web analytics

Bersih Melalui Penegakkan Integritas

(Umar Mubdi)

Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyematkan status tersangka kepada Bupati Lombok Barat, Zaini Aroni (ZA). Zaini diduga memeras pengusaha dari PT Djaja Business Group dalam kasus pengembangan kawasan wisata di Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Dari perbuatannya yang menyalahgukanakan wewenangnya sebagai kepala daerah itu, ia diperkirakan menerima aliran dana sekitar Rp 2 miliar.

Penulis berasal dari Lombok dan agaknya mengetahui bahwa masyarakat di Lombok Barat mengenal ZA sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Buktinya, ia kembali terpilih menajabat jadi Bupati untuk periode yang kedua. Peristiwa ini telak menyadarkan kepada kita bahwa tak selamanya “citra” di publik relevan dengan moral seseorang yang sesungguhnya. Sebab ZA yang bercitra bagus di mata rakyat, toh ternyata tersangkut jua dalam kasus korupsi.

Memang sebagai pejabat publik, “citra” saja tak mungkin cukup untuk menjalankan apa yang disebut good governance. Perlu integritas, kompetensi, dan visi ke depan nan terukur. Kiranya refleksi ini menemukan momentumnya pada peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) tahun ini yang jatuh pada 9 Desember. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini masyarakat dunia memperingati Hari Anti Korupsi Internasional dengan berpijak pada tema “Break the Corruption Link”. Secara nasional, puncak perayaan HAKI berlangsung di Kota Gudeg, Yogyakarta, pada 9 – 11 Desember, dengan mengangkat tema yang diusung oleh KPK “Tegakkan Integritas”.

Kali ini, pertanyaannya, mungkinkah Indonesia yang bersih dari korupsi, dapat tercipta melalui penanaman moral serta integritas?  Abraham Samad, ketua KPK, dalam acara Mata Najwa, Rabu (10/09/2014) mengakui bahwa, “Nilai-nilai dan kearifan lokal yang pernah ada, kini tergerus oleh globalisasi”. Ia menjelaskan lagi bahwa budaya hedonisme dan konsumerisme yang menitikberatkan pada kesenangan dan kemewahan telah merasuk di kehidupan bangsa Indonesia. Tak ayal, para pejabat publik makin maruk akan kekuasaan dan kekayaan meski telah berkecukupan. “Fasilitas banyak dan gaji cukup. Sehingga  tak perlu korupsi. Ini lebih karena ketamakan,” ucapnya.

Menurut ICW, praktik korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir. Ia mencatat pada 2013, jumlah kasus korupsi yang disidik kejaksaan, kepolisian, dan KPK mencapai 560 kasus. Pada 2014, jumlah kasus korupsi diperkirakan akan meningkat lagi mengingat selama semester I-2014 yang jumlahnya sudah mencapai 308 kasus. Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama semester I-2014, ICW mengungkapkan bahwa sebagian besar tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian, yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan swasta, anggota DPR/DPRD, kepala dinas, dan kepala daerah.

Dari hal tersebut, terlihat jelas bahwa terjadi degredasi moral di negeri ini. Dimana mereka yang mapan secara finansial, ternyata miskin secara moral. Dalam acara yang bertemakan “Revolusi Bersih” itu, politisi dan aktivis Islam, Yeni Wahid, mengatakan, “Selain dari upaya pemerintah dalam penghematan finansial, yang kini dibutuhkan juga adalah konstruksi nilai.”  Konstruksi nilai yang dimaksudkan ialah merubah sikap permisif dari pejabat elit di Indonesia menjadi sikap yang berintegritas. Sebab, menurut Yeni, seorang pejabat dianggap pengayom oleh bawahannya. Sehingga ketika tauladannya baik dan berintegritas maka yang lain akan mengikuti.

Wali Kota Bogor yang turut hadir dalam acara Mata Najwa, Bima Arya, pun heran mengapa mereka yang ingin kaya malah memilih menjadi kepala daerah yang gajinya “sebatas” cukup. Tidak aneh apabila mereka pada akhirnya, melakukan praktik korupsi untuk meraup sebanyak-banyaknya kekayaan. “Gak mungkin kaya. Itu bukan untuk mencari kekayaan. Menjadi kepala daerah adalah  untuk mencari kehormatan dan pengabdian,” kata Bima.

Moral dan integritas menjadi urgensi memang, bila kita melihat kondisi Indonesia masa kini. Segala orientasi hanya tertuju pada materi. Inilah yang kelak akan mendorong lahirnya pelaku korupsi baru. Dengan demikian, perlu adanya peran pemerintah, masyarakat, dan mahasiswa sebagai satu kesatuan yang fungsional dalam menuntaskan masalah ini.

“Pemerintah tengah membangun sistem yang efektif, penghematan uang negara, dan memperkenalkan kesederhanaan,” jelas Pratikno, Menteri Sekretaris Negara. Hal tersebut dilakukan pemerintah sebagai upaya dalam memberantas praktik korupsi.

Abraham Samad juga menyampaikan bahwa KPK dalam membumikan integritas di kalangan masyarakat, membuat Kampung Integritas di daerah Kota Gede, Yogyakarta. “Latar belakangnnya diciptakan Kampung Integritas adalah kami prihatin karena koruptor datang dari keluarga.” katanya. Lebih lanjut, Abraham Samad menjelaskan bahwa revolusi bersih untuk membangun integritas dan moral secara luas harus dimuai dari individu. “Setelah individu, kemudian integritas organisasi. Baru integritas institusi dan terakhir sistem integritas nasional.” ucapnya.

Upaya penegakkan integritas guna membrantas praktik korupsi pun perlu dilakukan oleh mahasiswa. Menurut Zainal Arifin Mochtar, upaya tersebut bisa dimulai dari hal yang paling mendasar yakni menyatukan cara bertindak dengan cara berpikir. “Misalnya mahasiswa harus sepakat untuk tidak menyuap polisi. Ini kerja kolektif.” jelas direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM itu.

Akhirnya, harapan kita semua, Indonesia yang bersih dari korupsi bukan lagi sebuah utopia. Namun sungguh-sungguh diusahakan oleh banyak pihak, dengan memberikan perhatian yang besar kepada moral dan integritas sebagai basis utama dalam mensejahterakan rakyat, memajukan bangsa, dan dalam hal penyelenggaraan negara yang bersih, sehat,  lagi bebas dari korupsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *