Keterangan awal: narasumber dan informan merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada serta alumni Universitas Gadjah Mada yang lekat dengan isu pembangunan Gelanggang Inovasi dan Kreativitas. Atas permintaan narasumber serta demi menghindarkan pihak-pihak terkait dari kemungkinan timbulnya dampak yang tidak diinginkan, nama akan disamarkan. Narasumber selanjutnya disebut sebagai “Narasumber” diikuti dengan tahun angkatan sebagai pembeda.
Empat tahun telah berlalu sejak perobohan Gelanggang Mahasiswa, tetapi daftar ketidakjelasan arah pembangunan Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) justru bertambah. Dipublikasikannya pembukaan beberapa gerai awal GIK, seperti D’Crepes pada awal Desember lalu, memunculkan pertanyaan di kalangan mahasiswa mengenai arah pengembangan proyek tersebut. Terlepas dari penindasan ruang yang masih berlangsung, kekhawatiran akan masuknya ekosistem ekonomi berbasis konsumsi ke dalam area kampus telah menjadi suatu ancaman di depan mata.
Kilas Balik Penindasan Ruang
Gelanggang Mahasiswa merupakan suatu hak dasar. Gagasan mengenai adanya bangunan untuk pusat kegiatan mahasiswa tidak pernah dibuat eksklusif atau khusus bagi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) saja. “Pada tahun 1975, Universitas Gadjah Mada, oleh [pernyataan-red] Amir Mahmud [yang menjabat-red] Menteri Dalam Negeri, mempionirkan [gagasan-red] membuat dan merencanakan adanya bangunan khusus untuk mahasiswa berkegiatan yang kemudian namanya kita kenal Gelanggang Mahasiswa,” ungkap Narasumber (2021) mengenai ide awal Gelanggang Mahasiswa.
Di UGM, gagasan tersebut hadir dalam bentuk Gelanggang Mahasiswa yang terletak di Jalan Pancasila. Dulu, Gelanggang Mahasiswa bebas diakses oleh umum sehingga mahasiswa dapat leluasa berekspresi dan mengembangkan diri. Bahkan, pada tahun 1970, gelanggang sempat menjadi pusat pergerakan aktivis se-Yogyakarta. Gelanggang tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari tumbuh kembangnya budaya kemanusiaan di kalangan mahasiswa. Misalnya, saat letusan Gunung Merapi tahun 2010, area gelanggang dijadikan tempat pengungsian korban bencana. Demikian pula pada masa pandemi COVID-19, gelanggang kembali berfungsi sebagai tempat posko pusat solidaritas untuk memberikan bantuan kepada masyarakat.
Selain menjadi ruang ekspresi mahasiswa, Gelanggang Mahasiswa juga memiliki arti penting bagi perkembangan kesenian di Yogyakarta. Ketika diwawancarai oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah, salah satu narasumber dari angkatan 2021 menjelaskan kontribusi fasilitas gelanggang bagi penggiat seni lokal, “di ruang yang terkhusus, ada namanya pusat kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri tempat ‘pembaptisan seniman Jogja’. Jadi, kalau mau terkenal jadi seorang seniman di Jogja, seninya harus pentas [dipentaskan-red] di situ.”
Akan tetapi, di tengah produktifnya pemanfaatan gelanggang bagi aksi kemanusiaan, muncul rencana untuk mengubah Gelanggang Mahasiswa menjadi Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK). Sebenarnya rencana pembangunan GIK telah ada sejak 2019 “sekitar tahun 2019 dari jajaran Pimpinan Universitas [selanjutnya disebut PU-red] itu menginisiasi renovasi gelanggang mahasiswa,” tutur Narasumber (2020).
Menurutnya, penggunaan istilah “renovasi” dalam perubahan Gelanggang Mahasiswa menjadi GIK menjadi aspek yang menarik untuk diperhatikan. Nyatanya, perubahan GIK tidak hanya melibatkan perbaikan gedung, melainkan juga pengalihan fungsi, “keyword ‘renovasi’ yang digunakan oleh PU UGM sangat sakral karena jika dilihat pada akhirnya [justru terjadi-red] pengalihan fungsi.”
Berbarengan dengan aksi kemanusiaan COVID-19, beberapa mahasiswa yang tinggal dan menginap di Gelanggang Mahasiswa menghadapi situasi sulit ketika fasilitas dasar di tempat tersebut dimatikan. Tindakan tersebut diduga dilakukan untuk memaksa mahasiswa meninggalkan lokasi. “Listrik, air, dan lampu tiba-tiba dimatikan. Jadi, mahasiswa kebingungan karena tidak bisa mandi, tidur, menggunakan Wi-Fi, atau, bahkan, mengecas ponsel,” ungkap Narasumber (2021).
Meskipun protes telah dilakukan, Gelanggang Mahasiswa tetap dirobohkan. Kini ia menjelma menjadi Gelanggang Inovasi dan Kreativitas atau yang biasa dikenal dengan GIK. Berdasarkan keterangan dari Narasumber (2020), salah satu aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa adalah “Kebun Raya Gelanggang”, yaitu kegiatan menanam tanaman di lahan GIK yang sedang dibangun.
“Kegiatan Kebun Raya Gelanggang [merupakan-red] bentuk protes dari [mahasiswa-red] angkatan muda, [yakni-red] angkatan 17, 18, 19, 20, secara non-finance dengan menanam tanaman di tanah gelanggang tanpa melakukan perizinan,” jelas Narasumber (2020).
Setelah perobohan Gelanggang Mahasiswa, banyak Unit Kegiatan Narasumber (UKM) yang kelimpungan lantaran ruang sekretariat mereka ikut tergusur. Barang-barang UKM yang ada di sekretariat Gelanggang Mahasiswa dipindahkan ke sejumlah hunian dosen di sekitar UGM. “Saat itu, PU didesak oleh Forkom dan sejumlah pihak lainnya untuk segera memindahkan sekretariat yang bangunannya telah digusur ke rumah dosen,” ujar Narasumber (2021). Tak lupa, ia juga mengingatkan janji pihak operasional untuk mengembalikan sekretariat ke GIK usai masa pembangunan.
Rezim Pendanaan Mengalihfungsikan GIK
Pembangunan GIK merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan skema anggaran bertahap: Rp66,15 miliar pada 2022, Rp86,10 miliar pada 2023, dan Rp138,06 miliar pada 2024. Proyek ini dikerjakan oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. dan direncanakan selesai pada awal Februari 2024. Namun, hingga penghujung tahun 2024 pembangunan GIK masih belum rampung. Meskipun demikian, berbagai agenda tetap digelar di tengah proses konstruksi. Beberapa di antaranya mencakup kegiatan seni pertunjukan, seperti “The Life of Butoh” pada 4–6 September 2024; seminar, misalnya Global Innovation & Future Technology Summit (GIFTS) 2024; serta workshop.
Sayang, masalah terkait operasional GIK tidak lantas selesai dengan dilangsungkannya sejumlah kegiatan pada struktur megah tersebut. Sebagian mahasiswa masih merasa GIK belum memenuhi kebutuhan mereka. Bahkan, banyak yang tidak mengetahui tujuan dari beberapa fasilitas pada GIK. “Waktu aku ke GIK, beberapa bangunan sudah selesai, tapi kesannya seperti ruko-ruko di mal,” ungkap seorang mahasiswa dari angkatan 2024 yang diwawancarai secara acak oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah. Ia menambahkan bahwa konsep GIK perlu dipertegas kembali sesuai kebutuhan civitas academica.
Lebih lanjut, ia menilai GIK terlalu fokus pada industri dan kurang inklusif. “GIK ini seharusnya lebih inklusif buat kebutuhan mahasiswa karena gak semua mahasiswa mau berkecimpung di industri. Mungkin tujuannya bisa diarahkan ke ekonomi kreativitas yang gak kaku di riset-riset aja, tapi yang aku lihat terlalu fokus di bidang industri saja,” ujar mahasiswa tersebut.
Fasilitas GIK juga belum mendukung seluruh klaster mahasiswa. GIK terkesan lebih mendukung klaster sosial-humaniora. Ketiadaan ruang laboratorium dan alat-alat yang mendukung penelitian membuat mahasiswa klaster sains dan teknologi seolah-olah dieksklusikan. Kampus seharusnya memastikan bahwa GIK benar-benar memiliki infrastruktur yang memadai dan mampu melayani seluruh mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu.
Infiltrasi Industri
Narasumber (2020) dan Narasumber (2021) berpendapat bahwa pembangunan GIK bukan merupakan renovasi fasilitas kampus, melainkan pengalihfungsian gelanggang menjadi pusat industri. Hadirnya beberapa gerai, termasuk D’Crepes yang baru-baru ini menjadi sorotan, memicu sejumlah kritik. Meskipun terletak di lingkungan kampus, standar UMKM yang ditetapkan pada pembangunan GIK merupakan standar level industri yang nyatanya tidak dapat dipenuhi oleh mahasiswa.
Penyusupan industri ke dalam universitas melalui GIK justru berpotensi mengacaukan konsep triple-helix pemerintah. Dalam konteks pembangunan di Yogyakarta pendekatan 3K, yakni ‘kraton, kampung, kampus’ seharusnya digunakan untuk mencapai pembangunan yang seimbang. Akan tetapi, realitas di lapangan menunjukkan dinamika yang berbeda. “Di UGM, ada namanya 3K, [yakni-red] keraton, kampung, kampus. Jadi, yang namanya kampus juga harus menjembatani kepentingan dengan keraton dan juga dengan kampung-kampung di sekitar. Ada yang memandang hadirnya GIK [justru-red] memaksakan UGM beralih ke penta-helix,” terang Narasumber (2021) pada Tim Liputan BPPM Mahkamah.
Transformasi Gelanggang Mahasiswa, yang semula merupakan fasilitas pendidikan, menjadi ekosistem ekonomi berbasis konsumsi telah membuktikan kuatnya pengaruh pasar pada kampus. Meski membawa potensi ekonomi, hal ini juga memunculkan tantangan dalam menjaga karakter perguruan tinggi sebagai ruang intelektual dan sosial. “Harapannya, mahasiswa dapat beradaptasi meskipun penguasaan negara dan pasar sudah sangat kuat atas GIK. Boleh terbuka dengan pasar, asalkan jangan sampai kehilangan nilai-nilai UGM seperti gotong royong, kekeluargaan, dan juga kerakyatan,” sambung Narasumber (2020).
Transformasi Gelanggang Mahasiswa menjadi GIK merupakan perubahan besar yang memicu berbagai reaksi. Pembangunan GIK secara letterlijk boleh saja bertujuan untuk menciptakan fasilitas modern yang mendukung inovasi dan kolaborasi. Akan tetapi, pihak-pihak di belakang operasional GIK tidak lantas dapat menutup mata dari tantangan dan tanggung jawab proyek untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa. Saat ini, narasi penuntutan hak atas fasilitas dasar yang turut menentang opresi ruang—salah satunya dalam laporan ini—telah menjadi cerminan dinamika antara modernisasi, pasar, dan tradisi kampus yang perlu dikawal oleh seluruh civitas academica. Merawat memori Gelanggang Mahasiswa berarti menjaga perlawanan tersebut.
Penulis: Iffa Kamila, Habibatun Sakinah, Cindy Christina, Aditya Avin
Penyunting: Jonathan Sihotang
Reportase dilakukan oleh Tim Liputan BPPM Mahkamah