Opini oleh Sonny Jikwa, anggota kolektif mogok kerja buruh Freeport Indonesia di Jakarta
Sejak tahun 2018, sekelompok buruh dari Freeport Indonesia dipaksa menanggung penderitaan berkepanjangan. Mereka bukan hanya pekerja; mereka adalah simbol perjuangan kolektif untuk keadilan substansial di tengah penindasan yang terus berlanjut. Berawal dari keputusan sepihak Freeport Indonesia untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa dialog yang layak, kehidupan buruh di Papua berubah drastis.
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta—tempat gedung-gedung tinggi dan kemewahan berpadu—buruh Freeport Indonesia terdampar. Dengan harapan yang kian pudar, mereka mendirikan tenda-tenda sederhana di depan kantor Freeport Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan, hingga Ring 1 Istana Negara; menggelar aksi damai yang kerap kali diabaikan oleh pemerintah dan perusahaan. Setiap hari, kolektif kecil berisikan para buruh Freeport Indonesia berjuang, bukan hanya untuk bertahan hidup, melainkan juga mengembalikan harkat dan martabat pekerja sebagai manusia.
Teriakan buruh Freeport Indonesia menggema di antara gedung-gedung pencakar langit, meminta perhatian pemerintah dan masyarakat bagi keberlangsungan hidup pekerja. Tidak sedikit yang akhirnya kehilangan mata pencaharian, terpaksa menanggung beban ekonomi yang berat, sementara keluarga mereka menanti dengan harapan yang semakin memudar. Ketidakpastian dan ketidakadilan yang dirasakan oleh buruh Freeport Indonesia telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: seakan terlupakan, hilang suara di tengah kepentingan bisnis.
Aksi demi aksi sudah dilakukan, tetapi hasilnya? Seringkali nihil. Janji-janji yang dibuat oleh berbagai pihak tidak pernah terwujud. Ratusan buruh terpaksa bertahan di Jakarta, dengan harapan bahwa suara mereka akan didengar, bahwa keadilan akan ditegakkan. Para buruh ini menggenggam spanduk-spanduk tuntutan, masih berharap bahwa suatu hari nanti perjuangan akan membuahkan hasil.
Lebih buruk, penderitaan yang dialami oleh Buruh Freeport Indonesia bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, tetapi juga tentang hilangnya harapan. Sejumlah anggota kolektif bahkan mengalami masalah kesehatan akibat tekanan mental dan fisik yang berkepanjangan. Memang, di tengah keramaian Jakarta, kolektif buruh Freeport Indonesia hanya bagai bayangan.
Kisah kolektif buruh Freeport Indonesia mencerminkan perjuangan pekerja di Indonesia yang sering kali terpinggirkan dalam kebijakan yang tidak berpihak. Dalam era modernisasi dan industrialisasi yang pesat, suara-suara pekerja sering kali tenggelam dalam kepentingan ekonomi yang lebih besar. Maka dari itu, seiring berjalannya waktu, buruh Freeport Indonesia berusaha membangun solidaritas di antara sesama buruh: mereka menyadari bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Kisah penderitaan buruh Freeport Indonesia di Jakarta adalah panggilan bagi semua pihak agar lebih peka terhadap nasib pekerja. Buruh bukan hanya angka atau statistik, melainkan manusia dengan impian dan harapan, bagian penting dari masyarakat yang berhak mendapatkan perlindungan dan keadilan. Sudah saatnya suara pekerja didengar dan hak-hak mereka ditegakkan. Perjuangan buruh Freeport Indonesia adalah perjuangan kita semua.



