“Revisi Undang-Undang (UU) ini merupakan bentuk penguatan dari badan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bukan merupakan efek dari kasus-kasus korupsi yang merebak baru-baru ini.”, ucap K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum. dalam Seminar Nasional Menangkap Aspirasi Publik Mengenai Rencana Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Rabu (22/3).
Salah satu perwakilan Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut menjelaskan bahwa rencana revisi UU KPK ini sudah ada sejak tahun 2011 dan bergema lagi pada tahun 2015. Akan tetapi, pembahasannya terhenti karena pemerintah tidak kunjung menemukan kesepahaman untuk merevisi Undang-Undang KPK.
Selanjutnya, Dr. Inosentius Samsul,S.H., M.H yang juga berasal dari Badan Keahlian DPR menjelaskan mengenai Dewan Pengawas yang dianggap melemahkan KPK. “Dewan pengawas maksudnya untuk mengontrol, tetapi dianggap pelemahan. Selama ini memang diminta ada dewan penasihat. Kalau ada dewan pengawas ini bisa dikerjai komisoner KPK. Tapi seleksi dewan pengawas ini dilakukan dengan ketat, kalau komisioner nilainya 9 maka dewan pengawas 10. Saya kira bukan suatu rahasia bahwa pelanggaran kode etik KPK juga ada, hanya saja jarang terksploitasi”, jelasnya.
Pemaparan kebijakan dari kedua perwakilan Badan Keahlian DPR ini menimbulkan reaksi dari para Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Dr. Zainal Arifin Muchtar S.H., LL.M. ,dosen bidang Hukum Administrasi Negara (HAN) sekaligus Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT FH UGM),berpendapat bahwa konsep Revisi UU KPK masih jauh dari The United Nations Convention against Coruuption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Misalnya, penangkapan tersangka korupsi dapat dilakukan dengan penyadapan dan teknik menjebak (control delivery) yang independen. Sedangkan, revisi UU KPK ini seakan-akan ingin membatasi penyadapan dengan cara memperpanjang birokrasi penyadapan. Selain itu, ada ketidakjelasan terhadap terminologi keadaan mendesak dan pelaporan berkala yang berpotensi bocornya agenda penyadapan.
Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M.A., M.Phil memberikan pandangannya dari segi Hukum Tata Negara. Ia menjelaskan bahwa dalam mengevaluasi suatu peraturan perlu adanya Regulatory Impact Assessement (RIA). Beberapa petunjuk dalam RIA ini dapat berupa apakah tujuan dari peraturan sudah didefinisikan dengan benar, sudahkah semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan untuk menyaatakan pendapat mereka, apakah pengeluaran suatu peraturan merupakan bentu terbaik dari tindakan pemerintah, dan lainnya. Ia mempertanyakan apakah revisi ini memperkuat atau memperlemah KPK. Jika memperlemah lebih baik langsung dihapuskan saja lembaganya. Namun, kita harus kembali mengingat bahwa alasan dibentuknya KPK ialah karena Indoensia membutuhkan badan yang lebih efektif dari polisi dalam memberantas korupsi. KPK ini ialah Suatu Independent Body yang bebas intervensi dan mampu menjalankan fungsinya tidak di bawah kekuasaan lain.
Prof. Dr Eddy OS Hiariej, Guru Besar FH UGM, menyampaikan pendapatnya dari segi hukum pidana. Menurutnya, dalam mengajarkan sesuatu harus dimulai dari hal materiil baru kemudian formilnya. Hal ini karena fungsi dari hukum acara adalah untuk menegakkan hukum materiil. Ia menekankan agar Badan Keahlian merevisi dahulu kekurangan-kekurangan di dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), baru merevisi UU KPK. Hal ini mengingat banyaknya pasal-pasal UU Tipikor yang sudah diujikan dalam MK. Selain itu penulis buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana ini juga berpendapat bahwa KPK seharusnya menjadi lembaga tunggal yang memberantas tipikor.
Setelah seminar tersebut usai, kedua perwakilan Badan Keahlian DPR itu disambut oleh masa aksi di depan Gedung 3 FH UGM. “Kami sebagai badan keahlian bukan yang mengambil keputusan. Tugas kami menjalin aspirasi. Lalu, keputusan akhir yang sudah berdasarkan aspirasi teman-teman akan diputuskan oleh DPR. Penolakan dari teman-teman akan saya sampaikan pada DPR, begitu juga dari pendapat para dosen. Proses selanjutnya adalah proses politik”, jelas inosentius kepada masa aksi.
BPPM Mahkamah menanyakan kepada Inosentius mengenai tindakan Badan Keahlian DPR apabila keputusan revisi tetap dilakukan. “Kami hanya memberi masukan kepada DPR bahwa hasil semua sosialisasi adalah menolak. Lalu, kita bicara keputusan rasionalnya saja. Kalau semua warga sudah menolak masak masih mengotot. Kami hanya sistem pendukung jadi hanya bisa menyampaikan hasil aspirasi sejelas-jelasnya”, jawabnya. (Fatih/Fitri)
Foto 1 : Pemaparan oleh Mahaarum Kusuma Pertiwi S.H., M.A., M.Phil. ditinjau dari perspektif hukum tata negara dan politik.
Foto 2 : Pemaparan oleh Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej S.H., M.Hum. ditinjau dari perspektif hukum pidana.
Foto 3 : Hadirnya “Dewan Pengawas” dalam RUU KPK, dikhawatirkan akan menghambat kinerja KPK yang merupakan lembaga independen dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Foto 4 : Massa aksi solidaritas “Menyambut DPR” membubuhi tandatangan dalam spanduk petisi #TolakRUUKPK
Foto 5 : Massa aksi solidaritas “Menyambut DPR” mulai memenuhi lapangan volley FH UGM
Foto 6 : Massa mulai melakukan orasi
Foto 7 : Peserta aksi bersiap melakukan “Penyambutan” di tangga gedung 3
Foto 8 : Massa aksi membawa berbagai spanduk & poster terkait penolakan RUU KPK
Foto 9 : Dr. Inosentius Samsul,S.H., M.H selaku perwakilan Badan Keahlian DPR memberi statement kepada para massa aksi
Foto oleh Fatih, Vansona dan Evasolina