Salah satu Lembaga Semi Otonom (LSO) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yakni Constitutional Law Society (CLS) melangsungkan acara Pers Conference yang digelar di area kampus FH UGM pada Selasa (23/24). Konferensi Pers tersebut bertajuk “Pasca Putusan MK Kita Harus Apa?” dan dihadiri oleh Dosen Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar serta Herlambang P. Wiratraman sebagai pengantar acara.
Zainal Arifin Mochtar
Zainal Arifin Mochtar atau yang kerap dipanggil Mas Uceng memulai konferensi pers dengan mengutip salah satu prinsip hukum fiqih, hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf yang artinya putusan hakim itu mengikat dan menghilangkan perbedaan. Bertolak dari prinsip tersebut, Mas Uceng mencoba mengkontekstualkan dengan putusan hakim MK terhadap Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 sekaligus menegaskan bahwa meskipun hakim MK telah mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah, masyarakat sipil tetap harus menilai dan memberikan kritik karena putusan tersebut menjadi milik publik.
sumber: Constitutional Law Society FH UGM
Mas Uceng berpendapat bahwa putusan MK tersebut tidak mencerminkan apa yang seharusnya. Mas Uceng menilai terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi putusan MK tersebut, salah satunya adalah ketatnya hukum acara yang menyulitkan pembuktian bagi pemohon.
“Sadli Isra dan Arief Hidayat menyatakan bahwa ada keterbatasan hukum acara yang terlalu ketat, hukum acara cuma 14 hari, pembuktian 1 hari, dan dibatasi jumlah orang yang bisa bersaksi”, Mas Uceng melanjutkan, “dampaknya ya hakim menolak dalil pemohon karena pemohon tidak menyertakan bukti saksi maupun ahli. Padahal saksi dan ahli yang boleh dihadirkan jumlahnya terbatas”.
Selain itu, Mas Uceng memaparkan adanya disparitas pola berpikir para Hakim MK yang terbagi dua kubu, antara hakim yang berpikir secara judicial activism atau secara substantif dengan hakim yang berpikir secara judicial strict atau secara formalistik turut menjadi faktor pemengaruh Putusan MK.
Lebih lanjut Mas Uceng menyebut upaya upaya penegakkan hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap dugaan kecurangan Pemilu 2024 harus tetap bergulir walaupun Putusan MK telah dikeluarkan. Salah satunya dengan mendorong DPR melakukan Hak Angket.
“Saya kira untuk alasan itu harus kita dorong betul temen-temen di DPR untuk serius mengajukan angket. Tidak boleh dibiarkan proses yang keliru itu dibiarkan tanpa pertanggungjawaban”. Jelas Mas Uceng.
Mas Uceng menambahkan bahwa masyarakat sipil juga harus bersiap dan melakukan konsolidasi untuk penguatan pengawasan terhadap pemerintahan agar rentetan peristiwa yang terjadi dalam Pemilu 2024 tidak terjadi pada pesta demokrasi berikutnya.
“Ini tu melanjutkan aja kaya main game, batas main game cuma 2 kali dia mau main 3 sampai 4 kali jadi dia bikin akun baru. Maksudnya harus ada kemampuan kita untuk mengingatkan dan melakukan perlawanan, untuk itu kita harus bersiap bisa jadi masa ini adalah masuknya musim dingin atau winter is coming”.
Herlambang P. Wiratraman
Herlambang P. Wiratraman sebagai pengantar memulai sesi kedua dengan menyatakan bahwa dirinya telah memprediksi permohonan yang diajukan paslon nomor urut 01 dan 03 akan ditolak oleh MK dalam perkara PHPU. menurutnya prediksi tersebut didasari atas dua poin utama yang kerap menjadi corak dalam pengambilan putusan MK.
Pertama, dominasi hakim bernalar formalisme yang terseleksi atau selected formalism dalam mengambil putusan. Herlambang menuturkan bahwa nalar ini sangat berbahaya karena etika tidak lagi dianggap penting di dalam putusan.
sumber: Constitutional Law Society FH UGM
“Saya tidak bisa membayangkan rasio decidendi putusan MK mengatakan bahwa netralitas presiden tidak cukup meyakinkan hakim karena dua hal. pertama, tidak jelas indikator dan parameternya. Kedua, etika belum menjadi hukum indonesia. Padahal yang namanya etika tidak semua harus diformalisasikan”, Tegas Herlambang.
Herlambang melanjutkan dengan poin yang kedua, yakni adanya fenomena judicialization of authoritarian politics. Menurut Herlambang, kekuasaan kehakiman semakin lama semakin menegaskan posisinya untuk menopang kepentingan politik rezim. Oleh karenanya, istilah seperti ‘Mahkamah Kartel’, ‘Mahkamah Keluarga’, dan istilah negatif lain terhadap MK bermunculan sebagai refleksi dari politik kekuasaan kehakiman yang dikendalikan kepentingan politik istana maupun Senayan.
“Kenapa bisa?”,”pertama, membaca MK saya setuju dengan bung Uceng bahwa kepentingan politik teramat bekerja politik oligarki yang begitu melekat di sistem ketatanegaraan. Kedua, kita tidak pernah mencoba mempertanyakan bahwa situasi situasi ini harusnya dapat dicegah dengan kekuasaan politik yang tampil secara alternatif. Masalahnya kita tidak memiliki oposisi yang seimbang”, jelas Herlambang.
Sementara itu, Herlambang juga menyarankan masyarakat untuk melakukan beberapa hal dalam menyikapi putusan MK terhadap Pemilu. Diantaranya menjaga kekuatan atau kesadaran kritis publik, meningkatkan kecerdasan politik di ruang publik, menguatkan negara hukum demokratis karena itu adalah mandat konstitusi, dan melakukan protes atau pembangkangan sipil terhadap permasalahan politik ketika mekanisme hukum tidak dapat menjadi jalan keluar.
Terakhir, Herlambang meyakinkan publik agar tidak ragu dalam menyikapi secara kritis putusan MK karena merupakan mandat konstitusi.
“Tidak perlu ragu karena semua itu merupakan mandat konstitusi yang memungkinkan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan kebebasan sipil” tutur Herlambang
Pernyataan CLS Hukum UGM
Menjelang akhir acara, Ignatius Lintang Nusantara selaku presiden sekaligus perwakilan CLS membuka sesi ketiga dengan mengutip salah satu adagium hukum, Inde datae leges be fortior omnio posset – hukum dibuat, jika tidak orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan terbatas.
sumber: Constitutional Law Society FH UGM
Ia mengungkapkan bahwa tidak terbatasnya kekuasaan presiden dan wakil presiden adalah penyebab munculnya fenomena-fenomena yang menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia. Lintang juga menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat jangan sepenuhnya percaya dengan kehendak penguasa sebab terkadang berbenturan dengan hukum dan aturan yang berlaku.
“Waktu membuktikan bahwa kita tidak bisa lebih lamabergantung kepada hati nurani penguasa karena hati nurani pribadi penguasa tidak selamanya benar di mata hukum,” tegas Lintang.
Lebih lanjut, Lintang menjelaskan lahirnya pernyataan tersebut berkaca dari tidak adanya hukum yang membatasi kekuasaan pemerintah terkhusus presiden dan wakil presiden sehingga dapat bertindak sewenang-wenang.
“Logika tersebut timbul karena selama ini kita membiarkan penguasa bisa berkuasa tanpa batas karena negeri ini belum memiliki instrumen hukum yang khusus untuk membatasi kekuasaan presiden dan wakil presiden “, tutur Lintang.
Reporter: Lintang Dyah Persada, Muhammad Yusuf Aryotejo, Vania Ashley Chrisanto
Author: Radea Basukarna Prawira Yudha
Editor: Vania Ashley Chrisanto