BPPM Mahkamah, Yogyakarta — Kamis (20/3) menjadi hari berkabung bagi masyarakat sipil setelah Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) resmi disahkan oleh DPR. Puluhan orang berpakaian serba hitam memantau siaran langsung Rapat Paripurna DPR RI dari Parkiran Abu Bakar Ali sambil menunggu aba-aba koordinator lapangan untuk melakukan longmars menuju Gedung DPRD DIY. Hari ini, massa akan melakukan aksi penolakan terhadap sahnya Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dengan mengokupasi Gedung DPRD DIY.
Massa aksi mulai bergerak di sepanjang Jalan Malioboro pada pukul 11.30 WIB sambil menyanyikan lagu “Buruh Tani” dan memekikkan “revolusi”. Setibanya massa di kompleks DPRD DIY, spanduk-spanduk perlawanan segera dibentangkan di teras gedung Loge Mataram. Bendera Merah Putih juga diturunkan setengah tiang sebagai tanda berkabung bersama dengan dikumandangkannya “Indonesia Raya” oleh massa aksi. Dari kejauhan, sudah tampak puluhan aparat kepolisian berjejer di depan pintu masuk Loge Mataram, menghalang-halangi rakyat—tergabung dalam massa aksi—yang ingin masuk ke rumahnya sendiri.
Orasi Memanas, Tuntutan Digaungkan
Memasuki pukul 11.41 WIB, atmosfer di halaman Gedung DPRD DIY kian memanas. Suara-suara perlawanan terdengar nyaring bergantian dari pengeras suara mobil komando. Salah seorang orator dari Jaringan Kampus UNY lantang menyuarakan kecaman terhadap pengesahan UU TNI yang mengancam prinsip demokrasi dan kebebasan sipil. “Hari ini revisi UU TNI sudah disahkan. Ini adalah alarm bagi kita semua, mau tidak mau, kita harus hidup di bawah bayang-bayang kekerasan. Dalam proses penyelesaian masalah, tidak ada diskusi, melainkan dengan kekerasan,” ujar orator Jaringan Kampus UNY yang langsung disambut dengan pekikan “Katanya demokrasi, kok bawa senjata api,” dari massa aksi.
Dalam orasi lain, massa juga menyinggung ketidakadilan dalam sejarah militerisme di Indonesia. Seorang orator dari ISI turut mengelaborasi pandangan tersebut dengan memberi pemaknaan historis pada UU TNI dan jejak kelam pelanggaran HAM di masa lalu. “Jika mereka mengambil pos sipil lebih banyak, berapa banyak lagi represi yang akan kita rasakan. Kasus HAM di masa lalu tidak ada rekonsiliasi. Bahkan saat militer tidak di [ranah-red] sipil, impunitas tetap bekerja. Apalagi saat ada militer di [ranah-red] sipil. Kemana kebebasan kita?” ujarnya.
Salah satu juru bicara aksi, Bung Koes, juga menyoroti keanehan dalam proses Revisi UU TNI yang cacat secara prosedural. “Kita tahu bahwa secara prosedural DPR sudah melakukan sebuah kecacatan atau kecacatan prosedural. Mengapa demikian? Karena pertama, RUU TNI itu tidak masuk dalam Prolegnas 2025; yang kedua, RUU TNI tidak masuk juga dalam RPJMN; yang ketiga RUU TNI tidak memiliki partisipasi publik yang bermakna,” ungkapnya di sela-sela aksi.

Setelah rangkaian orasi menggema di depan Gedung DPRD DIY, massa aksi menuntut kehadiran perwakilan dewan untuk mendengarkan aspirasi mereka secara langsung. Sekitar pukul 13.15 WIB, Ketua Komisi A dari Fraksi PDI-P, Eko Suwanto, keluar menemui massa aksi. Eko menyatakan kesiapannya untuk meneruskan tuntutan massa ke DPR RI dan Pemerintah Pusat dengan meminta demonstran menuliskan tuntutan yang akan ia tandatangani. Respon Eko mendapat reaksi yang beragam dari massa. Beberapa peserta aksi menolak tawaran tersebut, alasannya jelas: penolakan langsung terhadap UU TNI, tidak bisa disikapi dengan hanya meneruskan tuntutan. Keberpihakan Eko yang tidak jelas semakin menyulut kemarahan massa sehingga salah satu dari peserta aksi melempar molotov ke safety cone—sebuah bentuk luapan amarah atas omong kosong pemerintah.
Tempat yang Mewah untuk Luapkan Amarah
Nyanyian, sorakan, dan berbagai wujud kemarahan rakyat tersaji di bawah sinar matahari yang kian memerah. Seperti itulah gambaran sore hari di depan Gedung DPRD DIY—panggung mewah yang selama ini telah ditunggu oleh massa aksi dan masyarakat sipil. Kebebasan untuk murka atas langkah pemerintah yang gegabah merupakan suatu hal lumrah di tengah kondisi Indonesia saat ini. “Marah bukan hak kita tapi kewajiban bagi kita,” ucap Ursula, mahasiswa Fakultas Hukum UGM ketika berorasi. Melalui perkataannya, Ursula berusaha menyadarkan massa untuk memaknai kemarahan sebagai suatu keharusan bagi masyarakat sipil.

Tempat mewah ini tidak hanya menjadi sarana untuk meluapkan amarah, tetapi juga wadah bagi massa untuk mendengarkan keluh kesah satu sama lain. Bukan hanya lewat orasi, wujud nyata keresahan masyarakat terpampang jelas di sekujur tembok Loge Mataram. Beragam tulisan mengenai keresahan warga tertoreh hampir di seluruh muka depan bangunan tersebut, tidak terkecuali patung Jenderal Soedirman yang turut jadi wadah pelampiasan murka rakyat. “Generasi-generasi dahulu yang mengalami masa orde baru itu pasti ada traumanya besar sekali dan ini dengan [adanya-red] pengesahan UU TNI ini kemungkinan besar kekerasan, persekusi, [serta-red] penindasan oleh rezim terhadap kelompok rentan [dan-red] terhadap rakyat itu sangat besar kemungkinannya untuk terulang kembali, dan itu yang bikin kami was-was terus-terusan,” ucap A (@banan4y_), massa aksi dari masyarakat sipil. Penguasa perlu ingat bahwa Vox populi, vox Dei ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’, tempat semewah Gedung DPRD DIY pun tidak boleh menutup telinga terhadap suara Tuhan.
Polisi yang datang berbondong-bondong pada saat demonstrasi menjadi salah satu penyebab kekhawatiran massa. Banyak elemen masyarakat yang mewanti-wanti terjadinya kekerasan aparat terhadap warga sipil. Ketakutan akan bangkitnya pemerintahan Neo-Orde Baru membuka kembali trauma bagi masyarakat yang pernah hidup pada masa pra-reformasi. Rakyat yang muak akhirnya konsisten menggaungkan revolusi, salah satunya disampaikan oleh Ary (bukan nama asli), bagian dari massa aksi, “Jangan dikira revolusi ini gak bangkit, ini akan dengan sendirinya bangkit [dan-red] ini sudah naluri dari manusia, naluri dari sel itu sendiri ketika tercekam mereka akan berkumpul dan melawan.”
Menjelang magrib, kawasan DPRD DIY perlahan kembali sepi dikarenakan suara azan telah berkumandang, menandakan waktu untuk berbuka puasa.
Jalanan Panas Rakyat Tak Mundur
Halaman depan DPRD DIY yang sebelumnya dipenuhi sorak-sorai kini menyisakan suara angin yang sesekali berembus, membawa semangat yang belum juga padam. Massa aksi semakin berkurang. Mereka yang masih bertahan duduk di depan gedung, menunggu dan terus bergerak demi kemenangan masyarakat sipil. Namun, ancaman dari aparat semakin tinggi. Polisi tampak mengepung dari berbagai arah, mengelilingi Gedung DPRD DIY.
Saat itu pukul 23:32, dan dikabarkan bahwa ormas memegang senjata. Mendengar berita tersebut, keselamatan massa aksi tidak dijamin. Koordinator lapangan pun meminta massa aksi untuk menunggu dan tidak memencar demi keselamatan massa aksi. “Kondisi sekarang seluruh lampu di Malioboro mati, padam total. Polisi menerorokan maju dan ada kabar resmi bahwa ormas pegang senjata,” ujar Jonathan, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang meramaikan demonstrasi pada hari Kamis.
Ketegangan masih terjadi antara polisi dan massa aksi. Sekitar pukul 00:00, aparat kepolisian semakin mendekat. Massa aksi yang berada di halaman DPRD DIY terpukul mundur mendekati gerbang.
Setelah pukul 00:24, massa aksi diminta membubarkan diri. Akan tetapi, pada pukul 00:29, polisi mulai merangsek, mendesak massa aksi untuk keluar dari DPRD DIY dengan paksa. Jumlah personel aparat meningkat. Pasukan Brimob tiba dengan perlengkapan lengkap, termasuk dengan tameng dan alat pemukul. Dua unit mobil juga diperbantukan, salah satunya adalah kendaraan penyemprot water canon.
Tindakan kepolisian yang semakin menekan membuat situasi di sekitar DPRD DIY memanas. Massa aksi menolak untuk dipukul mundur. Masyarakat sipil yang terepresi merespons dengan melemparkan batu dan benda lainnya ke arah aparat, sementara polisi terus menyemprotkan air dari water cannon untuk memaksa massa menjauh.
Tekanan semakin kuat. Pada pukul 01:05 WIB, massa terpaksa mundur di bawah desakan aparat dan aksi pada malam itu berakhir dengan kekalahan masyarakat sipil.
Apakah Ada Harapan untuk Demokrasi Kita?
“Harapan, jujur sebagian besar masyarakat Indonesia sudah pesimis terhadap pemerintah kita,” ucap B, salah satu massa aksi yang diwawancarai oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah. Keadaan pada aksi hari Kamis lalu memang mencerminkan pendapat B. Detik disahkannya RUU TNI, perjuangan masyarakat sipil seakan tidak didengar oleh pemerintah. Seolah demokrasi tidak memiliki wujud lagi.
Ahung, perwakilan dari ISI, juga menambahkan, “Aku udah sampai pada titik di mana aku ga punya kepercayaan terhadap upaya diplomasi kayak gitu, sih. Kesimpulan bahwa udah ga bisa dialog lagi gitu sama mereka. Ga ada yang lesser evil gitu, yang masih bisa diajak kompromi itu ga ada.” Bagi massa aksi, negosiasi dan kompromi dengan pemerintah bukan lagi sebuah pilihan. Keputusan telah dibuat dan suara rakyat diabaikan begitu saja.
Akan tetapi, kekalahan pada Kamis itu bukan akhir dari perjuangan rakyat. “Mau gimana pun itu, kita tetap harus mengambil kebijakan sebagai rakyat, menggunakan hak politik kita untuk menyuarakan kebencian kita terhadap negara,” ujar salah satu massa aksi.
Januar Diusin, Ketua dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Yogyakarta, menegaskan bahwa perlawanan tidak boleh berhenti. “Kita tidak boleh berhenti untuk melawan segala tindakan dari rezim, entah itu di eksekutif maupun di legislatif, terhadap kebijakan-kebijakan yang menindas rakyat. Perjuangan-perjuangan seperti ini harus tetap dilakukan agar kontrol terhadap rezim yang berkuasa itu tetap berjalan karena kalau pergerakan itu mati, kita tidak tahu lagi harus berharap kepada siapa.”
Malam itu, massa aksi memang terpaksa mundur, tetapi perlawanan tidak lantas berhenti. Mereka yang melawan akan terus berjuang. Diabaikannya hak-hak sipil tidak boleh menghentikan masyarakat untuk bersikap kritis dan terus berekspresi. Perjuangan harus berlanjut: dari membaca, turun aksi, urun karya, dan lain sebagainya. Demokrasi memang berada di ujung tanduk, tetapi selama masih ada yang berani melawan, harapan belum sepenuhnya padam.
Penulis: Martinus David Atya Putra, Rio Rayyan, Raeva Safarabina Tameccadhira, Mirza Zakiya Rahma Shoffa
Penyunting: Jonathan Toga Sihotang
Penyelia Naskah: Maritza Chelsea Salsabila
Desain: Rugayya Maulida Husain
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah


