Maria Soemardjono merupakan sosok yang ramah dan menyenangkan. Di sela-sela aktifitas yang padat, ia berusaha sebisa mungkin untuk menjawab pertanyaan yang diajukan penulis. Wanita yang dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 23 April ini bercerita bahwa minatnya pada dunia hukum telah membuatnya mengambil dua bidang sekaligus untuk gelar masternya. Salah satunya, adalah gelar Master of Comparative Law, yang diperolehnya dari Southern Methodist University (SMU) Dallas, Texas, pada tahun 1978.
Ia bertutur, bahwa pendidikan master tersebut ia ambil untuk memperdalam pengetahuan dalam studi komparatif hukum tertentu dalam dua sistem hukum yang berbeda. Saat akan mempelajari administrasi publik di University of Southern California, ia mempunyai pertimbangan bahwa kelak hal tersebut akan bermanfaat untuk menambah bobot pemahaman ilmu hukum dari sudut pandang administrasi publik. Terlebih hukum pertahanan yang selalu sarat dengan aspek administratif.
Ketika disinggung akan ketertarikannya dengan hukum pertahanan yang diwujudkan dalam berbagai penelitian pada tahun 1996, 1997, hingga 2007, wanita berusia enam puluh sembilan tahun ini berkata bahwa hal tersebut disebabkan karena menurutnya hukum pertahanan terus berkembang. Pengalaman yang didapatnya saat melalukan penelitian tersebut diharapkan dapat membantu para mahasiswa untuk lebih memahami, tidak hanya hukum yang tertulis dalam buku namun juga hukum yang terjadi secara nyata dan peristiwa yang terjadi akibat dari adanya suatu kebijakan yang nyata (law in action) .
Tidak hanya melakukan penelitian di bidang pertahanan, alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang ini juga sering melakukan penelitian di bidang pertanahan dan agraria. Dalam wawancara, ia berujar bahwa hal tersebut dimulai secara tidak sengaja. “Berbagai hasil penelitian dan tulisan saya dinilai positif, dalam arti bermanfaat untuk mengembangkan konsepsi-konsepsi tentang pertanahan seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan iptek, di samping itu hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan,” ujarnya. “Karena sudah teruji, datanglah tawaran dari berbagai pihak untuk melakukan penelitian, baik dari Pemerintah Republik Indonesia maupun dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, ADB, GTZ, AusAID, maupun DANIDA.”
Perlu diketahui, selain sibuk mengadakan berbagai penelitian dan kajian hukum, ia ternyata juga sempat menjadi konsultan untuk Asian Development Bank (ADB). ADB adalah sebuah institut finansial serupa World Bank, hanya saja ADB lebih fokus kepada perkembangan ekonomi negara-negara di Asia-Pasifik. Berbasis di Manilla, Filipina, ADB kini telah memiliki enam puluh tujuh member yang tersebar di berbagai negara.
Awal keterlibatannya dalam organisasi tersebut ternyata tidak terjadi secara tiba-tiba. Semua bermula melalui proses panjang berdasarkan pengalaman penilitian terkait obyek yang diteliti dan pemahaman terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan terkait. “ Serta tentu saja kemampuan berbahasa inggris yang baik, karena semua diskusi dan laporan dikerjakan dalam bahasa Inggris,” tambahnya.
Bekerja dalam sebuah organisasi internasional, menurutnya, sangatlah menyenangkan. “Mereka sangat menghargai hasil kerja kita. Apalagi apabila kerja tersebut obyektif dan rasional saat dipresentasikan, dan tentu saja teruji. Mereka juga menghargai ketepatan waktu saat bekerja akan karena itu sudah menjadi prinsip,” katanya. Selain itu, menurutnya organisasi-organisasi internasional juga bagus dalam hal komunikasi. Mereka juga tak segan untuk saling bertukar informasi mengenai hal yang mereka punya atau butuhkan.
Maria S.W. Soemardjono juga aktif menulis. Semangatnya ini terlihat dari dua belas karya yang telah diterbitkan dan lebih dari tiga puluh pengalaman penelitian yang telah ia dapatkan serta telah berhasil menelurkan beberapa buku yang berkaitan dengan masalah pertanahan. Tulisan pertamanya yang dimuat di media massa berkaitan dengan masalah “Kuasa Mutlak” pada tahun 1978.
Keterampilannya dalam hal tulis-menulis jugalah yang mengantarnya untuk mendapatkan sponsor dari ADB sehingga ia bisa meyelesaikan buku berjudul Decentralisation in Indonesia yang diterbitkan di Australia sebagai satu-satunya buku diluar konteks agraria. Ia bercerita dengan rendah hati bahwa sebenarnya buku tersebut adalah pertanggungjawaban atas penelitian tentang “Policy Making Process for Regional Autonomy in Indonesia: Research and Publication” yang dilakukannya pada kurun waktu Juli hingga November 2001.
Dalam penelitian tersebut, ia menguraikan tentang bagaimana penyiapan peraturan perundang-undangan pada umumnya dan mengulas berbagai peraturan perundang-undangan terkait Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penelitian tersebut mengingatkan tentang kelemahan-kelemahan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sekaligus tentang perlunya dipenuhi syarat-syarat atau pertimbangan ketika menyusun peraturan perundang-undangan.
Penerima Piagam Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama sebagai Penasihat Ahli Menteri Negara Agraria pada tahun 1998 ini ternyata juga pernah berkecimpung dalam dunia penyusunan perundang-undangan. Hal tersebut ia awali pada tahun 1993 saat menjadi koordinator penyusun RUU Hak Tanggungan. Menurut Maria, sebagai negara besar yang berpenduduk 259 juta lebih, negara Indonesia harus mampu mencukupi kebutuhan pangan. Pada kenyataannya, implementasi dari konsep ketahanan pangan masih belum sesuai dengan tujuan awalnya. Permasalahan ketahanan pangan di Indonesia masih terus terjadi, dan menurutnya hal tersebut terjadi karena ketergantungan masyarakat yang berlebih dengan adanya beras.
“Produksi beras sebagai kebutuhan pangan pokok harus diimbangi dengan diversifikasi konsumsi pangan (jagung, ubi jalar, sagu) sehingga tidak sangat tergantung pada beras, dan semua itu membutuhkan kecukupan ketersediaan lahan dan air,” ujarnya. Sebagaimana kita ketahui, adanya air memungkinkan terjadinya peningkatan produksi pertanian, menambah lapangan kerja, mencegah kelaparan dan tumbuhnya ekonomi pedesaan. Jaringan irigasi juga telah membantu menurunkan harga berbagai produk pertanian sehingga mampu dijangkau oleh kaum miskin di wilayah perkotaan.
“Masalahnya, terjadi alih fungsi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian dalam skala relatif besar, dan menurunnya permukaan air tanah sebagai akibat penggunaan yang berlebihan. Dua hal tersebut berdampak terhadap kecukupan kebutuhan pangan bagi rumah tangga,” tambahnya.
Ia berpendapat bahwa, kecukupan lahan dan air dapat diartikan dalam jumlah, mutu, keamanan, kemerataan, dan keterjangkauan bagi masyarakat. “Untuk menjamin ketahanan pangan tersebut, dengan melihat degradasi lahan dan air, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatur, mengelola, dan melakukan pengawasan terhadap penggunaan lahan dan air secara adil dan berkelanjutan sehingga bermanfaat tidak hanya bagi generasi sekarang, tetapi juga generasi yang akan datang,” tegasnya.
Berbekal ilmu dan keahlian di bidang pertanahan yang ia miliki, ia berharap, untuk dapat membantu meningkatkan kualitas ketahanan pangan dalam negri ini. Kerja yang berfokus kepada aspek hukum pengelolaan sumber daya lahan dan air, dapat diwujudkan dalam bentuk berupa saran-saran untuk penyusunan/revisi kebijakan yang relevan. “Sebagai anggota keluarga besar UGM yang berciri populis, masalah akses yang adil dalam penguasaan/pemanfaatan SDA, termasuk tanah/lahan dan air harus menjadi salah satu concern utama,” ujarnya.
Seperti yang kita ketahui, sebanyak dua belas regulasi peraturan perundang-undangan SDA selama ini inkonsisten, dalam artian masih tumpang tindih satu sama lain. Khususnya dengan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Maria membuktikan hal tersebut dalam salah satu kajian yang dilakukannya pada 2011.
Menurut pendapat pengajar yang telah mengabdi selama dua puluh lima tahun di UGM ini, seperti yang telah dimuat dalam jurnal hukumonline, UUPA mengklasifikasikan tanah dengan cara yang berbeda dari UU Kehutanan. UUPA mengkategorikan tanah menjadi tanah negara, tanah ulayat, dan tanah hak. Padahal, dalam UU Kehutanan tidak dikenal istilah hukum adat yang sejatinya adalah bagian dari hak ulayat.
Hal ini tentu saja mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat, seperti kehilangan tanah pertanian, perkarangan, akses ke hutan, tanah bersama; kehilangan bangunan; kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan, serta berujung pada kehilangan kehidupan. “Tidak hanya itu, dalam skala besar, ketimpangan dalam pengaturan SDA dapat menimbulkan berbagai konflik dan sengketa dalam penguasaan/pemilikan, dan pemanfaatan SDA (antar sektor, antara sektor dengan masyarakat/ masyarakat hukum adat (MHA), dan antar investor terkait hak/ijin pemanfaatan SDA,” tegasnya.
Menurutnya perlu harmonisasi peraturan perundang-undangan SDA sudah diamanatkan sejak tahun 2001 melalui Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun demikian, sampai dengan saat ini, belum ada upaya pengharmonisasian yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun DPR.
Kajian lebih lengkap mengenai masalah ini ia tuangkan dalam buku “Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara yang Tersurat dan Tersirat, Kajian Kritis Undang-Undang terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam”, yang merupakan hasil penelitiannya bersama Ernan Rustiadi, Abdullah Aman Damai dari IPB, dan Nur Hasan Ismail dari FH UGM.
Selain dengan menulis buku, ia ternyata juga turut terlibat langsung dengan menjadi Koordinator Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KKSPA). Sampai dengan saat ini, anggota KKSPA baik secara sendiri maupun bersama-sama, dalam berbagai forum masih konsisten menyuarakan/mengingatkan urgensi pelaksanaan Pembaruan Agraria. Salah satu motor penggerak KSPA adalah buku “ Landreform Dari Masa Ke Masa” yang ditulis oleh Noer Fauzi Rachman, salah seorang penggiat reforma agraria.
“Hal tersebut kami lakukan paling tidak untuk menyusun peraturan perundang-undangan di bidang sumberdaya agraria atau sumberdaya alam yang didasarkan pada prinsip PA dan PSDA, serta mengupayakan cara-cara untuk menyelesaikan konflik agraria,” tuturnya.
Sebelum malang-melintang dalam bidang agraria dan penyusunan perundang-undangan, ternyata Maria Soemarjono sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UGM dalam kurun waktu tahun 1991 hingga 1997. Selama masa jabatannya, ia merasa banyak mendapat pengalaman yang bisa dipetik untuk pelajaran hidup kedepannya. “Satu-satunya kunci semangat untuk maju adalah keterbukaan. Keterbukaan disini harus kepada semua pihak, baik itu ke atas, ke bawah, ke samping, ke luar, maupun ke dalam,” jelasnya. Hal itu mutlak untuk dilakukan, karena menurutnya, membangun dan memelihara jaringan (network) bisa membantu mengembangkan suasana ilmiah terkait penelitan dan penyelenggaraan berbagai temu ilmiah di Fakultas Hukum UGM.
Menjadi pimpinan, berarti memikul tanggung jawab untuk menjadi teladan bagi sesama. Namun begitu, menurutnya keseimbangan hubungan juga tetap harus dijaga, seperti hubungan antara senior dan junior, yang harus dipererat dalam suasana kekeluargaan yang saling menghargai antara satu sama lain. Dengan moto hidup “Cogito ergo sum” yang berarti “saya berpikir, karena itu saya ada” dari Renee Descartes, Maria Sumardjono menjunjung tinggi tentang berbagi pemikiran dan menjadi insan yang bermanfaat bagi masyarakat luas, agar hidup ini tidak hanya sekedar hidup tetapi memaknai kehidupan itu sendiri dengan kemanfaatan.
Di usianya yang sebentar lagi menginjak angka tujuh puluh, Maria Soemardjono ternyata tetap aktif dalam berbagai kegiatan. Hingga saat ini, ia masih tercatat sebagai pengajar di semua program S2 Fakultas Hukum UGM. Tidak hanya itu, ia juga rajin membimbing berbagai tesis dan disertasi serta menjadi narasumber untuk temu ilmiah. Wanita yang hobi mendengarkan musik jazz di waktu senggangnya ini, mengaku bahwa ia juga sedang sibuk mempersiapkan naskah dua buku. “Insya Allah, dapat terbit tahun ini, sebagai ungkapan syukur ulang tahun ketujuh puluh,” ujarnya.
Selain berencana untuk menerbitkan karya-karya terbarunya dalam bentuk buku, makalah, maupun legal opinion, ia juga tengah sibuk menjabat sebagai Anggota Dewan Pengawas Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno, Tenaga Ahli Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), dan sebagai Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan beberapa kesibukan lain yang tengah dijalani. Walaupun demikian ditengah-tengah padatnya kegiatan, ia masih menyempatkan diri untuk tetap berperan sebagai seorang nenek untuk lima orang cucunya.
Sebagai sosok yang memiliki banyak prestasi, pengalaman hidup, menorehkan berbagai karya, dan mempunyai visi misi hidup yang mulia, maka tidak ada alasan bagi kita, orang-orang yang akan ikut mengabdi bagi masyarakat untuk tidak meneladaninya. Usia yang menuju senja bukanlah alasan bagi manusia untuk berhenti berkarya dan menjadi “malas” dalam berpikir. Sosok Maria Soemarjono telah membuktikan bahwa sebagai manusia sudah semestinya untuk menjadi manfaat bagi lingkungannya. (Putu Shanti dan Ageng Prabandaru)