BPPM Mahkamah menerbitkan tulisan Aliansi Mahasiswa UGM yang berisi rincian Aksi Desak Ova (21/5) dari Okupasi Balairung. Publikasi ini menjadi bentuk komitmen BPPM Mahkamah sebagai pers mahasiswa yang berpihak pada wacana kritis. Sekaligus, wujud solidaritas kepada Aliansi Mahasiswa UGM dan agenda anti-penindasan.
Publikasi dilakukan atas komunikasi dua arah dengan Aliansi Mahasiswa UGM dan tidak akan ditarik sampai Rektorat Universitas Gadjah Mada menampilkan keberpihakannya kepada rakyat.
- Sebelum dilakukannya audiensi, Rektorat telah melakukan konsolidasi dengan DPKM dan GIK untuk melakukan kontra-narasi atas tuntutan Aliansi Mahasiswa UGM. Akhirnya, pernyataan yang dibuat oleh Rektorat (re: terutama Ova Emilia) selama audiensi tak ubah membaca naskah—bukan benar-benar menjawab tuntutan dari Aliansi Mahasiswa UGM.
- Pada pukul ±16.00 WIB, pihak Rektorat mengatakan bahwa audiensi akan dilakukan di dalam Balairung. Aliansi Mahasiswa UGM menolak dan menyerukan agar Ova Emilia turun ke lapangan tempat okupasi berlangsung. Setelah sejumlah obrolan, barulah audiensi dapat berlangsung di lapangan tengah Balairung.
- Pihak Rektorat memaksa massa aksi untuk membuka identitas, menafikkan relasi kuasa bahwasanya rektorat memiliki backingan, kuasa, serta segala sumber daya yang dibutuhkan. Sementara, massa aksi disubordinasikan oleh kekuasaan kampus yang dapat melakukan drop-out dan surat peringatan.
- Aliansi Mahasiswa UGM menuntut Ova Emilia, selaku rektor, memberikan pernyataan selengkap-lengkapnya. Tetapi, selama audiensi, Ova berulangkali enggan—menolak dengan terang-terangan—untuk memberikan pernyataan dan melempar mikrofon kepada jajaran Rektorat lainnya.
- Selama audiensi, Ova Emilia melakukan tokenisme dengan menempatkan dosen penyandang disabilitas sebagai figur “tameng”, dalam barisan Rektorat, tanpa diberikan ruang berbicara—seperti jajaran Rektorat lainnya.
- Aliansi Mahasiswa UGM menyatakan tuntutan pertamanya: agar Rektorat (sebagai institusi UGM, yang memiliki relasi dan kuasa dengan pemerintah dan lembaga negara) menyatakan mosi tidak percaya terhadap rezim. Berikut adalah respons rektorat:
- Rektorat menolak untuk memiliki keberpihakan. Menolak untuk menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan yang—secara telanjang—melakukan pelanggaran dan kejahatan terhadap rakyat. Rektorat memilih diam sebagai keputusan politik untuk melindungi dan melanggengkan penindasan yang dilakukan oleh negara, meskipun semua sumber masalah yang dihadapi oleh Rektorat, Mahasiswa, dan seluruh lapisan masyarakat adalah rezim pemerintahan yang busuk.
- Pertama, Rektorat, terutama Ova Emilia, menyatakan bahwa mosi tidak percaya adalah tindakan yang tidak akademis. Secara tidak langsung (a contrario), dapat diartikulasikan bahwa manusia dengan keberpihakan adalah sekumpulan subyek non-akademis—entah itu Rektor UII, Dewan Guru Besar FK UI, dan akademisi lain yang berpegang pada wacana keberpihakan.
- Kedua, Rektorat memandang mosi tidak percaya sebagai ihwal politis semata. Bahkan, berdasarkan keterangan lebih lanjut dari Ova Emilia, Rektorat menyatakan bahwa pendidikan harus dipisahkan dengan politik. Lewat sikap ini, Rektorat telah melakukan depolitisasi atas penindasan sistemik dan opresi sektor pendidikan yang terjadi selama rezim saat ini.
- Ketiga, Rektor menyatakan dukungannya kepada rezim—buntut sejumlah keputusan yang ia nilai baik. Di samping itu, pihak Rektorat juga memberikan jawaban ambigu ketika ditanya soal keberpihakan—spesifik—kepada rezim.
- Dalam pembahasan tuntutan pertama, disinggung mengenai KKN yang menjadi sarana eksploitasi: mahasiswa membayar uang untuk program-program kerja yang hanya menguntungkan UGM (sebagai sarana pengiklanan) dan pihak ketiga (negara dan mitra). Sebagai tanggapan, rektorat hanya memberikan janji (re: hati-hati janji palsu) untuk menghentikan eksploitasi mahasiswa.
- Pada tuntutan mengenai pendanaan pasca-efisiensi bagi UKM, fasilitas penunjang kegiatan belajar (contoh: software editing), dan infrastruktur kampus lainnya. Diperoleh tanggapan sebagai berikut:
- Rektorat berjanji untuk melakukan peninjauan ulang terhadap sistem jam malam di ruang-ruang kampus, dana UKM—yang justru diambil dari kantong pribadi anggota—dan infrastruktur penunjang kegiatan lainnya.
- Mengenai eksploitasi dalam bentuk magang, Rektorat memastikan payung hukum (re: kontrak kerja) terhadap para pelaku magang untuk sesuai dengan Permendikbud Nomor 63 Tahun 2024.
- Selanjutnya, Rektorat juga berjanji untuk membentuk MoU yang meregulasi hak-hak pekerja paruh waktu yang ditempatkan pada lingkungan tidak layak dan ditahan upahnya, paling lambat pada 22 Mei 2025 pukul 08.00 WIB. Jika tidak, Mahasiswa akan menempuh jalur hukum melalui Dikti.
- Mengenai kekerasan seksual, Rektorat berkelit menggunakan informasi bahwasanya Satgas PPKS sedang menyusun “buku tentang relasi sehat di kampus”.
- Berbekal informasi tersebut, Rektorat seakan mencuci tangan dari tuntutan Aliansi Mahasiswa UGM dan menutup mata atas kekerasan seksual berbasis gender yang selama ini terjadi—dan dibiakkan—di lingkungan kampus.
- Puncaknya, pihak Rektorat menyatakan bahwa UGM telah one step ahead dibanding kampus lain perihal urusan kekerasan seksual; menginvalidasi tuntutan dari Aliansi Mahasiswa UGM.
- Aliansi Mahasiswa UGM menuntut kejelasan atas keputusan—langsung—Ova Emilia untuk mengangkat polisi aktif sebagai Kepala K5L. Diperoleh jawaban sebagai berikut:
- Ova berdalih dengan menyatakan bahwa UGM memang menawarkan kerja sama dengan kepolisian untuk “mengabdi”, pun Kepala K5L yang menjabat sebelum ini juga merupakan polisi aktif yang kemudian pensiun pada masa kerjanya.
- Setelahnya, diketahui bahwa Kepala K5L-yang-menjabat-sebelum-ini dalam narasi Ova adalah Dan Yoyok, Babinsa yang dibekukan jabatan polisi aktif-nya setelah menjabat sebagai Kepala (re: hati-hati dibohongin Rektorat).
- Di sesi akhir, Rektorat menolak mendengarkan closing statement. Ketika memasuki poin kesimpulan kedua, Ova Emilia dan jajaran Rektorat, dengan angkuhnya, membalikan punggung dan mengabaikan tuntutan Aliansi Mahasiswa UGM—meninggalkan audiensi yang belum selesai tanpa bicara sepatah katapun.
- Aliansi Mahasiswa UGM berusaha membuat barikade untuk menghalangi Ova hengkang dari audiensi.
- K5L sebagai kepanjangan tangan Rektorat dan alat kekerasan melakukan opresi dengan mendorong, menarik, dan menyeret mahasiswa. Sejumlah mahasiswa bahkan disikut dan hendak dipiting—apapun namanya itu: K5L mencengkeram tengkuk seorang kawan mahasiswa dengan kasar, kemudian menyeretnya ke depan.
- Puncaknya—dengan tuntutan yang salah satunya menanyakan keberpihakan Rektorat pada kekerasan seksual berbasis gender—K5L justru membubarkan barikade kawan perempuan dengan paksa.
Catatan kaki: Judul tulisan diambil dari judul naskah kontra-narasi Rektorat (re: per tulisan ini rilis, Rektorat bisa mencari ide judul lain yang lebih kreatif dan jujur).



