web analytics
Meraba Perlindungan Hukum Bagi Pers Mahasiswa

Meraba Perlindungan Hukum Bagi Pers Mahasiswa

-Pers mahasiswa terbukti sangat rentan terhadap usaha-usaha pembungkaman melalui berbagai tindakan represif-

Pada peristiwa demonstrasi penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja yang terjadi pada awal Oktober 2020 silam kembali menjadi lecutan bagi pemerintah akibat gagalnya pemerintah dalam melindungi pers, terutama pers mahasiswa. Setelah demonstrasi berlangsung, dilaporkan sejumlah awak pers mahasiswa hilang saat melakukan peliputan aksi.[efn_note]Winda N & Alfiansyah, “Aksi Tolak ‘Cilaka’, Dilaporkan 17 Pers Mahasiswa Hilang”, http://manunggal.undip.ac.id/aksi-tolak-cilaka-dilaporkan-17-pers-mahasiswa-hilang/, diakses 17 November 2020.[/efn_note] Sejumlah awak tersebut di antaranya merupakan awak dari Badan Otonom Gerakan Mahasiswa (BO GEMA) Politeknik Negeri Jakarta, Lembaga Pers Kampus (LPK) GEMA Universitas Negeri Surabaya, dan Pers Lingkungan Mahasiswa (Perslima) Universitas Pendidikan Indonesia.

Awak pers mahasiswa dari berbagai kampus ini awalnya dinyatakan hilang kontak dengan kelompoknya. Kemudian mereka ditemukan sedang ditahan di kantor polisi padahal sudah mengenakan kartu pers. Terdapat banyak luka di tubuh mereka yang kemudian dibebaskan tersebut. Aliansi Junalis Indonesia (AJI) menyatakan bahwa mereka sangat menyayangkan adanya tidakan represif terhadap pers mahasiswa ini.[efn_note]Safitri Rochmah, “AJI: Pers Mahasiswa Tidak Boleh Dihalangi Saat Laksanakan Tugasnya”, https://gensindo.sindonews.com/read/197640/700/aji-pers-mahasiswa-tidak-boleh-dihalangi-saat-laksanakan-tugasnya-1602763857?showpage=all, diakses 17 November 2020.[/efn_note] AJI berpendapat dengan mengacu pada UU Pers bahwa pers mahasiswa yang digerakkan oleh mahasiswa, walaupun tidak berbadan hukum, tetap merupakan lembaga yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Selain tindakan represif dari aparat, pada tahun 2019 tercatat ada kasus pemecatan awak Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU) oleh pihak rektorat.[efn_note]Anugerah Adriansyah, “Kasus Cerpen LGBT di USU Berlanjut ke Ranah Hukum”, https://www.voaindonesia.com/a/kasus-cerpen-lgbt-di-usu-berlanjut-ke-ranah-hukum/5030841.html, diakses 17 November 2020.[/efn_note] Alasan pemecatan 18 awak Pers Mahasiswa Suara USU tersebut adalah karena terbitnya sebuah cerita pendek hasil kontribusi seorang awak di laman mereka. Cerita pendek berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” tersebut dianggap telah melanggar visi dan misi kampus karena bertemakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Pemecatan juga diikuti dengan pembongkaran sekretariat Pers Mahasiswa Suara USU tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak awak terlebih dahulu.[efn_note]Haris Prabowo, “Sidang Gugatan Pemecatan Kru Persma Suara USU Dimulai 14 Agustus”, https://tirto.id/sidang-gugatan-pemecatan-kru-persma-suara-usu-dimulai-14-agustus-efMq, diakses 17 November 2020.[/efn_note]

Peristiwa-peristiwa di atas bukan hanya terjadi sekali dua kali. Sudah banyak tindakan represif kerap dilakukan terhadap pers mahasiswa, mulai dari tindak kekerasan di lapangan, ancaman teror, pembredelan, hingga pembubaran dewan redaksi secara sepihak oleh pihak rektorat. Hal ini menunjukkan kurangnya perlindungan hukum yang didapatkan oleh pers mahasiswa itu sendiri. 

Sejarah Perkembangan Pers Mahasiswa Indonesia

Pers mahasiswa merupakan suatu organisasi bagi para mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik. Pers mahasiswa melakukan peliputan dan penyiaran berita yang berasal dari dalam maupun luar kampus. Sejarah mencatat pers mahasiswa Indonesia lahir beriringan dengan terjadinya Kebangkitan Nasional Indonesia, yakni sekitar tahun 1908. Pada masa ini bermunculan berbagai lembaga pers yang dijalankan oleh mahasiswa seperti Hindia Putra (1908), Jong Java (1914), Oesaha Pemoeda (1923), dan Soeara Indonesia Moeda (1938). Berbagai lembaga pers mahasiswa ini secara gigih dan konsekuen bergerak atas keberpihakannya yang jelas pada perjuangan kemerdekaan.[efn_note]Agus Gussan Susantoro, “Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia”, https://persmaporos.com/sejarah-pers-mahasiswa-indonesia/23/persmaporos, diakses 8 November 2020.[/efn_note]

Pada era pendudukan Jepang di Indonesia, pers mahasiswa tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Karena represi yang sangat keras, kiprah pers mahasiswa tak terdengar. Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, para pemuda mempelopori terbitnya surat kabar pembawa suara rakyat Republik Indonesia yang baru lahir itu.[efn_note]Satrio Arismunandar, “Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa”, Makalah, Juni 2012, hlm. 6.[/efn_note] Pers mahasiswa terus berkembang hingga ke era setelah kemerdekaan. Pada era ini pers mahasiswa mengalami beberapa kemajuan yang dapat dilihat melalui keikutsertaan pers mahasiswa Indonesia di Konferensi Pers Asia yang diikuti oleh berbagai negara. Kemudian pers mahasiswa Indonesia mengadakan kerjasama dengan Student Information of Japan dan College Editors Guild of the Philipphines.[efn_note]Agus Gussan Susantoro, Op.cit.[/efn_note]

Pada saat pergantian corak demokrasi dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin, pers mahasiswa juga mengalami beberapa perubahan. Seperti terjadi peleburan dua organisasi pers mahasiswa saat itu, yakni IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Peleburan tersebut terjadi pada Konferensi Pers Mahasiswa Indonesia II yang diselenggarakan pada 16-19 Juli 1958. Lalu di saat berjalannya demokrasi terpimpin pers mahasiswa mengalami beberapa tekanan dari Pemerintah. Tekanan tersebut berupa kewajiban pemberlakuan MANIPOL USDEK pada AD/ART organisasi pers mahasiswa. Pemberangusan organisasi akan terjadi jika tidak memberlakukan hal tersebut.[efn_note]Agus Gussan Susantoro, Op.cit.[/efn_note]

Pergantian tampuk kepemimpinan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto turut mempengaruhi keadaan pers mahasiswa saat itu. Kebebasan dari pengekangan yang dilakukan demokrasi terpimpin turut berakhir pasca pergantian kepemimpinan. Namun, pers mahasiswa harus kembali bernasib malang. Pemerintah yang was-was dengan jalan kepemerintahannya, mulai melakukan pengawasan terhadap pers mahasiswa. Ancaman pembredelan menjadi senjata untuk menjinakkan pers mahasiswa. Rezim Orde Baru memiliki kecenderungan untuk bersikap represif terhadap pers mahasiswa. Rezim melakukan pengekangan lewat Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/Per/Menpen/1975, yang menggolongkan pers mahasiswa sebagai Penerbitan Khusus yang bersifat non-pers dan Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 mengenai Penerbitan Kampus di Perguruan Tinggi. Melalui peraturan tersebut, peran pers mahasiswa diamputasi sehingga tidak leluasa lagi menulis hal-hal di luar persoalan akademik.[efn_note]Satrio Arismunandar, Op.cit., hlm. 11.[/efn_note]

Mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada Mei 1998 menjadi titik balik kebebasan pers di Indonesia termasuk pers mahasiswa.[efn_note]Mawa Kresna, “Membredel Pers Mahasiswa”, https://tirto.id/membredel-pers-mahasiswa-b5ka, diakses 18 November 2020.[/efn_note] Suka cita kembali meletup di saat Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah melakukan pencabutan terhadap Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sejak itu, pers mahasiswa mendapatkan kembali nafas kebebasan yang sebelumnya dikekang jalannya roda Pemerintahan.

Kedudukan Pers Mahasiswa Saat Ini

Pers mahasiswa pada dasarnya memiliki fungsi yang sama selayaknya pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol sosial.[efn_note]Imam Prabowo, “Pers Mahasiswa Masa Kini”, https://mahkamahnews.org/2015/10/30/mahasiswa-dan-pers-masa-kini/, diakses 18 November 2020.[/efn_note] Namun, dalam berbagai aspek lainnya, pers mahasiswa memiliki perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan pers umum. Hal yang paling mendasar adalah pers mahasiswa hanya berkedudukan sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa.[efn_note]Arrizal Fathurohman Nursalim, “Pers Kampus di Tengah Ketidakpastian Hukum”, https://www.remotivi.or.id/amatan/510/pers-kampus-di-tengah-ketidakpastian-hukum, diakses 9 November 2020.[/efn_note] Berbeda dengan pers umum yang merupakan lembaga berbadan hukum, sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa, pers mahasiswa masih bergantung pada pendanaan kampus. Akibatnya sangat terbuka peluang adanya intervensi dari pihak kampus terhadap pers mahasiswa. Namun, sisi positifnya pers mahasiswa lebih mampu mengakomodasi nilai-nilai idealis yang tertuang dalam kode etik wartawan Indonesia. Hal ini didasari alasan bahwa  pers mahasiswa dalam menyajikan informasi kepada publik dilakukan tanpa adanya dalih kepentingan ekonomi. Atas dasar hal tersebut, pers mahasiswa mampu menunjung tinggi jurnalisme kerakyatan dan mampu mempertahankan prinsip independensinya.[efn_note]Media Republica, “Pers Mahasiswa dan Peranannya”, http://mediapublica.co/2016/02/09/pers-mahasiswa-dan-peranannya/, diakses 9 November 2020.[/efn_note]

Sejarah mencatat, pers mahasiswa memiliki kedudukan yang penting dalam pergerakan mahasiswa. Berbeda dengan pergerakan mahasiswa yang dinarasikan secara heroik dalam bentuk demonstrasi lapangan. Pers mahasiswa menempuh jalan yang tersendiri dalam melakukan pergerakan mahasiswa yaitu melalui penelusuran dan pemberitaan. Sebagaimana terjadi pada rezim Soeharto, pers mahasiswa melalui wacana politik mencoba melawan kediktatoran rezim Soeharto. Dalam gerakan menentang Soeharto ini, pers mahasiswa memiliki tiga peran. Pertama, peran pemberi informasi, sosialisai, dan edukator. Peran ini dinilai sejalan dengan gerakan mahasiswa. Kedua, peran inspirator, motivator, provokator, dan korektor. Peran pers mahasiswa ini memiliki pengaruh besar terhadap gerakan mahasiswa, bahkan lebih besar peranannya dibandingkan pers umum. Ketiga, peran mediator, wahana debat, diskusi, dan integrasi. Dalam peran ini, hubungan pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa dinilai saling mempengaruhi.[efn_note]Satrio Arismunandar dalam K.A. Sulkhan, “Pers Mahasiswa: Antara Resistensi Politik dan Krisis Eksistensial”, https://kognisia.co/pers-mahasiswa-antara-resistensi-politik-dan-krisis-eksistensial/, diakses 10 November 2020.[/efn_note]

Saat ini, pers mahasiswa memiliki peran penting sebagai perwujudan civil society. Civil society sendiri merupakan wilayah-wilayah kehidupan sosial yang dicirikan oleh kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting).[efn_note]Sunarto, “Pers Mahasiswa: Persemaian Publik Sphere Civil Society”, Makalah, Seminar Pers Nasional ‘Quo Vadis Pers Mahasiswa’ dalam rangka Ulang Tahun Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Oktober 2000.[/efn_note] Pers mahasiswa mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu di masyarakatnya. Untuk menjalankan peran ini, awak pers mahasiswa harus dibekali dengan dasar-sadar dunia jurnalistik yang meliputi pengetahuan yang luas, keterampilan yang mumpuni, ketaatan terhadaap peraturan dan kode etik, serta integritas dalam setiap tindakannya.[efn_note]Imam Prabowo, Op.cit.[/efn_note]

Lemah dan Dibungkam

Tidak hanya lembaga pers mainstream yang sering mendapat perlakuan represif oleh beberapa pihak, pers mahasiswa pun juga kerap kali mendapat intimidasi dari pihak yang merasa dirugikan oleh pikiran kritis para awaknya. Pembungkaman memang menjadi masalah utama yang dihadapi tiap pers mahasiswa. Usaha-usaha pembungkaman pers mahasiswa dilakukan dengan berbagai cara, seperti pemberedelan, intimidasi terhadap awak pers, pemotongan anggaran oleh pihak kampus, dan lain sebagainya. Riset yang dilakukan oleh Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menyebutkan terdapat 58 jenis tindakan represif dari total kasus yang dialami Pers Mahasiswa pada medio 2017-2019.[efn_note]Kumparan, “33 Kasus Represif, Pers Mahasiswa Teken MoU Perlawanan”, https://kumparan.com/banjarhits/33-kasus-represif-pers-mahasiswa-teken-mou-perlawanan-1ss89UJ2QMU/full, diakses 9 November 2020.[/efn_note] Ironisnya, usaha pembungkaman tersebut justru paling banyak dilakukan oleh birokrat kampus yang seharusnya mengayomi keberadaaan Persma.[efn_note]Pito Agustin Rudiana, “Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan?”, https://jogja.idntimes.com/news/jogja/pito-agustin-rudiana/pers-mahasiswa-dibungkam-apa-yang-harus-dilakukan/4, diakses 10 November 2020.[/efn_note] Tindakan represif tersebut meliputi intimidiasi terhadap awak pers sebanyak 20 kasus, pemukulan fisik sebanyak delapan kasus, ancaman drop out (DO) sebanyak empat kasus, kriminalisasi sebanyak empat kasus, penculikan  sebanyak tiga kasus, serta tindakan represif lain seperti penyensoran berita, ancaman pembekuan dana, dan pembekuan organisasi sebanyak dua kasus.[efn_note]Kumparan, Loc.cit.[/efn_note]

Riset di atas memang sejalan dengan kondisi riil di lapangan. Beberapa pers mahasiswa yang diketahui sedang melakukan kajian kritis baik di ranah lingkungan kampus maupun lingkungan yang lebih luas acap kali mendapat perlakuan represif yang dimaksudkan untuk membungkam teriakan teriakan kritis dari para awak pers mahasiswa. Sebut saja, awak Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) yang justru dipanggil polisi untuk menjadi saksi dalam kasus pemerkosaan mahasiswi UGM bernama Agni (nama samaran) setelah BPPM Balairung membuat laporan mengenai dugaan kekerasan seksusal yang terjadi saat KKN di Maluku tahun 2017. Pemanggilan ini dianggap janggal karena status saksi yang disematkan kepada penulis laporan tersebut, Citra Maudy. Padahal, saksi adalah orang yang melihat, mengetahui, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa pidananya.[efn_note]Pasal 1 angka (26) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[/efn_note] Sedangkan posisi Citra dalam kasus ini hanyalah jurnalis kampus yang  menulis kasus tersebut berdasarkan wawancara, tanpa terlibat langsung di TKP. Dalam panggilannya sebagai saksi tersebut, Citra justru dicecar dengan pertanyaan –pertanyaan yang menyudutkan pihak BPPM Balairung dan malah tidak banyak menyinggung soal tindak pidana yang sebenarnya, yaitu Kasus Agni. Menurut kuasa hukum Agni, kejanggalan-kejanggalan tersebut bukan tidak mungkin akan menjerumuskan korban (Agni) maupun pihak BPPM Balairung kedalam jurang kriminalisasi oleh pihak pihak tertentu.[efn_note]Dipna Videlia P., “Kasus Agni dan Panggilan Janggal Polisi kepada Penulis Balairung”, https://tirto.id/kasus-agni-dan-panggilan-janggal-polisi-kepada-penulis-balairung-ddDl, diakses 10 November 2020.[/efn_note]

Usaha pembungkaman terhadap Persma juga terjadi pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). LPM Pendapa “dipaksa” untuk menandatangani pakta integritas dari rektorat. Dalam pakta integritas tersebut, terdapat poin-poin yang intinya mengharuskan LPM Pendapa untuk berkonsultasi terhadap pihak rektorat dalam penerbitan buletin Majalah Pendapa. Kontan saja, pihak LPM Pendapa menolak isi pakta integritas tersebut karena melanggar hak kebebasan pers dan berekspresi.  Bukan main-main, akibat menolak menandatangani pakta integritas tersebut, LPM Pendapa statusnya dibekukan oleh rektorat. SK pun kepengurusan dan pencairan anggaran ditolak. Tindakan represif pihak rektorat didasari pada sepak terjang LPM Pendapa dalam periode sebelumnya yang sedikit banyak mengkritik kebijakan kampus UST dan menurut pihak rektorat isu yang diangkat hanya isu negatif mengenai kampus.[efn_note]Pito Agustin Rudiana, Op.cit.[/efn_note]

Dari dua contoh kasus di atas, pers mahasiswa terbukti sangat rentan terhadap usaha-usaha pembungkaman melalui berbagai tindakan represif. Nalar-nalar kritis yang sebenarnya bermaksud untuk kebaikan pihak tertentu sangat mudah dihantam oleh pihak yang merasa dirugikan. Kedudukan pers mahasiswa yang dibawah wewenang dari rektorat dan jauh dari kata independen disinyalir menjadi penyebab utama lemahnya persma dalam menghadapi segala permasalahan tersebut.

Akomodasi Pers Mahasiswa dalam UU Pers

Seperti kita ketahui bersama saat ini lembaga pers di Indonesia memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). UU tersebut menjadi angin segar bagi berjalannya pers di Indonesia. Keberadaan UU Pers dinilai mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang ada seperti intimidasi dan pembredelan terhadap pers. UU Pers juga dianggap mampu menjamin kebebasan bagi setiap lembaga pers di Indonesia dalam menjalankan fungsinya. Namun,  pada kenyataannya UU Pers belum mengakomodasi regulasi mengenai pers mahasiswa. Bahkan tidak ada satupun pasal atau ketentuan yang ada pada UU Pers yang secara eksplisit menyebutkan adanya perlindungan hukum bagi pers mahasiswa.[efn_note]Arrizal Fathurohman Nursalim, “Pers Kampus di Tengah Ketidakpastian Hukum”,  https://www.remotivi.or.id/amatan/510/pers-   kampus-di-tengah-ketidakpastian-hukum, diakses 10 November 2020.[/efn_note] Padahal apabila melihat ketentuan yang ada pada pasal 1 ayat (1) UU Pers telah disebutkan bahwa pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melakukan berbagai kegiatan jurnalistik. Kegiatan jurnalistik yang dimaksud meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.[efn_note]Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers[/efn_note] Merujuk pengertian tersebut sejatinya di satu sisi, pers mahasiswa sudah memenuhi unsur untuk disebut telah melakukan kerja jurnalistik.  Namun, kegiatan lembaga pers mahasiwa dianggap tidak bisa diukur standar jurnalistiknya karena di sisi lain seorang mahasiswa masih mempunyai tugas utama yaitu bidang akademik. Oleh karena itu hukum di Indonesia tidak mengakui pers mahasiswa sebagai salah satu bentuk jurnalisme.[efn_note]Wisnu Prasetya Utomo, “Kasus Agni: Kerentanan pers mahasiswa di Indonesia”, https://theconversation.com/kasus-agni-kerentanan-pers-mahasiswa-di-indonesia-111550,  diakses 10 November 2020.[/efn_note]

Lebih lanjut lagi ketentuan di dalam UU Pers tidak ada yang mengatur mengenai adanya perlindungan hukum bagi pers mahasiswa. Dalam pengaturannya di pasal 18 perlindungan hukum hanya diperuntukan bagi perusahaan pers.[efn_note]Arrizal Fathurohman Nursalim, Op.cit.[/efn_note] Mengenai perusahaan pers dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers. Perusahaan media cetak, media elektronik, kantor berita, dan merusahaan media lainnya yang menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi merupakan ruang lingkup perusahaan pers yang dimaksud dalam UU Pers. Perlu digarisbawahi perusahaan pers di sini haruslah berbadan hukum. Ketentuan tersebutlah yang secara terang mengartikan tidak terakomodasinya perlindungan hukum bagi pers mahasiswa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pers mahasiswa merupakan  Unit Kegiatan Mahasiswa yang masih melekat  pada sebuah perguruan tinggi sehingga bukan merupakan sebuah badan hukum.[efn_note]Arrizal Fathurohman Nursalim, Op.cit.[/efn_note] Kondisi seperti ini membuat pers mahasiswa masih rentan akan pembungkaman, alih-alih bisa keras menyuarakan opini mereka mengenai suatu isu pada kenyataannya lembaga mahasiswa sangatlah mudah untuk diintimidasi. 

Permasalahan tidak terakomodasinya pers mahasiswa dalam UU Pers tidak hanya sampai pada lembaga pers itu sendiri. UU Pers menyebutkan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.[efn_note]Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers[/efn_note]. Bunyi pasal ini berhubungan dengan Pasal 1 ayat (4) yang mendefinisikan wartawan sebagai orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dari kedua ketentuan tersebut dapat diartikan  bahwa seseorang dapat disebut sebagai wartawan apabila secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik. Sementara itu setiap awak pers mahasiswa pastilah seorang mahasiswa yang mempunyai tanggung jawab utama yaitu bidang akademik. Dari sini dapat disimpulkan ketentuan yang menyebutkan secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik tidak dapat terpenuhi. Akibatnya lagi-lagi sama yaitu setiap mahasiswa yang menjalankan fungsinya sebagai pers mahasiswa tidak mendapat perlindungan hukum.[efn_note]Arrizal Fathurohman Nursalim, Loc.cit.[/efn_note]

Menyudahi Ketiadaan Perlindungan Hukum bagi Pers Mahasiswa

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, permasalahan yang menimpa pers mahasiswa yang terjadi hingga hari ini disebabkan ketiadaan hukum yang dapat melindungi baik pers mahasiswa sebagai sebuah lembaga maupun bagi para awak pers mahasiswa tersebut. UU Pers yang ada saat ini belum mengakomodasi adanya perlindungan terhadap pers mahasiswa. Hal tersebut menyebabkan semakin hari semakin banyak insan-insan penggerak pers mahasiswa maupun lembaga pers mahasiswa yang tidak dapat menyelamatkan lembaganya dari cengkeraman para pemegang kuasa. Oleh karena itu diperlukan adanya solusi yang nyata agar tidak terjadi lagi kasus-kasus yang menimpa pers mahasiswa. Beberapa solusi yang bisa dilakukan yaitu pertama, melakukan penyusunan kode etik jurnalistik yang terkait dengan pers mahasiswa. Kode etik tersebut dapat termasuk hak jawab dan hak koreksi bagi awak pers mahasiswa.[efn_note]Arrizal Fathurohman Nursalim, Loc.cit.[/efn_note]. Kode etik jurnalistik yang disusun juga hendaknya mengatur ketentuan teknis dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh awak pers mahasiswa, misalnya kegiatan seperti peliputan berita maupun kegiatan wawancara dengan narasumber.

Kedua, pers mahasiswa dianjurkan agar melakukan penggabungan diri kepada asosiasi pers mahasiswa. Dengan menggabungkan diri kepada asosiasi pers mahasiswa, lembaga-lembaga pers mahasiswa dapat mendapatkan bantuan advokasi dari asosiasi ketika terjadi sebuah sengketa maupun ketika terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap awak pers mahasiswa di lapangan.[efn_note]Wan Ulfa Nur Zuhra, “Pers Mahasiswa Dibungkam, dari Kasus Cerpen hingga Menulis’65”, https://tirto.id/pers-mahasiswa-dibungkam-dari-kasus-cerpen-hingga-menulis-65-dkZv, diakses 18 November 2020.[/efn_note] Asosiasi pers mahasiswa di Indonesia sendiri sudah mengalami banyak perkembangan. Pada masa setelah kemerdekaan berdirilah Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) yang kemudian melebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Dalam perkembangannya, berbagai kegiatan dilakukan oleh IPMI untuk membantu berbagai pers mahasiswa di Indonesia. Saat ini asosiasi yang menjadi wadah pers mahasiswa tingkat nasional adalah Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang terbentuk pada 15 Oktober 1992.[efn_note]Agus Gussan Susantoto, Op.cit.[/fn_note]

Ketiga, dalam menyampaikan pendapat maupun melakukan kritik hendaknya dilakukan berdasarkan fakta dan data yang ada di lapangan dan bukan berdasarkan asumsi semata.[efn_note]Pito Agustin Rudiana, Op.cit.[/efn_note] Selain meningkatkan kebiasaan literasi di kalangan mahasiswa, kebiasaan untuk mendasarkan pendapat dan kritik pada fakta dan data akan membantu awak pers mahasiswa untuk menguatkan tulisan mereka. Sehingga apabila di kemudian hari terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, awak pers mahasiswa mempunyai dasar yang kuat untuk membela diri dengan menunjukkan fakta dan data yang terjadi sebenarnya.

Penulis: Afnan Karenina Gandhi, Hasyid Adi Nugroho, Latif Adiatma Habibi, Muhammad Ibnu Prarista, Rizqi Akbar Nur Imam, Whafiq Azizah Fadilla
Foto: Selma Maulia Devani

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3887).

Makalah

Arismunandar, Satrio, “Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa”, Makalah, Juni 2012.

Sunarto, “Pers Mahasiswa: Persemaian Publik Sphere Civil Society”, Makalah, Seminar Pers Nasional ‘Quo Vadis Pers Mahasiswa’ dalam rangka Ulang Tahun Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Oktober 2000.

Artikel Internet

Adriansyah, Anugerah, “Kasus Cerpen LGBT di USU Berlanjut ke Ranah Hukum”, https://www.voaindonesia.com/a/kasus-cerpen-lgbt-di-usu-berlanjut-ke-ranah-hukum/5030841.html, diakses 17 November 2020.

Kresna, Mawa, “Membredel Pers Mahasiswa”, https://tirto.id/membredel-pers-mahasiswa-b5ka, diakses 18 November 2020.

Kumparan, “33 Kasus Represif, Pers Mahasiswa Teken MoU Perlawanan”, https://kumparan.com/banjarhits/33-kasus-represif-pers-mahasiswa-teken-mou-perlawanan-1ss89UJ2QMU/full, diakses 9 November 2020.

Media Republica, “Pers Mahasiswa dan Peranannya” http://mediapublica.co/2016/02/09/pers-mahasiswa-dan-peranannya/, diakses 9 November 2020.

N., Winda, Alfiansyah, “Aksi Tolak ‘Cilaka’, Dilaporkan 17 Pers Mahasiswa Hilang”, http://manunggal.undip.ac.id/aksi-tolak-cilaka-dilaporkan-17-pers-mahasiswa-hilang/, diakses 17 November 2020.

Nursalim, Arrizal Fathurohman, “Pers Kampus di Tengah Ketidakpastian Hukum”, https://www.remotivi.or.id/amatan/510/pers-kampus-di-tengah-ketidakpastian-hukum, diakses 9 November 2020.

  1. Dipna Vadelia, “Kasus Agni dan Panggilan Janggal Polisi kepada Penulis Balairung”, https://tirto.id/kasus-agni-dan-panggilan-janggal-polisi-kepada-penulis-balairung-ddDl, diakses 10 November 2020.

Prabowo, Haris, “Sidang Gugatan Pemecatan Kru Persma Suara USU Dimulai 14 Agustus”, https://tirto.id/sidang-gugatan-pemecatan-kru-persma-suara-usu-dimulai-14-agustus-efMq, diakses 17 November 2020.

Prabowo, Imam, “Pers Mahasiswa Masa Kini”, https://mahkamahnews.org/2015/10/30/mahasiswa-dan-pers-masa-kini/, diakses 18 November 2020.

Rochmah, Safitri, “AJI: Pers Mahasiswa Tidak Boleh Dihalangi Saat Laksanakan Tugasnya”, https://gensindo.sindonews.com/read/197640/700/aji-pers-mahasiswa-tidak-boleh-dihalangi-saat-laksanakan-tugasnya-1602763857?showpage=all, diakses 17 November 2020.

Rudiana, Pito Agustin, “Pers Mahasiswa Dibungkam apa yang Harus Dilakukan?”, https://jogja.idntimes.com/news/jogja/pito-agustin-rudiana/pers-mahasiswa-dibungkam-apa-yang-harus-dilakukan/4, diakses 10 November 2020.

Sulkhan, K.A., “Pers Mahasiswa: Antara Resistensi Politik dan Krisis Eksistensial”, https://kognisia.co/pers-mahasiswa-antara-resistensi-politik-dan-krisis-eksistensial/, diakses 10 November 2020.

Susantoro, Agus Gussan, “Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia”, https://persmaporos.com/sejarah-pers-mahasiswa-indonesia/23/persmaporos, diakses 8 November 2020.

Utomo, Wisnu Prasetya, “Kasus Agni: Kerentanan pers mahasiswa di Indonesia”, https://theconversation.com/kasus-agni-kerentanan-pers-mahasiswa-di-indonesia-111550,  diakses 10 November 2020.

Zuhra, Wan Ulfa Nur, “Pers Mahasiswa Dibungkam, dari Kasus Cerpen hingga Menulis’65”, https://tirto.id/pers-mahasiswa-dibungkam-dari-kasus-cerpen-hingga-menulis-65-dkZv, diakses 18 November 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *