web analytics
AIESEC UGM: Save water, live better

AIESEC UGM: Save water, live better

Air sumber kehidupan. Dengan air kita tidak dapat hidup. Sebuah jargon yang sangat retoris. Selayaknya semua orang tau akan hal ini. Tetapi terus terulang dan masih bergentayangan para hipokrit yang bicara lantang tanpa beraksi secara nyata. AIESEC UGM Melalui sosial projectnya, berusaha meningkatkan awareness masyarakat mengenai pentingnya air dan sanitasi, bukan hanya dengan kampanye atau peringatan, tapi dengan pendidikan secara langsung.

(09/03/2019) “Save water, live better”, AIESEC UGM menyelenggarakan SANI-TALK. Sebuah social project WASH x AMIR yang mengangkat keresahan secara khusus tentang air bersih, sanitasi dan kesehatan lingkungan sekitar. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, pemerintah Indonesia memiliki tantangan cukup besar untuk menyediakan akses air bersih. Menurut data dari water.org, 27 juta jiwa yang kekurangan air bersih dan 51 juta masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses ke sarana sanitasi yang laik.

Kelangkaan dan tidak tersedianya akses air bersih merupakan suatu pemasalahan yang besar. Permasalahan ini tentunya tidak muncul begitu saja. Baik gejala alam maupun tindakan manusia ikut andil dalam mencipta masalah ini. Secara alamiah rusaknya akses air bersih disebabkan oleh bencana alam. Namun bandingkan dengan ulah manusia. Pembukaan lahan dengan mencukur hutan. Limbah pabrik maupun rumah tangga yang mengalir langsung ke sungai. Eksploitasi dan privatisasi berlebihan. Siapa yang mendustakan kalau manusia tak ikut andil dalam masalah ini?

Christina Aristanti – Deputi Direktur Yayasan Dian Desa, bercerita bahwa di beberapa daerah terpencil di Indonesia terjadi kesulitan akses terhadap air bersih. Jarak yang jauh serta medan yang sulit menjadi faktor utamanya. Bantuan berupa pembuatan infrastruktur terkadang telah diberikan bagi daerah tersebut, namun penggunaannya tetap tidak sesuai. Terkadang, ketika terjadi kerusakan, warga sekitar tidak memperbaiki saluran itu. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun sumber air bersih melimpah, bila tidak didukung dengan akses dan pengetahuan serta kesadaran yang baik maka masyarakat tetap mengalami kesulitan.

Masalah air bersih dan sanitasi tidak hanya menghinggapi desa terpencil. Kenyataannya problem ini juga terjadi di kota-kota besar. Daerah kota yang kompleks dengan tingkat penduduk yang padat seringkali menyisihkan masyarakat yang kurang beruntung. Berdasar data dari Ditjen Cipta Karya, terdapat 38.431 hektar daerah kumuh (slump area) yang 23.473 hektarnya berada di perkotaan. Christina berpendapat bahwa penduduk di slump area perkotaan harus menghabiskan 40% dari penghasilan mereka hanya untuk akses terhadap air bersih.

Selain akses air yang sulit, seperti yang telah disampaikan, kebersihan air pun menjadi masalah. Tidak dapat dipungkiri, Sebagai negara berkembang, banyak daerah di Indonesia yang airnya tercemar bakteri dan mikroorganisme berbahaya bagi tubuh. Sebagai contoh, menurut riset yang dilakukan UNICEF pada tahun 2015; 2 dari 3 rumah di Jogjakarta memiliki air yang terkontaminasi bakteri. Semakin maraknya polusi serta limbah yang tidak diolah dengan benar memperburuk keadaan ini.

Pemerintah bukannya tinggal diam. Melalui program 100-0-100, Pemerintah Indonesia berusaha menuntaskan permasalahan sanitasi dan air bersih. Program 100-0-100 bertujuan untuk menjadikan Indonesia memiliki 100 persen ketersediaan akses air bersih, 0 persen kawasan kumuh, dan 100 persen ketersediaan akses sanitasi sehat. Namun agaknya kendala teknis dan faktor sosial menjadikan program ini sedikit terhambat.

Menurut Christina, upaya untuk terbebas dari permasalahan sanitasi, air bersih, dan lingkungan kumuh sangat kompleks. Permasalahan teknis dan administrasi lapangan memang common sense yang tidak dapat diabaikan. Namun yang tak kalah penting adalah sosial behavior and awareness.

Christina menuturkan, program-program yang ada kadang kurang melihat social and behavior aspect masyarakat. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat menjadi sangsi terhadap program-program yang ada. Menurut Christina, seharusnya hal teknis lapangan dibarengi dengan aspek substansi sosial seperti awareness. Hal ini karena dengan membangun awareness masyarakat, program akan berjalan lebih baik. Masyarkat akan turut serta dalam mengawal program karena kesadaran dan rasa memiliki sarana sanitasi yang telah dibuat.

Pada akhirnya, perkara sanitasi dan air bersih ini memang bukan hanya tanggung jawab Negara dan pemerintah. Siapapun memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga lingkungan untuk hidup yang lebih baik. Agar jargon tak hanya sebatas jargon, aksi nyata untuk masyarakat dapat dimulai dari pemahaman dan pendidikan. Save water, live better. 

Penulis : Audra Ranatika, Faiz Al-Haq

Editor  : Izul

Leave a Reply

Your email address will not be published.