web analytics
Menilik Interseksi Gender dari Berbagai Perspektif

Menilik Interseksi Gender dari Berbagai Perspektif

Isu interseksionalitas yang tumbuh secara siginifikan di abad ke-20, lahir sebagai bagian dari gerakan feminisme gelombang kedua pada tahun 1957 pada konteks perempuan dan laki-laki kulit putih di Benua Eropa dan Amerika. Asal muasal interseksi gender, yang bersumber dari kompleksitas citizenship muncul ketika migran-migran dari negara bekas jajahan memasuki negara-negara di benua Eropa dan Amerika pada tahun 1960-an. Polemik tersebut seakan bertumpuk dengan isu rasialisme, homophobia, islamophobia, dan isu lain yang menjadikan persoalan gender tidak hanya sebatas kedudukan perempuan dan laki-laki kulit putih. 

“Polemik ini ditengarai oleh tiga tokoh feminis kulit berwarna, yakni Chandra Mohanty yang membuka awareness akan generalisasi feminisme oleh orang Eropa seakan perempuan di seluruh dunia bernasib sama,” papar Wening Udasmoro, editor buku “Interseksi Gender: Perspektif Multidimensional Terhadap Diri, Tubuh, dan Seksualitas dalam Kajian Sastra”. Ia kemudian turut menyebutkan Kimberlé Crenshaw dalam bukunya “On Intersectionality” yang menegaskan bahwa permasalahan gender tidak berdiri sendiri secara biner, tetapi juga berinterseksi dengan persoalan kelas sosial, dominasi, etnis, dan lainnya. “Kemudian ada Patricia Hill Collins yang membuka mata dunia akan permasalahan yang dihadapi keturunan Afrika-Amerika dalam masa krisis, mereka cenderung menjadi kelompok yang dikorbankan dalam menerima bantuan di masa itu,” imbuh Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM yang terkenal akan Filosofi Wayang pada seri ketiga Webinar HUT ke-30 Pusat Studi Wanita (PSW) UGM, Senin (08-03).

Adapun isu interseksi gender yang dibahas secara signifikan berputar pada kedudukan perempuan muslim di Amerika yang diungkit dari karangan Haris Kurniawati bertajuk “Lipstick Jihad”. Tulisan tersebut berbicara tentang Amerika, sang Land of Paradox yang mengusung prinsip bahwa perempuan dan laki-laki duduk dalam kursi yang sama. “Akan tetapi, pada kenyataannya perempuan dikategorikan sebagai kelompok minoritas yang berada di luar lingkaran “White Anglo-Saxon Protestants (WASPs) plus Male” sehingga kerap kali perempuan yang berada di luar lingkaran tersebut dikaitkan dengan etnis ataupun agama tertentu,” jelas Nur Saktaningrum, Wakil Dekan I FIB UGM

Di sisi lain, Ika Dewi Ana, Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian UGM menyinggung isu-isu interseksi gender dalam khasanah lain juga diungkit, seperti kedudukan seorang nyai atau ning pesantren dalam memberikan pendapat tentang fiqih dan sufisme. Hal tersebut adalah satu dari berbagai keadaan interseksi gender lainnya yang bisa dikaji lebih dalam untuk menyeimbangi khasanah kajian feminism barat.

Sejalan, Nur Indrianti, Ketua Dharma Wanita Persatuan UGM menilai bahwa Indonesia sudah cukup jauh dalam penanganan masalah berbasis gender. Hal tersebut sejalan dengan misi PBB yang mengusung permasalahan gender sebagai salah satu SDGs 2030. “Permasalahan gender dalam masa modern tidak selalu tentang perempuan dan laki-laki, tetapi juga berinterseksi dengan status miskin dan minoritas yang hidup di masyarakat,” pungkasnya dalam seri diskusi Book Launching and Review yang bertepatan pada Hari Wanita Internasional.

Bersinggungan dengan hukum, Sri Wiyanti Eddyono, Dosen Fakultas Hukum UGM yang, menekankan pentingnya RUU PKS dalam rangka memberikan perlindungan bagi kelompok-kelompok interseksion, yaitu kaum perempuan yang mendapatkan label diskriminasi berlapis seperti perempuan dengan disabilitas, perempuan anak, perempuan hamil, perempuan lansia, dan lain sebagainya. RUU PKS dinilai memberikan kerangka pencegahan bagi kekerasan seksual untuk menghindari dampak yang sangat mahal bagi korban. Ia menilai tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan seksual juga berdampak secara psikis bagi korban. Dengan demikian, Widya Nayati sebagai Ketua PSW UGM secara tegas menyatakan sikap mendorong disahkannya RUU PKS sesegera mungkin. 

Penulis: Jennifer

Penyunting: Athena 

Foto: Winda Hapsari

Leave a Reply

Your email address will not be published.