BPPM Mahkamah, Yogyakarta — Suasana langit yang mendung tidak menjadi halangan bagi massa aksi untuk berkumpul di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta pada Kamis (27/3) sore. Poster dan spanduk agitasi telah terbentang sejak 16.23 WIB dan, sekali lagi, masyarakat sipil gelar aksi penolakan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Menurut keterangan salah satu koordinator aksi, aksi kali ini merupakan lanjutan dari aksi protes pengesahan RUU TNI seminggu sebelumnya, 20 Maret 2025, di depan kantor DPRD DIY. “Pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang merupakan ancaman serius bagi demokrasi negara dan masyarakat sipil,” ujar salah satu peserta aksi. Hal inilah yang menjadi urgensi pelaksanaan aksi untuk terus menyuarakan penolakan dan mendesak pencabutan UU TNI.
Selain penolakan terhadap UU TNI, terdapat tiga tuntutan lain yang diusung dalam aksi ini, pun seluruh aksi belakangan, yaitu turunkan Prabowo-Gibran, bubarkan Kabinet Merah Putih, dan bangun demokrasi kerakyatan. Masyarakat khawatir jika regulasi yang ada saat ini akan semakin mempersempit ruang demokrasi, termasuk di ranah pendidikan. Salah satu massa aksi bersaksi bahwa keberadaan UU TNI melahirkan kekhawatiran di masyarakat, ketika simpul-simpul untuk berkonsolidasi, berdialog, dan berdiskusi perlahan dibungkam.
Seorang peserta aksi yang lain menyatakan bahwa perjuangan massa sepatutnya tidak hanya berlangsung di Yogyakarta, tetapi juga menjadi gerakan nasional. “Kita, tidak bisa hanya melakukan perlawanan di Jogja saja dan berharap undang-undang ini dibatalkan, yang kita inginkan adalah bagaimana gerakan ini benar-benar ada di beberapa daerah dan dilakukan secara serentak,” ujarnya.
Seni untuk Melawan
Mengusung tema “Negara Sedang Gawat, Bangun Solidaritas Rakyat”, seni diangkat sebagai instrumen protes terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak prorakyat. Rasa ketidakpuasan ini kemudian dituangkan dalam bentuk spanduk, puisi, aksi teatrikal, hingga lagu yang berisi sindiran.

Pada pukul 17.08 WIB, Lara, salah seorang massa aksi, membacakan puisi yang ditulis oleh salah seorang temannya. Ia berdiri di sana untuk mengungkapkan sekaligus mewakili perasaan individu yang hadir: penuh lara, duka, dan kecewa terhadap negara. Rintik hujan yang membasahi kawasan Titik Nol Yogyakarta semakin menambah rasa prihatin atas matinya demokrasi di Indonesia.
“Macam Putra Jokowi back up-nya si Paman agar dapat jabatan.
Aku sandingkan dengan Prabowo karena mereka rakus harta dari hasil hutan.
Sedangkan si mantu Soeharto kita belum tahu bagaimana kinerjanya ke depan.
Sedangkan si mantu Soeharto kita sudah tahu bagaimana kinerjanya sekarang.”
Kutipan dari puisi yang dibacakan Lara menggambarkan bobroknya pemerintahan Prabowo-Gibran. Senada dengan puisi Lara, perwakilan dari Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) menyampaikan bahwa pengesahan RUU TNI oleh DPR memperlihatkan upaya negara untuk membungkam suara rakyat. Selain itu, ia juga mengkritik kebijakan efisiensi anggaran yang digagas oleh rezim Prabowo-Gibran. “Efisiensi anggaran yang itu adalah ide, yang itu adalah ide [atau-red] gagasan dari rezim Prabowo-Gibran itu akan berakibat pada meningkatnya angka putus sekolah di negara ini, kawan-kawan,” tegasnya.
Perwakilan KPR juga menyoroti sektor agraria yang masih dipenuhi perampasan dan pengalihfungsian lahan, “Belum lagi kita berbicara di sektor agraria itu sendiri, kawan-kawan. Perampasan lahan masih sangat masih terjadi di negara ini, kawan-kawan. Mulai dari persoalan di wadas di NTT, perampasan lahan, [dan-red] pengalihfungsian lahan itu masih terjadi yang dilakukan oleh rezim, mulai dari rezim Prabowo sampai pada, dari rezim Jokowi sampai pada [rezim-red] Prabowo hari ini, kawan-kawan.” Terakhir, ia kembali menegaskan bahwa pengesahan RUU TNI menjadi bukti nyata bahwa DPR tidak lagi menjadi representasi rakyat, melainkan hanya wakil dari partai-partai di Indonesia.
Salah satu mahasiswa UPN turut mengecam keputusan pemerintah, “Setelah tanggal 20 Oktober, [saya-red] semakin melihat Indonesia di ambang kehancuran, teman-teman semuanya. Kita berbicara tentang program prioritas pemerintah yang tak ada gunanya sampai saat ini. Belum lagi ditambah oleh militerisme. Kemudian nantinya masih ada RUU Polri dan KUHAP yang harus kita kawal, teman-teman semuanya.”
Selain itu, seorang penampil asal Bandang Kampungan membawakan dua lagu berjudul “Lawanlah” dan “Pembohong”. Kedua lagu yang ia bawakan bercerita tentang aparat yang seharusnya melayani dan mengayomi rakyat, tetapi justru menekan kebebasan rakyat. Berbicara realita, lagu-lagu dari penyanyi Bandang Kampungan itu menyoroti para penguasa yang berupaya untuk membungkam rakyat dengan berbagai kebijakan yang menyimpang, seperti pelanggengan Dwifungsi TNI melalui UU TNI. Akibatnya, kemarahan rakyat kian terpupuk hingga lahir gelombang perlawanan. Tidak mau kalah, penguasa bersama elitnya juga semakin gencar untuk memperalat aparat—yang tak segan mengecam rakyat dengan kekerasan.
Aparat “Gelagapan”
Keamanan dalam aksi Kamis (27/3) juga menuai banyak sorotan. Terlihat sejumlah massa aksi membawa perlengkapan perlindungan diri yang jarang terlihat di aksi-aksi kebelakang, seperti helm dan masker gas. Tindakan preventif yang dilakukan oleh massa bukan tanpa alasan, jumlah aparat yang mengawal aksi hari itu memang di luar kewajaran.
Sebelum aksi dimulai, kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta sudah dipenuhi oleh barisan polisi sampai dengan perempatan Jalan Reksobayan. Puluhan mobil pengangkut polisi dan kendaraan taktis, seperti rantis lapis baja dan water cannon, disiagakan sepanjang Jalan Panembahan Senopati hingga Perempatan Gondomanan. Salah satu personel tim medis menilai bahwa skala pengamanan ini tidak proporsional. Ia menilai kehadiran polisi dalam jumlah besar justru menciptakan ketegangan yang tidak perlu. “Saya rasa [pengamanan dalam jumlah besar-red] itu berlebihan karena selama ini [aksi protes-red] di Jogja, kan, ga pernah sampai ricuh banget, terutama sebagai medis yang pertama kali [berpartisipasi-red], jadi tertekan karena kalau ada apa-apa gimana? Ga cuma keselamatan orang lain, tapi keselamatan diriku juga,” ujarnya.
Aksi berakhir pukul 21.24, ditutup dengan petasan, disambut sorakan dari massa aksi. Meskipun jumlah massa aksi lebih sedikit dibandingkan aksi-aksi sebelumnya, semangat perlawanan masih ada dan tetap membara. Untuk mempertegas, salah seorang massa aksi menyatakan bahwa perjuangan ini tidak akan terhenti hanya dengan satu atau dua kali aksi, tetapi akan berlanjut hingga tuntutan mereka terpenuhi.

Usai aksi diakhiri, aparat kepolisian melangsungkan apel penutupan. Peristiwa ini menuai banyak sorotan, lantaran terdapat sekitar 30 orang intelijen—menyamar sebagai massa aksi—turut bergabung dalam apel. Banyaknya jumlah sebaran intelijen menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut akan potensi pengintaian berlebih terhadap massa aksi, seperti yang diutarakan oleh salah satu tim keamanan aksi, “Ketakutan kita juga bahwa di sini kan sudah bertebaran sekali intel yang sudah mulai menyusup di simpul-simpul massa aksi.”
Salah satu massa aksi turut memberikan kesaksian terhadap ancaman digital yang terjadi selepas aksi tolak UU TNI di Gedung DPRD lalu yang sekurang-kurangnya mencakup pelecehan seksual, peretasan, dan bentuk intimidasi lainnya. “Waktu itu teman-teman perempuan itu dituduh wanita yang tidak benar, wanita yang ini-ini dan lain sebagainya. Dibilang bahwa kamu dari hotel mana dan lain sebagainya. Itu adalah salah satu pelecehan yang dialami oleh teman-teman aksi kemarin, dan itu sudah di-up, di pers rilis oleh [akun media sosial-red] jogjamemanggil. Karena [kejadian-red] waktu itu, kita evaluasi apa-apa yang dialami oleh kawan-kawan massa aksi waktu itu. Ada yang akun ig-nya di-hack, ada yang diintimidasi lewat chat, mau dibunuh, dan lain sebagainya, dan [termasuk-red] tadi ada kekerasan seksual [juga-red],” ujarnya.
Tekanan semacam ini semakin memperlihatkan upaya pembungkaman yang—tidak hanya berlangsung di jalanan—kini menyentuh ranah digital. Maraknya represifitas yang terjadi menjadi pengingat bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Meski demikian, massa aksi menegaskan bahwa ancaman dan ketakutan yang kian mencekam tidak menjadi alasan untuk diam. Di balik panggung rakyat dan karya seni yang dihadirkan, terdapat pesan yang lebih dalam: suara rakyat tidak dapat dibungkam dan setiap upaya pembatasan hanya akan memperkuat alasan untuk tetap melawan.
Penulis: Novianti Kusuma Dewi, Alifah Nurul Nisa, Rio Rayyan
Penyunting: Fatiha Reva Sofia
Penyelia Naskah: Jonathan Toga Sihotang
Desain: Geraldus Ariel Wicaksana
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah
