BPPM Mahkamah, Yogyakarta — Selasa (11/3) tepat pukul 19.00 WIB, puluhan orang memadati Kantin Bonbin, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), setelah poster Diskusi Publik “Gerakan Mahasiswa: Formulasi, Patronisme, dan Elitisme” tersebar di media massa. Diskusi ini menjadi kelanjutan dari perdebatan yang berlangsung beberapa hari sebelumnya di kanal media sosial X antara Jonathan Toga Sihotang, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM angkatan 2024, dan Gilap Pinaka Baladhika, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM angkatan 2023. Hal ini bermula dari cuitan Gilap Pinaka Baladhika, alias Pinaka, tentang rasa keberatannya atas kritik dan protes yang dilayangkan terhadap sikap Departemen Aksi dan Propaganda (Akspro) Dewan Mahasiswa Justicia pada aksi International Women’s Day (IWD). Dalam diskusi ini, Kepala Badan Penjamin Mutu Organisasi Dewan Mahasiswa Justicia, Ahwa Tajiro Yustio, hadir sebagai moderator. Eksklusivitas pergerakan mahasiswa menjadi sorotan utama dalam pembahasan bergulir di forum.
Patronisme Pergerakan
Diskusi dibuka dengan Pinaka yang menyampaikan pendapatnya tentang isu patronisme. Pinaka menganggap patronisme sebagai sebuah penyakit yang menggerogoti sendi-sendi pergerakan rakyat dan menciptakan massa pergerakan yang pasif serta bergantung kepada si ‘patron’.
Pinaka, dalam perannya sebagai Kepala Departemen Akspro, menegaskan bahwa masalah patronisme yang sudah mengakar dalam pergerakan rakyat ini dapat dilunturkan dengan cara meminta patron untuk tidak terlalu vokal mengenai perspektif dan peran pribadinya demi menjaga individualitas pandangan masing-masing orang. “Patronisme merupakan hal yang negatif bagi [pergerakan-red] Akspro dan menjadi isu krusial untuk diselesaikan,” ujarnya.
Di sisi lain, Jonathan menganggap bahwa usulan Pinaka kurang efektif sebab patronisme menjadi kultur yang telah diinstitusionalkan dan melekat dalam pergerakan. Perombakan dengan skala yang besar dibutuhkan untuk membebaskan pergerakan dari penyakit ini.
Budaya Eksklusivisme
Menanggapi kesalahpahaman yang terjadi akibat cuitannya di platform X, Pinaka menjelaskan bahwa eksklusivitas dalam Departemen Akspro terbentuk dari budaya departemen itu sendiri. Pinaka menyatakan budaya ini lahir dari sejarah terbentuknya Departemen Akspro yang dibentuk ketika api pergerakan mahasiswa Fakultas Hukum UGM mulai redup. “Akspro hadir sebagai pemantik api semangat juang pergerakan mahasiswa FH UGM,” tambah Pinaka. Keberhasilan tersebut menumbuhkan budaya eksklusivitas yang kemudian melekat dalam tubuh Departemen Akspro. Jonathan berpendapat bahwa eksklusivitas yang terus mengendap dalam Departemen Akspro menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketidakmampuan Departemen Akspro dalam berjejaring dan menghimpun massa, sehingga pergerakan yang dilakukan pun turut terhambat.
Ketidakmampuan Departemen Akspro akan hal ini dapat terlihat dari sistem yang dijalankan pada grup Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Grup ini hanya bersifat satu arah dan Akspro berperan sebagai satu-satunya corong informasi di dalamnya. Hal tersebut menuai kritikan dari Jonathan, “kalau gitu, kasih nama aja [grup-red] broadcast Akspro.”
“Melebur” Bersama Rakyat
Saat moderator memberi kesempatan pada forum untuk menanggapi, salah satu peserta diskusi yang berasal dari Fakultas Biologi UGM mengangkat tangan. Ia bertanya kepada Pinaka dan Jonathan mengenai bentuk demonstrasi yang baik dan benar. Menurut Pinaka, demonstrasi yang baik adalah demonstrasi yang tidak terkotak-kotak, tetapi melebur menjadi satu bersama rakyat. Jonathan setuju dengan pendapat Pinaka bahwa demonstrasi tidak boleh terkotak-kotak. Namun, ia juga menanggapi pernyataan Pinaka dengan menegaskan bahwa diksi “melebur” tidak diperlukan karena mahasiswa masih menjadi bagian dari rakyat. “Kita [mahasiswa-red] rakyat, untuk apa melebur jika kita [mahasiswa-red] rakyat?” tanya Jonathan.
Markus Togar Wijaya, salah satu peserta diskusi, turut menyuarakan pendapatnya di hadapan forum mengenai diksi “melebur bersama rakyat”. Komis Pergerakan Dewan Mahasiswa Justicia itu menegaskan bahwa diksi “melebur” justru menguatkan dikotomi dalam pergerakan rakyat. “Gerakan mahasiswa adalah gerakan masyarakat,” ungkapnya.
Demonstrasi yang Baik dan Mitos Aksi Damai
Menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan sebelumnya, Jonathan menerangkan bahwa tidak ada kriteria bagi demonstrasi yang baik. “Kita masih meraba-raba, bagaimana cara melawan yang baik, bagaimana cara melawan yang benar, dan tidak ada salahnya untuk itu, untuk lebih mapan dalam melawan kekuasaan,” tegasnya.
Jonathan juga menyampaikan bahwa istilah “aksi damai” tidak ada. “Aksi adalah bentuk amarah rakyat,” tegas Jonathan. Melangsungkan aksi damai berarti menjalankan norma yang ditetapkan oleh pihak yang merepresi rakyat. Mahasiswa berperan untuk menghimpun amarah rakyat dan mengikuti gerakan sebagai rakyat. Budaya perwakilan oleh mahasiswa untuk menyuarakan amarah rakyat juga perlu dihapuskan karena seolah-olah masyarakat tidak dapat menyuarakan sendiri amarahnya.
Mahasiswa Adalah Rakyat
Mahasiswa perlu memiliki kesadaran bahwa pergerakan mahasiswa tidak boleh terpisah dengan gerakan rakyat, sekecil apa pun gerakan tersebut, sebab mahasiswa bukan entitas yang terpisah dari rakyat. Menyatunya mahasiswa dengan rakyat tidak semata-mata dibuktikan dengan melepas almamater saat melakukan aksi, tetapi juga diikuti dengan serangkaian kegiatan tanpa mengalienasi kelompok pribadi dari massa pergerakan lain. Mahasiswa hanya bagian kecil dari pergerakan kolektif yang ada dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sudah seharusnya istilah gerakan mahasiswa tidak lagi digunakan untuk menyebut gerakan yang diikuti oleh mahasiswa. Sejatinya, hanya ada satu istilah untuk menyebut gerakan perlawanan yang ada, yaitu gerakan rakyat. Mahasiswa adalah bagian dari rakyat, seperti yang diserukan oleh Jonathan dalam closing statement-nya, “mahasiswa, kamu adalah rakyat!”
Penulis: Clairine Salsabila Lola Naomi, Nadhif Ahmad Kalila, Mirza Zakiya Rahma Shoffa
Penyunting: Dyandra Syazana Oktavianto
Penyelia Naskah: Maritza Chelsea Salsabila
Desain: Kanaya Reissa
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah
Keterangan akhir: kilas ini dikerjakan oleh tim yang terpisah dari Pemimpin Redaksi (Jo) untuk menghindari konflik kepentingan. Penyeliaan naskah dilakukan oleh Maritza Chelsea Salsabila, Pemimpin Umum.


