BPPM Mahkamah, Yogyakarta — Lonjakan kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali memicu gelombang desakan publik pada Jumat (17/10) di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM). Dimobilisasi oleh Kenduri Suara Ibu, aksi kali ini hadir sebagai tuntutan rutin warga, merespons kegagalan pemerintah dalam merancang MBG. Sebelumnya, Kenduri Suara Ibu Indonesia memang sudah dua kali menggelar aksi serupa selama dua pekan berturut-turut.
Massa aksi mulai memenuhi area bundaran sejak pukul 15.30 WIB. Beberapa di antaranya membawa peralatan masak, seperti panci dan spatula, untuk dibunyikan sepanjang rangkaian aksi. Tepat setengah jam setelahnya, pada pukul 16.00 WIB, Kenduri Suara Ibu Indonesia dimulai secara serentak. Aksi digelar dalam bentuk diskusi interaktif. Diawali oleh pemantik yang menyuarakan kekecewaannya lantaran tuntutan tak kunjung ditanggapi pemerintah.
Tuntutan menguat usai Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mencatat sebanyak 11.566 anak menjadi korban keracunan MBG per Senin (13/10). Dalam data tersebut, 1.700 orang di antaranya merupakan siswa dan guru menjadi korban keracunan di Bandung Barat. Sedangkan, dalam konteks lokal, sebanyak 426 siswa SMAN 1 Yogyakarta mengalami keracunan pada Kamis (16/10) akibat konsumsi MBG sehari sebelumnya.
0,00017 Persen?
Pernyataan Prabowo menjadi salah satu sorotan dalam Kenduri Suara Ibu Indonesia. Pada Munas ke-6 PKS, ia menyebut kasus keracunan sebagai “deviasi” yang kecil jumlahnya, hanya 0,00017 persen. Berbanding terbalik dengan fakta lapangan yang terus-menerus disuarakan selama aksi.
“Sebetulnya, yang diungkapkan sebagai [0,00017 persen-red], kalau jumlah anak-anak itu 82 juta, itu sebenarnya adalah angka yang sangat besar. … Sebagai Ibu, saya memiliki anak juga dan saya menuntut pemerintah untuk menyediakan gizi dan pangan yang bermartabat dan layak untuk anak-anak di Indonesia,“ komentar Kalis, salah seorang peserta aksi.
Beberapa peserta aksi juga menyoroti rancangan MBG yang sangat serampangan, berbanding terbalik dengan besarnya jerih payah orang tua untuk memastikan ketercukupan gizi anak-anak. Iyik, dosen Fakultas Hukum UGM, menyebut watak itu sebagai suatu pengerdilan. Pasalnya, Prabowo hanya memandang upaya seorang ibu dengan sebelah mata. “Kita ngurus anak itu luar biasa. Makannya, sayurnya, kalori apa yang didapat, berminyak atau tidak. Menurut saya, Pak Prabowo itu mengecilkan upaya kita, ibu-ibu, yang selama ini mengurus anak-anak dengan sungguh.” ujar Iyik.
Peserta aksi lain, Prima namanya, memiliki pandangan yang tak jauh berbeda dengan Iyik. Di samping kecewa, Prima menekankan bahwa satu nyawa bahkan terlalu banyak untuk menjadi korban keracunan, “Satu nyawa terlalu banyak walaupun itu keracunan. Kalau seandainya mereka [pemerintah-red] merasa bahwa itu ‘cuma’ gitu, ya, coba mereka lakukan itu [meracuni-red] ke anak-anak mereka sendiri, gitu. Anak mereka kalau dihitung—satu, dua, tiga—apakah mereka akan menganggap itu sebagai [0,00017 persen-red] juga, gitu?”
Problematika Persetujuan
“Bu, aku makan [MBG-red], gak, ya?” ujar Widya, salah satu narasumber diskusi. Dalam pengamatan Widya, pengadaan MBG di sekolah hanya didahului oleh pemberitahuan sepihak, tanpa melibatkan persetujuan orang tua atau wali siswa. Selain itu, pengadaan MBG juga bertepatan dengan terungkapnya kasus-kasus keracunan di daerah lain.
Meskipun orang tua siswa sudah berupaya menyampaikan keberatan, status MBG tetaplah final dan tidak dapat diubah oleh pihak sekolah. “Jadi yang bisa kami lakukan adalah dari anak kami saja, entah dia menolak atau dia makan, tapi sangat hati-hati,” lanjutnya.
“Tidak mungkin setiap saat saya harus khawatir [memikirkan-red] apakah makanan tersebut beracun atau dapat dimakan, padahal jika saya beli makanan atau diberi tetangga, saya rasanya tenang, tidak khawatir mengenai makanan tersebut. Sebagai orang tua, tentunya kita ingin selalu tenang, kita di rumah saja memberikan makanan yang terbaik untuk anak, tetapi, kok, negara malah memberikan yang tidak terbaik,” lanjutnya.
Solusi Warga
Jaya Darmawan, peneliti Center Of Economic and Law Studies (CELIOS), juga hadir sebagai narasumber. Dalam panelnya, Jaya memperkenalkan MBG Watch, platform untuk mengakomodasi pelaporan dan pengawasan program MBG. “Ada di web-nya mbgwatch.org juga. Sudah ada 146 laporan yang masuk per hari ini,” ujarnya.
Berdasarkan pemaparan Jaya, sampai hari ini, laporan yang diterima oleh MBG Watch didominasi oleh kasus kontaminasi, ketidakmatangan, keracunan, dan rendahnya kualitas gizi menu MBG. Oleh karena itu, bila MBG tidak dihentikan, warga akan ikut ambil tindakan, memberi solusi, “Kalau pemerintah tetap nekat melaksanakan MBG maka kita beri jalan keluarnya. Pertama, anggarannya diberikan langsung kepada masyarakat sebab banyak riset menyatakan program perlindungan sosial terbaik, yaitu program yang langsung diberikan kepada masyarakat karena [alur-red] birokrasinya lebih kecil dan tidak rawan korupsi. Kedua, [anggarannya-red] dikelola langsung oleh sekolah. Tetapi, dua-duanya tidak dijalankan, malah jadinya anak-anak kita yang dijadikan kelinci percobaan.”
Jaya juga mengungkit keserampangan Prabowo ketika memaparkan data. Pemaparan Prabowo hanya membanggakan angka, tanpa disertai prinsip akuntabilitas atau metodologi yang tepat. “Program makanan bergizi atau kesehatan itu [adalah-red] program zero accident. Tidak boleh ada satu pun orang yang mengalami keracunan atau sakit sampai dibawa ke rumah sakit, dan ketika puluhan ribu anak-anak hanya dinyatakan secara data, tanpa prinsip yang tepat. Itu [hanya membaca data angka-red] namanya kekeliruan dan keserampangan,” tekannya.
Aksi Kolektif
Selain menuntut penghentian MBG, aksi Kenduri Suara Ibu Indonesia juga berorientasi pada mobilisasi kesadaran publik. Pasalnya, penolakan MBG hanya dapat efektif ditempuh secara kolektif. Beberapa massa menanggapi tujuan itu dengan usulan strategi. Nikol salah satunya. Menurut Nikol, tiga dari 198 metode aksi nirkekerasan dapat diaplikasikan oleh masyarakat untuk menolak MBG: persuasi, nonkooperasi, dan intervensi.
Persuasi dapat ditempuh melalui penyelenggaraan aksi. Sedangkan, nonkooperasi harus spesifik dilakukan oleh pihak sekolah dan orang tua dengan menolak pengadaan MBG. Terakhir, intervensi lewat aksi speak-in: melawan pembatasan ruang-ruang bicara. Harapannya, gabungan ketiga metode tersebut dapat menghasilkan daya tekan yang signifikan untuk menghentikan MBG.
Harus Dihentikan
Menjelang pukul 17.00 WIB, Kenduri Suara Ibu Indonesia mulai memasuki agenda terakhir, pembacaan rilis pers. Sekurang-kurangnya, tuntutan yang diajukan oleh massa mencakup lima poin sederhana. Pertama, menghentikan MBG yang berwatak sentralistik dan militeristik. Kedua, memenuhi akuntabilitas publik atas ribuan kasus keracunan. Ketiga, membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap rentetan kasus keracunan. Keempat, mengusut praktik korupsi dan buru rente dalam pelaksanaan MBG. Kelima, mengembalikan peran pemenuhan gizi anak kepada komunitas.
Ketika ditanya soal harapan, peserta aksi mengerucut pada dua jawaban: penghentian segera program MBG serta penyelidikan komprehensif dalam segala aspek, terkhusus soal insiden keracunan, dugaan korupsi, dan sistem pengawasan. “Salah satunya adalah kami menuntut program ini dihentikan sementara untuk dievaluasi. Jadi, dicari tahu masalahnya apa karena ketika presiden atau pejabat-pejabat yang terkait merespons kasus-kasus keracunan ini, … apa pun yang mereka lakukan sejauh ini terbukti gak ada gunanya karena keracunannya terus terjadi,” curah Prima.
Bagi para ibu, keracunan massal akibat MBG tidak dapat ditoleransi. Banyaknya siswa, guru, bahkan orang tua yang telah menjadi korban dalam kurun waktu singkat membuktikan morat-maritnya penyelenggaraan MBG. Dalam artikulasi kalimat apa pun, kebobrokan MBG jelas di depan mata. Demikian pula, pandangan warga tak akan berubah: “[Pemerintah harus-red] segera mendengar tuntutan [massa-red] dan menjalankannya!”
Penulis: Othniel Edilza Pascha Liecoalu dan Lussi Katrina Vagos
Penyunting: Fatiha Reva Sofia
Desain: Alexandra Mayla Pramesti
Penyelia Naskah: Jonathan Toga Sihotang