnya keberpihakan perguruan tinggi terhadap isu pemberian WIUP dapat terjadi, salah satunya, akibat krisis dana operasional kampus. Tidak heran, pengelolaan tambang seolah-olah terlihat sebagai solusi mutakhir atas permasalahan yang ada. UGM sendiri, pada 2024, mengaku masih defisit anggaran hampir Rp1 triliun selama lima tahun terakhir.
Sejatinya, pemberian izin tambang pada perguruan tinggi hanyalah satu dari banyak hal yang dapat diupayakan pemerintah untuk mengatasi masalah dana perguruan tinggi. Masih terdapat banyak upaya lain—yang sayangnya diabaikan—seperti peningkatan alokasi anggaran, pengembangan program beasiswa, atau bantuan terhadap usaha milik perguruan tinggi yang telah ada. Ironisnya, beragam solusi lain justru terbukti jauh lebih aman dan efisien bagi perguruan tinggi. Pemerintah seharusnya memberi solusi yang tidak sekadar nyata, melainkan juga aman bagi perguruan tinggi. Bukan malah menawarkan mekanisme eksperimental ekstrem yang hanya mengglorifikasi kemewahan usaha pertambangan.
Penulis: Ahwa Tajiro
Penyunting: Jonathan Sihotang